Archive for 2011

(Masih) Bukan Apa-apa

Otakku digelayuti cabang,
Semak,
Dan kuntilanak.

Dan aku belum apa-apa,
Hanya seorang lelaki yang tidak menyadari hari,
Terikat di bawah kubang ludah dan sprei yang basah.





pic: google.com

Wednesday, December 28, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Ilfil

Ada seorang perempuan berkulit sawo matang. Tubuhnya tidak kurang tinggi, sekitar 170 centi. Protein dalam dagingnya berpadu seksi, tidak terlampau kering, tidak pula begitu berisi.  Bibirnya merah jambu dan merekah santai. Deretan giginya putih dengan taring yang menonjol tipis. Sementara hidungnya, ya hidungnya, terbangun tidak terlampau panjang, namun cukup serasi dengan dahi dan tulang pipi. Tapi apa itu? Sebuah objek asing terdeteksi. Warnanya cokelat muda,  kering, dengan ukuran tidak lebih besar dari biji kenari. Dekat, lebih dekat. Dan ya, itu upil. Sekali lagi, upil. Bergantung dan melambai (deksripsi lebai) di tepi lubang hidung.

Apa yang terjadi? Sejenak sepertinya segala deskripsi dan imajinasi manis tadi buyar. Digantikan oleh perasaan biasa, ya biasa, dia perempuan biasa, tidak ada yang istimewa. Apa itu jahat? Apakah itu kejam?  YA IYAAA LAAH!!!

Saya mengenal kata ‘ilfil’ sewaktu SMP. Dimulai dengan kejadian seorang pelawak berambut gimbal yang memutuskan pacarnya. Hasil usutan infotainment, hal itu terjadi karena sang pacar kentut. Ya, kentut. Ternyata saat itu kekuatan kentut mengungguli cinta. Mengerikanz.

“Kamu segalanya sayang,” kata seorang lelaki kepada pujaan hatinya.

prooot. Suara itu berbunyi.

Dan lelaki tadi itu pun pura-pura pingsan. Saat sadar dia hanya bilang, “kalimat yang pertama tadi hanya kerasukan.”

Dalam beberapa hal, ilfil berbahaya. Cinta yang menyala-nyala bisa padam seketika, dan manusia sepertinya menjadi hilang rasa ‘kepri’-nya. Terus, bagaimana?

Saya ingat kata seorang dosen, “kita sekarang sering terjebak dengan hal-hal yang sifatnya alami.” Kentut adalah salah satu di antaranya (walau tentu saja tidak bijak untuk nge-bom di sembarang tempat, hehe).  Alami itu wajar, semua manusia memilikinya.

Akhirnya, jangan sampai ilfil menghancurkan hidup kita dan orang-orang tersayang. Say no to ilfil!!! (ntah pa ntah, hehe)

  
pic: kaskus.us

by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

26 Desember 2004


Saya sedang berada di halaman saat itu, memetik biji-biji euphorbia yang memang sedang nge-tren. Pot-pot bunga itu terletak di rangkaian besi yang dilas bertingkat. Sebuah pot jatuh saat saya sedang asyik memetik. Saya letakkan pot itu kembali ke tempat semula. Pot itu kembali jatuh, dan tidak hanya satu, tapi semua pot berceceran ke tanah. Pijakan saya goyah. Tanah bergoyang. Gempa.

Seumur-umur saya tidak pernah merasakan gempa sekuat ini. Bumi bergoyang seperti ayunan yang didorong kemudian ditahan. Begitu seterusnya. Saya tidak mengingat berapa lama gempa terjadi.

Suara tasbih menggema dari rumah saya dan tetangga sekitar. Dentingan piring-piring pecah bercampur dengan rintihan ampun manusia kepada Tuhan-nya. Sementara itu, jalan aspal di depan rumah saya sepi. Beberapa orang yang tidak mengetahui gempa terjadi masih berada di atas kenderaan. Sementara kami yang menempelkan diri di tembok, mendekap batang kelapa, dan duduk di atas rumput, menjerit-jerit memberi tahu mereka tentang apa yang sedang terjadi. Keadaan begitu panik. Kami bahkan tak sadar saat gempa telah berhenti.

Saya sedang berada di rumah dengan seorang sepupu dan mak cik. Piring-piring berjatuhan di lantai. Cangkir-cangkir keramik yang biasa hanya keluar saat hari raya, pagi itu berhamburan pecah. Retakan terlihat di dinding rumah. Saya tidak ingat apakah saat itu akses telekomunikasi masih berfungsi, yang jelas ayah, mamak, dan adik saya sedang pergi berbelanja.

Belum reda kepanikan, seorang teman saya berlari sambil berteriak, air naik katanya. Air apa, pikir saya. Saya tidak mengerti. Rumah saya berada tepat di depan aliran sungai Lamnyong, sekitar 300 meter jaraknya.

Di tengah pikiran yang bermacam-macam, antara panik dan bingung, aliran deras dan besar menyapu sungai. Seperti ombak yang menyapu daratan tapi tidak kembali ke lautan. Air itu membawa puing-puing rumah: seng, atap, kayu, dan yang lebih mengejutkan lagi, manusia-manusia. Beberapa orang yang terbawa aliran berusaha bertahan di atas puing-puing, berjalan pelan dengan baju yang telah koyak sana-sini. Mereka mencari sela kosong di arus sungai, yang bebas dari puing, sehingga mereka bisa berenang ke tepi. Saya dan beberapa tetangga berdiri di tanggul dengan mulut menganga. Beberapa berteriak, “Awas! Ada kabel rakit di depan!” memang ada kabel besi di sungai yang jika terkena bisa membuat cedera, sementara yang lain diam tak tahu berbuat apa. Air di sungai semakin banyak dan deras hingga memenuhi ladang rumput yang di dalamnya berada banyak kandang sapi masyarakat. Para peternak sapi mulai turun ke bantaran sungai, menyelamatkan ternak-ternak mereka. Air makin meninggi. Beberapa sapi dari kampung sebelah, Limpok, terseret arus, sementara pemiliknya menceburkan diri ke air. Saya masih tidak tahu apa yang terjadi. Saya yang saat itu masih SMP bilang, “Banjirnya besar kali tahun ini.” Tapi tetangga saya yang sudah kuliah bilang, “Ini bukan banjir, Kal. Ini tsunami.”

Orang-orang mulai sadar akan keselamatannya saat air terlihat seperti akan melewati tanggul. Kami mulai lari ke rumah masing-masing. Makcik dan sepupu saya mulai mengepak barang di dalam koper. Entah apa yang mereka masukkan. Keadaan berlangsung dalam tempo cepat. Saya menuju kamar, menutup jendela, dan gordyn. Sungguh saat itu saya berpikir, mungkin saat ini terakhir saya melihat kamar, tempat saya melakukan hampir keseluruhan aktifitas. Saya mengambil kunci motor, saat itu saya baru bisa bawa motor. Saya dan sepupu berboncengan berdua, ada seorang anak yang ikut naik, anak rekan mamak saya yang sebenarnya tinggal jauh dari rumah saya, di Perumnas. Tapi karena kebetulan lewat dan kondisi begitu horror, ibunya menitipkan anak itu kepada kami. Kami pun bergerak ke meunasah yang terletak sekira 500 meter di belakang rumah.  Makcik saya, entah dengan siapa dia pergi ke meunasah, yang jelas tiba-tiba dia sudah di sana (sebuah kondisi yang jika dikenang sekarang, lucu juga). Meunasah dipenuhi orang, semuanya berwajah bingung. Air mata menetes dari wajah mereka.

Orang tua dan adik saya belum pulang. Saya dan Apa Cut mencari mereka ke Darussalam. Entah kenapa kami ke sana, mungkin karena daerah itu yang paling dekat dalam pikiran saja. Sepanjang jalan menuju Darussalam, saya terkejut melihat begitu banyak mayat bergelimpangan. Tubuh mereka berbalut lumpur. Seorang kakek pemelihara lembu di kampung saya terlihat memandikan jenazah seorang anak perempuan di dalam kubangan kerbau yang airnya telah berganti menjadi air sungai. Saya berharap ini semua film.

Di mesjid Kopelma, masyarakat penuh. Sementara di dekat tower air yang di bawahnya berada pos Brimob, mayat-mayat begitu banyak. Di samping mayat, menggeletak beberapa manusia yang masih hidup berselemak lumpur. Kami sempat singgah di rumah rekan ayah saya. Di sana terduduk seorang anggota Airud dengan badan penuh luka. Katanya mereka sedang latihan pagi saat tsunami menerjang. Jarak antara tempatnya latihan dan Darussalam mungkin sekitar 10 kilometer. Gelombang membawanya begitu jauh.

Kami kembali ke rumah. Sepanjang jalan pulang, saya berusaha berpikir di mana mereka. Jika hari Minggu, biasa mereka belanja ke Peunayong, sebuah kawasan yang begitu dekat dengan laut. Dari Darussalam ke Lamreung, jalanan terlihat begitu berbeda. Sebagian jalan aspal yang dekat dengan sungai telah dilapisi lumpur hitam. Air juga masih menggenang di beberapa sudut jalan. Mayat-mayat yang baru ditemukan dijajarkan di pinggiran aspal. Bau laut dan lumpur memenuhi udara.

Saya tiba di rumah. Mobil orang tua saya terparkir di halaman. Alhamdulillah tidak ada yang kurang dari keluarga kami.

**


Tsunami mengubah banyak hal. Tsunami dalam hal ini menghancurkan, membangun, mengingatkan, mendekatkan, dan menjauhkan.

Tsunami membuat saya menyesal bolos les. Saya memiliki teman dekat di les bernama Zaira. Hanya gara-gara baru pangkas rambut, jadi cepak, saya malu pergi les, sebulan saya bolos, bodoh. Entah hari Jumat atau Sabtu, saya bertemu dengan dia di jalan pergi sekolah. Dia sedang mengantar adiknya yang sekolah di SMP 8, adik letting saya, sementara dia bersekolah di SMP 2. Dia tersenyum kepada saya saat itu. Senyum terakhir yang saya lihat darinya.

Sebelum tsunami, saya bertengkar dengan Erna Safitri, teman baik saya di SMP. Saat jam pulang sekolah, saya yang biasa ke kelasnya terlebih dahulu, memilih lari pulang, dan menghilang. Jam istirahat yang sering ramai-ramai kami habiskan dengan teman-teman lain, saya habiskan di dalam kelas atau di manapun yang tidak ada dia, saya menghindar. Beberapa minggu setelah sekolah dimulai pasca tsunami. Makcik Erna datang ke sekolah menjumpai saya. Dia bertanya apakah saya ada bermimpi sesuatu tentang dia. Saya menggeleng. Makciknya menangis, dia bilang, jenazah Erna belum ditemukan. Tsunami membuat saya menyesal menunda-nunda meminta maaf.

Tsunami memisahkan saya sementara dari kawan-kawan tercinta. Semisal Keni yang mengungsi ke Medan, dan baru pulang dengan gaya rambut yang tidak pernah saya lihat sebelumnya: cepak. Saat dia tiba di Banda Aceh, kami biasa menghabiskan waktu sore dalam perjalanan santai ke arah Blang Bintang. Melihat deretan pesawat di bandara, hijaunya sawah, dan muda-mudi yang baru siap mandi sore. “Mencuci mata,” begitu kata kami.

**


Tsunami dalam beberapa hal membuat benci, membuka mata bahwa manusia adalah makhluk tak tahu diri dan serakah. Entah putus asa atau memang mencari celah semata, beberapa orang dengan kejam memotong jari jenazah tsunami hanya untuk mengambil cincin emas. Beberapa lain, (maaf) tega melecehkan perempuan korban tsunami yang masih hidup. Menyalurkan nafsu di tengah kepanikan, ketidakberdayaan orang lain. Memang sesaat setelah kejadian, korban-korban yang bernyawa maupun tidak, telah tidak lengkap lagi busananya.

Tsunami membuat kita merasakan bahwa ternyata manusia adalah mahkluk yang lemah. Butuh bantuan orang lain, dan dia atas segala-galanya, butuh belas kasih dari Allah SWT. Di sisi lain, kita juga patut bersyukur dan kagum atas bala bantuan yang diberikan oleh saudara-saudara kita dari luar pulau bahkan luar negeri - tanpa memandang suku, ras, dan agama. Salut!

Tsunami dalam banyak hal mengajarkan bahwa setiap pertemuan harus disyukuri secara maksimal. Kita tidak tahu kapan berpisah dengan rekan, saudara, ayah, ibu, adik, kakak, istri, suami, dan dunia. Tsunami juga mengajarkan bahwa hidup terlalu indah untuk disia-siakan. Mengutip status teman saya di FB, “hidup terlalu indah untuk digalaukan.”

Semoga kita semua belajar dari tsunami, baik secara moral maupun teknis antisipasi bencana. Khusus bagi pemerintah, jangan lupa bahwa saat ini masih banyak korban tsunami yang tinggal dalam barak, padahal tsunami sudah berlalu delapan tahun.

“Ya Allah, hapuskan dosa saudara-saudara kami yang Engkau ambil nyawanya saat tsunami. Tempatkanlah mereka dalam surga-Mu.” 

 
 sumber gambar:doitsoteam.blogspot.com

Sunday, December 25, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 11 comments

Tentang Menunggu dan Harap-harap Cemas

Menunggu bukan perkara enak, bahkan untuk sesuatu yang bersifat enak, seperti menunggu kebab dimasak, dan mangga muda dikupas. Apalagi menunggu dilamar? Kebayang tidak tahannya, eh, maksudnya tidak enaknya, hehe.

Saturday, December 24, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Antara Dunia Nyata dan Fiksi

Saya sangat menggemari game. GTA, PES, dan Fight Night adalah beberapa game favorit saya. Ketika bermain, saya lupa waktu. Bisa dari pagi ke pagi. Lupa makan, apalagi mandi.

by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Teman Seminat

Berkumpul dengan orang yang memiliki kesukaan sama adalah sebuah cara untuk menjaga semangat dan vitalitas dalam melakukan sesuatu. Saya suka menulis. Saya tidak pernah tahu keburukan tulisan saya jika hanya membacanya sendiri. Saya butuh orang yang menyuarakan saran dan kritik terhadap hasil karya saya. Dengan itu, saya percaya tulisan saya akan terus berkembang. Insya Allah.

Friday, December 23, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Hujan

Di antara rintik hujan,
Dan mantel yang basah
Tubuh menegak,
Tak menggigil,
Tak mencair.

by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

Vonis

Kerap kali beberapa dari kita sering memvonis orang lain secara sepihak. “Eh, liat tu, dia jarang masuk kuliah, malas banget ya jadi orang.” Padahal orang itu memiliki kesibukan yang mungkin sepuluh kali lebih bermanfaat dari kuliah. “Eh, dia kuper kali ya, gak pernah keliatan nongkrong.” Padahal orang itu sibuk bekerja. “Eh, selera musiknya jelek kali ya, masak suka lagu India.” Padahal lagu yang dia sukai juga disukai oleh jutaan orang di dunia.

Tuesday, December 20, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Sibuk

Beberapa waktu belakangan saya mungkin bisa dibilang teramat sibuk: menyiapkan berbagai berkas  organisasi kampus (yang masa pemerintahannya menjelang tahap akhir) dan tumpukan tugas kuliah dari dosen. Memang sudah menjadi tanggung jawab, seperti kata orang bijak, “setiap pilihan, menghasilkan konsekuensi”.

Monday, December 19, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

21 Tahun


21 tahun
Ini tentang bulu-bulu halus yang memenuhi wajah
Dan riak-riak semak yang meliati sepatu
Deru membatu

Tuesday, December 13, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Tanpa Jeda

Memang benar jika ada yang berkata,
"Istirahat bagi kita hanya di surga."
Muak untuk selalu mengatakan hal yang sama,
Tapi memang kita harus selalu berusaha,
Tanpa jeda.











pic: myspace.com

Tuesday, December 6, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Collage

Asli Gokil (punya murid)




Dalam minggu terakhir di sekolah, saya memberikan materi collage. Sebenarnya saya sendiri tidak mengetahui secara jelas apa itu collage, yang saya sedikit ketahui bahwa collage adalah 'tempelan yang menceritakan sesuatu', misal tentang rencana hidup, atau kegiatan sehari-hari.

Monday, December 5, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

PPL akan Segera Berakhir



Selasa depan insya Allah Praktek Lapangan (PPL) di SMP 4 Banda Aceh akan segera berakhir. Tak serasa dua bulan telah berlalu. Wah, gimana ya perasaan saya?

Wednesday, November 30, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 7 comments

Pelajaran

Suatu hari, selasai menonton sebuah film saya menyadari bahwa kehidupan itu begitu luas, dan tidak sebatas hanya di dalam kamar saya saja. Ada banyak orang yang begitu mensyukuri hidupnya, melakukan apapun yang mereka suka. Mereka tidak mengikuti arus, tapi memilih arus mana yang akan mereka ikuti.

Sunday, November 13, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Tanggal 1

Hari ini Selasa, dan Selasa ini tanggal satu. November datang, meninggalkan Oktober, dan berkata, “Sampai jumpa tahun depan.” Ya, 30 hari telah berlalu. Apa yang tertinggal (atau ditinggalkan)? Dan apa yang dibawa?

Monday, October 31, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Cita-cita?

Sekarang aku tak tahu aku ini siapa,
Aku lupa
Dan tak kuasa mencari di mana cita-citaku berada.

by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Tips Menjadi Penulis Freelance yang Baik

Penulis lepas atau yang dikenal dengan freelance writers, adalah sebuah kegiatan (mungkin dapat pula disebut pekerjaan) yang populer bagi para pribadi yang menyukai dunia penulisan dan kebebasan. Ya, jenis kegiatan ini disukai karena penulis memiliki kebebasan dalam menentukan waktunya sendiri. Tak jarang freelancing dapat menghasilkan pundi-pundi uang yang ‘wah’.

Saturday, October 29, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Berjalan Meraih Mimpi


“Berhati-hati melangkah, dan tidak terlalu banyak bertutur kata.” Begitu lah kata seorang teman saya di Facebook. Sejenak saya merenung, dan mendapatkan kesimpulan bahwa saya seringkali melakukan kebalikannya.

Thursday, October 27, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Penanti

















Dalam berkas malam yang memang menunggu pagi dalam kesepian
Apalagi yang dapat kubunyikan selain terima kasih padamu
Yang dalam penantian, dalam kesunyian,
Masih di rumah menungguku pulang.

Saturday, October 22, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Galau

Belakangan ini di berbagai media mulai dari yang berjaring kabel hingga maya cukup sering menyatakan kata ini. Dari mayoritas anak muda, hingga meranggas ke sebagian jiwa tua, kata ini juga menetap, merasuk, dan mempengaruhi. Dan seperti yang sudah ditebak, kata tersebut adalah ‘galau’.

by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Sedikit Pengalaman Kuliah di Luar Negeri

Dalam sebuah kuliah, dosen saya menceritakan pengalamannya saat mengambil master (S-2) di Amerika Serikat.  Beliau terbang ke Amerika dengan kepercayaan diri super tinggi. Tidak heran memang, sebelum berangkat ke sana, beliau sudah merasakan pengalaman bekerja dengan para bule di NGO asing di Aceh. “Jadi saya menganggap bahasa Inggris saya sudah excellent lah,” katanya.

Monday, October 17, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 8 comments

Lupa Dosa


Terkadang angin membuat lupa
Apalagi jika bercampur birahi yang membuat gila

Tuesday, October 4, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

My Dowry


Wednesday, September 21, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Nyaman-Ilalang


di atas ilalang aku tertidur
pulas dengan mimpi penuh lapisan
tak hirau semut yang mencubit, atau burung yang bersuit

di atas ilalang aku tertidur
berhari, bertahun
memanjakan diri, melupakan hari

di atas ilalang aku tertidur
hidup dengan disuapi
hingga rambut pun disisiri

hingga ranting ilalang mulai melayu
menderu mati karena keringatku
dan kelopak mata ini perlahan membuka
hingga tubuh ini sadar bahwa saatnya bangun telah tiba




foto: ratnasofia.blogspot.com

Friday, September 9, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 4 comments

Wisuda

Suasana di auditorium FKIP Unsyiah ramai oleh laki-laki berpakaian hitam-putih dan perempuan ber-rok batik dan kebaya. Wajah mereka sedikit panik, namun ada sedikit senyuman yang sesekali tersungging dari bibir mereka. Matahari masih belum terbit sempurna. Ada apa gerangan mereka di sana, apa mereka akan diospek? Tentu saja tidak, tidak ada senyum di bibir peserta ospek (hehe). Mereka akan di-yudisium. Dan tentu saja mereka tersenyum.

by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

Fire! Fire! Paint Ball

Fire!
Kamis (28/ 07), sehari sebelum pulang ke kampung halaman, saya dan teman-teman sekampus berkesempatan bermain Paint Ball di kawasan Babah Dua, pantai Lampuuk. Ini ceritanya.

Tuesday, August 23, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 6 comments

Tampar Aku Sekarang

Tampar aku sekarang
Jiwaku sedang dilanda mabuk daratan
Terlena oleh lambaian siluet buatan
Yang tak memberi apa-apa selain kehancuran

Monday, August 22, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Menuju Seberang

Aku sedang berjalan
Maka tunggu aku pulang
Mungkin tidak sekarang
Batu-batu sungguh runcing dan curam

Tapi bagaimanapun aku tetap terus berjalan
Menuju rumahmu di seberang
Maka tunggu aku pulang
Menjemputmu,
Menjemputmu.


Saturday, July 30, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Dan PPL (Praktik Lapangan) pun Tiba

Saat SMA, ketika saya mengetahui guru PPL (Praktik Lapangan) akan masuk, saya senang bukan main. Betapa tidak, jika mereka masuk, saya bisa mengeluarkan baju, permisi ke kantin, dan “sedikit” membuat ribut di kelas. Bagi saya dan beberapa teman, masuknya guru PPL adalah sebuah kesenangan (yang mungkin bagi guru PPL tersebut rasanya seperti perpeloncoan, hehe). Saya masih ingat ada seorang guru PPL yang hampir menangis karena ributnya kelas kami. Anak-anak SMA memang cukup kejam (maklum, masa puber, haha).

by Muhammad Haekal
Categories: 6 comments

Dalam Diam

Dalam kesunyian apa yang bisa digali?
Selain kekosongan dan derasnya bisikan setan
Dalam kesunyian apa yang bisa kita putuskan?
Selain mereka-reka dan berprasangka
Katakan segala keresahan dan kegalauanmu
Dan jangan diam, 
Cinta.

Sunday, July 24, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Guru

Bagi saya, guru adalah harapan terakhir untuk bertanya mengenai hal-hal yang tidak saya pahami dari suatu pelajaran. Guru dalam beberapa hal saya anggap sebagai dewa: yang perkataannya saya percayai, dan tingkah lakunya saya teladani. Kadangkala mereka menjadi teman: tempat mencurahkan masalah kehidupan, pemberi semangat di kala gerah. Di suatu waktu mereka menjadi orangtua: melaksanakan fungsi untuk menyayangi dan menasehati. Saya menganggap profesi guru sebagai pekerjaan yang keren (atau biasa saya sebut ‘gaul’).

Friday, July 22, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Semester Tujuh?

Di suatu pagi di bulan Juli 2008, saya bergegas mandi. Jam menunjukkan pukul 6.30 saat saya telah siap dengan kemeja putih, celana hitam, dan sepatu kulit. Saya tidak sempat sarapan pagi. Sepeda motor pun tidak sempat dipanaskan lagi. Saya bergegas berangkat mengikuti kegiatan orientasi.

Tuesday, July 19, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 5 comments

Bulan Baru, Nafas Baru

Hari ini tanggal satu, tanggal awal di bulan baru. Saya seringkali merenung jika sudah sampai pada tanggal satu begini: apa yang sudah saya lakukan di bulan lalu, apa perubahan yang terjadi dengan diri saya, dan ke arah mana saya berkembang, belakang atau depan.

Friday, July 1, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Ranub: dari Personal hingga Seremonial*

Penjual sirih di kawasan Mesjid Raya Banda Ace
Bagi Fatimah, ranub adalah sumber penghidupan utamanya. Dari mulai persoalan dapur hingga pendidikan anak, semuanya berasal dari penghasilannya sebagai penjual ranub di kawasan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Sunday, June 26, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Ospek

Peserta ospek berkumpul di Blang Padang
Ospek adalah kata yang sudah pasti akan ditemui apabila seseorang memasuki suatu wilayah atau institusi. Bagi mereka yang sudah atau sedang mengecap pendidikan formal, ospek telah menjadi sebuah hal yang tidak asing lagi. Bagi sebagian orang ospek dihindari, namun tidak sedikit pula yang menanti. Mahasiswa baru cari aman, mahasiswa tua cari gebetan, hehe.

by Muhammad Haekal
Categories: 7 comments

Maju

Jalan
Dan lihat ke depan
Di sana tujuan
Jangan peduli
Batu sandungan atau cemekam
Atau perasaan ingin pulang.

Sunday, June 12, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Rujak Sunti

Rujak Sunti
Asam Sunti




























Jadi ceritanya saat saya SMA, kami memiliki sebuah perkumpulan nongkrong bernama Spatoe yang merupakan akronim dari XI-IPA I. Saat itu, kami sering berkumpul bersama, bisa jadi saat ada even khusus seperti buka puasa bersama, atau hanya sekedar refreshing dengan sharing bebas di suatu tempat.

Nah, dua orang teman saya, Orien dan Pipin, acapkali membawa bumbu rujak racikan mereka saat kami berkumpul. Jujur saat pertama kali mereka membawa bumbu tersebut, saya terkejut karena tidak pernah memakan rujak dengan bumbu seperti itu. Terlebih karena komposisi utamanya yang menggunakan asam sunti, sebuah bumbu masak khas Aceh yang dibuat dari belimbing wuluh yang dijemur serta dibubuhi garam hingga mengering. Rasa bumbu rujak ini cukup kaya, dan bahkan mengalahkan tagline sebuah permen: manis-asam-asin, ramai rasanya’, bumbu ini memiliki tambahan rasa pedas yang cukup menyengat.

Dan saya pun meminta resepnya. Tapi lucunya, selalu saja bumbu rujak yang saya buat tidak seenak yang dibuat oleh dua teman saya tadi. Saya rasa karena perbedaan asam suntinya, karena di beberapa tempat, ada asam sunti yang teksturnya sedikit basah, sementara di tempat lain ada yang benar-benar kering. Berikut resepnya. Sebagai catatan, saya tidak memiliki takaran khusus dalam membuat bumbu ini. Jadi, di resep berikut saya berusaha menakar-nakar saja, haha. Silahkan berkreasi, selamat mencoba!

Bahan
Asam sunti                    5 buah
Cabai Rawit                    8 buah
Kecap Asin                    4 sdt
Kecap Manis                    5 sdt
Jeruk nipis                    1 sdt
Gula                        ½ sdt atau secukupnya
Air masak                        4 sdt


Peralatan
Cobek atau tempat mengulek (saya menggunakan yang dari kayu)


Cara membuat
1.Cuci bersih asam sunti, dan cabai rawit. Tiriskan di cobek. Siram dengan perasan jeruk nipis.
2.Ulek sampai halus.
3.Tambahkan kecap asin dan manis. Ulek lagi.
4.Tambahkan gula. Ulek lagi hingga semua bahan menyatu.
5.Siap disajikan.

Bumbu rujak ini cukup mantap apabila dipasangkan dengan buah-buahan segar semisal mangga, jambu, atau bengkuang. Selamat menikmati. Anda memiliki bumbu rujak favorit? Silahkan share di komentar! Terima kasih telah berkunjung.

Thursday, June 9, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 14 comments

Sekarang, Ya, Sekarang!

Karena waktu seringkali begitu luas, kita acap kali menunda untuk melakukan sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang semestinya dapat diselesaikan sekarang, ditunda. Kita mungkin lupa bahwa waktu begitu berharga dan (sialnya) tidak bisa diulang.

Wednesday, June 8, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Karena Kita Keluarga

Memang semua sudah terlanjur dingin. Tiada pelukan, bahkan jarang tatapan

Tapi tak apalah. Toh kita semua sedang mencari. Dan tak pernah berhenti belajar

by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Mei

Bulan Mei ini diawali oleh makan siang yang menyenangkan di rumah calon istri saya. Kami bercerita dan sedikit merenungi beberapa kejadian di bulan April yang dirasa tidak benar. Dan secarik amplop kecil buatnya. Asik.

Friday, May 20, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Saat Sendiri

Ada kalanya bumi terlalu panas atau hujan terlalu deras menerpa kita. Sialnya di kala hal itu terjadi, kita tidak menemukan pohon rindang tempat bernaung. Di saat tugas kampus begitu banyak, teman-teman begitu menjengkelkan, atau mungkin orang tua yang tidak begitu perhatian, semuanya mungkin akan membuat kita serasa ingin bunuh diri. Kita sendiri.

Monday, May 9, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

‘Katakan atau Biarkan’ dalam Persahabatan

Pernahkah hati Anda disakiti oleh seseorang lalu Anda menanggapinya dengan diam, membiarkan sang pelaku lupa, namun menabung rasa kesal di dalam dada? Atau Anda memilih mengatakannya, sedikit berkonflik ria, untuk kemudian lega karena semua telah “lepas” walau hubungan beresiko kandas?

Sunday, May 8, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Hantu

(Jadi ceritanya, sekitar tahun 2009, saya dan teman buat penerbitan buku gitu, namanya GSP. Sempat terbit satu buku mengenai beasiswa. Tapi kemudian mesti berhenti karena kami masih labil dan cepat menyerah. Nah, di bawah ini adalah sebuah buku berjudul hantu. Sangking singkatnya, jadi tak layak cetak, hehe. Maaf juga tata bahasanya, terutama tanda bacanya, amburadul. Waktu itu saya belum terlalu paham mengenai hal itu. Ok lah, selamat menikmati. Komennya jangan lupa!)

Dari GSP

Hantu. Mendengar kata itu, reaksi kamu pasti aneh-aneh; ada yang takut, loncat-loncat, atau kalau yang kuat iman, sih, biasa aja. Ya, hantu memang sudah menjadi momok menakutkan, apalagi di Indonesia yang budaya timurnya sangat lekat dengan hal-hal mistis.

Monday, May 2, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

(Cerpen) Istriku

Ada apa lagi ini. Aku baru pulang kerja, baru saja merebahkan badan di kasur, mataku baru saja tertutup saat istriku menyuruhku membeli minyak tanah di warung Bang Haji. Sambil mengomel dalam hati, aku pun pergi. Gila, sudah berapa kali dia begini. Sejak awal kami menikah, kurasa ia sangat sulit dalam membaca situasi. Tak peduli aku lelah, tak peduli aku sakit, ia selalu saja menyuruhku melakukan keinginannya. Yang aku heran kenapa momennya selalu tak tepat. Halah.

Mau tahu kenapa aku bisa menikahinya? Jadi ceritanya di mulai tujuh bulan lalu. Aku baru saja siap mandi, rapi-rapi, siap untuk wawancara kerja. Aku santai saja, semua berjalan sesuai rencana. Semalam jam weker aku setel sejam lebih cepat dari biasa. Jadi sekarang aku punya cukup waktu untuk nonton tv, hitung-hitung relaksasi, ini wawancara pertamaku! Aku sedikit terkejut, mengapa pagi ini begitu terang dan panas, lebih dari hari-hari biasa. Adikku pun yang biasanya masih makan pagi, kini sudah pergi ke sekolah. Ah, sudahlah, lebih baik aku hidupkan tv saja. “Pemirsa, kita di Breaking News pukul 9 pagi.” Apa? Sembilan pagi? Oh Tuhan, sepertinya aku salah setel weker, aku keliru menyetelnya! Aku pun buru-buru memakai kaos kaki dan berlari ke arah pintu depan. Sepatu? Ah! Ketinggalan. Dan setelah momen terburu-buru seperti di sinetron-sinetron selesai, aku pun kini berada di jalan raya, dengan kecepatan yang kupaksakan.

Aku tidak biasa mengebut. Jadi bisa bayangkan, klakson aku bunyikan nyaris sepanjang jalan. Gerutu-maki dengan setia lepas dari para penggguna jalan lain. Ah! Tak peduli! Yang penting aku sampai. Sambil balap-balap begini, tiba-tiba aku terbayang dengan si Yudi, orang yang paling aku benci satu dunia. Minggu kemarin aku bertemu dia. Seperti biasa dia melemparkan kata-kata yang merendahkan: “hari gini masih kuliah? Haha! Gak heran, gak heran.” Kurang ajar! Awas saja kalau aku dapat kerja. Memang dia dari Sekolah Dasar sombongnya minta ampun, mentang-mentah ayahnya pejabat! Aku menggelengkan kepala, mengibaskan bayangan si Yudi Kurang Ajar dari pikiranku.  Jarum speedometer menunjukkan angka 80. Di depan lampu lalu lintas masih hijau, tapi angka hijaunya hampir habis. 5, 4, 3, 2, 1, kuning, merah.  Ah! Tancap terus! Toh juga baru merah kok! Kuterobos lampu merah itu dengan cepat. Namun responku tidak cukup cepat saat motorku menghantam sebuah skuter matic. Aku melayang di udara. Jatuh di aspal. Pandanganku mengabur. Aku tak sadarkan diri.

Saat aku sadar, yang pertama aku lihat adalah seorang polisi yang sedang berbicara dengan ibuku. Polisi yang berperut buncit itu memegang sebuah papan alas yang di atasnya terjepit sebuah kertas. Kepalaku sedikit sakit, dan sepertinya ada perban yang menempel di pelipis kananku. Aku mencoba melihat seluruh tubuhku. Bahu hingga siku kananku diperban, sementara lututku berbercak kecoklatan, mungkin baru dibalurkan antiseptik. Aku coba menggerakkannya. Bisa, walau cukup perih. Syukurlah, aku rasa tidak ada yang patah. Aku cukup trauma melihat temanku yang tulangnya sampai keluar akibat kecelakaan. “Besok-besok kau terobos lagi ya. Untung kau tidak mati.” Ibuku menghampiriku. Ia terlihat tenang. Sambil mengusap kepalaku ia jelaskan pelan-pelan peristiwa tabrakanku tadi. Polisi bilang aku menerobos lampu merah, dan lucunya aku juga menabrak penerobos lampu merah. Aku cukup lega saat mendengar “teman kecelakaanku” tidak mengalami luka berarti, cuma giginya yang tanggal. Aku sedikit berpikir, sebenarnya siapa yang menabrak siapa. Polisi juga bilang, kami tak mendapatkan denda, hanya sebatas surat teguran. Masalahnya sekarang tinggal dengan keluarga “si teman” itu.

Besoknya aku sudah dibolehkan pulang. Kepalaku masih pusing, jadi aku didorong dengan kursi roda. Ibuku bilang kami akan singgah dulu di kamar “si teman”. Kamarnya selang lima kamar dari kamarku. Semakin mendekat ke sana, aku mendengar teriakan perempuan yang dibarengi dengan tangisan. Sebenarnya aku tak ingin berpikir itu siapa, kepalaku masih cukup pusing, tapi tetap saja aku tak bisa berhenti menduga bahwa itu “si Teman”. “Bang Oki kok gitu, ma? Oca gak terima! Masak gara-gara gigi Oca copot dia batalin ini semua! Dasar cowok brengsek!” Waduh, kepalaku yang pusing tiba-tiba sembuh ketika mendengar makian beraroma ratapan dari “si teman” yang ternyata bernama Oca. Oca meronta-ronta. Dia dikelilingi banyak orang, mungkin keluarga atau teman-temannya. Ia menangis sesenggukan setelah tenaganya habis berteriak-teriak. Suasana kamar begitu pilu. Aku dan ibu kini terdiam di depan pintu masuk. Untuk beberapa saat tak ada yang memperhatikan kami. Baru ketika Oca melirik ke arah kami, semua mata mengikutinya.

“Nah Oca, itu orang yang kamu tabrak,“ seorang perempuan seusia ibuku ngomong. Mampus aku! Walau kalimat ibu itu menyatakan bahwa aku sebagai korban, tapi tetap saja kepalaku terasa kosong, apalagi setelah mendengar mengenai akibat dari tanggalnya gigi si Oca: ia ditinggalkan bang Oki. Entah siapa dia, yang jelas sepertinya dia orang penting, bisa pacar, tunangan, atau mungkin calon suami! Oca memandang ke arahku, matanya sangat mengerikan, tempo nafasnya naik.

“Suruh dia ke luar! Gara-gara dia nerobos lampu merah gigi aku jadi ilang! Terus bang Oki tinggalin aku, huhu,“ Oca menangis setelah memakiku. Si ibu yang tadi bicara memberi isyarat dengan tangan kepada kami untuk meninggalkan ruangan. Ia juga memberi kode bentuk telepon dengan jempol dan kelingkingnya, ibuku mengangguk. Ibu pun mendorongku keluar. Aku tak bicara apa pun. Pikiranku bercabang-cabang, antara marah dan menyesal.

**
Bagaimana ini. Ibu menawarkan dua pilihan padaku: mengikutinya atau menuntut mereka ke pengadilan karena melakukan pemaksaan. Di dalam hati aku sungguh percaya, aku akan menang jika memang masalah ini dibawa ke jalur hukum, apa pasal yang dapat menjeratku ke penjara jika kami sama-sama melanggar lampu merah, sama-sama luka, bedanya hanya kami tidak sama-sama kehilangan gigi! Dan ia menuntutku menikahinya hanya karena itu!

Oh, mimpi apa aku semalam? Aku baru dua puluh dua tahun, baru saja selesai kuliah, dan dia mengajakku menikah! Yang benar saja! Dan yang paling aku sesalkan sebenarnya adalah si Oki itu, teganya ia meninggalkan seorang perempuan hanya karena giginya tanggal! Cowok kurang ajar! Kini aku hanya berpikir apakah aku sama kurang ajarnya jika tidak menerima tuntutan Oca.

**
“Terus sekarang kita ngapain?”
“Ya tidurlah! Aku capek!”
“Tapi kan…”
“Tapi apa?”
“Ini kan malam pertama”
“ Main aja sendiri! Aku mau tidur! Titik!”

**
Setelah momen malam pertama yang kurang ajar, ia masih selalu saja demikian. Bahkan kami tak pernah bercinta sampai sekarang. Setiap hari ia hanya marah-marah, menyuruh-nyuruh, tak pernah sekalipun menjadi seorang istri bagi suaminya ini. Namun kadangkala aku melihatnya termenung di teras belakang, tatapannya kosong, dan seringkali ditambah dengan air mata tanpa suara. Entah kenapa hal itu menjelma menjadi semacam kekuatan aneh dalam diriku yang menyuruhku sabar, dan tetap bersamanya hingga sekarang.
Kadangkala, ketika malam datang dan angin sedang tenang, aku mendekat ke arah tubuhnya yang dibalut selimut. Aku berbisik, aku mohon dia untuk menceritakan semuanya, karena bagaimana pun aku suaminya. Tak peduli ia tidur atau tidak.

Belakangan aku semakin sering melakukannya. Dan bahkan tanpa sadar sudah tiap malam aku “berbicara” dengannya. Pertanyaanku masih sama: ada apa denganmu, ceritakanlah padaku. Hanya semalam ada sedikit penambahan kalimat baru: aku cinta kamu.

Pagi ini aku heran. Ada roti bakar dan teh susu di meja. Biasanya aku yang buru-buru memanggang dan mengaduknya sendiri karena memburu kerja. Apa ibuku datang? Biasa ia melakukan demikian jika mengunjungi kami. Aku berjalan ke kamar tamu. Kosong. Ataukah Oca? Tidak mungkin. Ia sedang nonton gosip pagi seperti biasanya. Nah kan, dia sedang di depan tv. Tapi siapa lagi kalau bukan dia. Aku mencoba menarik perhatian perhatian Oca dengan mondar-mandir di depan tv. Biasanya jika aku lewat ada saja yang ia suruh: beli sabun lah, panasin motor lah. Pokoknya asal diriku ini jauh dari jarak pandangnya. Tapi, ia tidak bereaksi sama sekali. Aneh. Aku cubit perutku. Sakit, ini bukan mimpi.

**
Gila, sudah jam dua malam! Anak magang bodoh. Begitu banyak kesalahan tata bahasa yang mereka perbuat. Aku harus kerja lembur malam ini. Badan dan pikiranku terasa begitu lelah. Jika aku memejamkan mata sedetik saja, bayangan huruf-huruf melayang di langit hitam mataku. Lega rasanya sudah sampai di rumah.

Setelah cuci muka, aku masuk kamar. Oca sudah tidur. Kelopak mataku telah begitu berat. Aku pun tidur tanpa sanggup melepas kemeja serta dasi.

**
Aku bangun sambil tersenyum. Aku bermimpi indah. Ada seorang perempuan yang mencium dahiku. Haha, walau hanya mimpi kan lumayan.  Jejak bibirnya secara ajaib masih dapat kurasakan. Setelah mencuci muka di kamar mandi, aku beranjak ke ruang tv. Ternyata sudah jam 7. Aku tidur seperti mayat. Dengan malas aku rebahkan lagi diriku di sofa. Dengan sedikit bergairah aku menyeruput teh susu yang berada di meja sebelah susu. Eh, Oca buat lagi? Haha. Aku begitu bahagia. Saat bibirku nyaris menyeruput tegukan kedua, tiba-tiba gelasnya menjauh. Tanganku ditarik. Oca? Ia mencium dahiku dan berkata dengan agak berteriak: “shalat sana!”

-end-   


foto: vi.sualize.us
    

Sunday, May 1, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 4 comments

Pemimpin

Pemimpin yang baik adalah seseorang yang menunjukkan jalan, menentukan solusi, dan menetapkan pilihan. Ia tegar menghadapi berbagai masalah, tidak cengeng di depan rakyatnya. Ia adalah tumpuan rakyat: bahu tempat menangis, dan air terjun harapan.

by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Lemak Lele Sale

Lemak Lele Sale
Mamak saya sangat jago memasak. Masakannya selalu kami rindukan. Nah, kemarin besan tetangga saya yang berasal dari Gayo Lues memberikan oleh-oleh berupa ikan lele yang disale. Sale adalah proses pengasapan ikan hingga berwarna kehitaman. Namun saya juga tidak tahu pasti detil prosesnya.

Wednesday, April 27, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Tabir

Tak apa kukata. Kau bagaimana? Memang kita tak sama. Dari aliran berbeda, dari jenis yang langka.

Biarkan mereka ber-ha-hu-haha. Toh nanti pada akhirnya, alam akan bersama kita. Ya, aku yakin, kau bagaimana?

by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments