(Cerpen) Dia dan Ayahnya

Cahaya matahari yang menyelinap dari lubang-lubang ventilasi membuat debu-debu kosen jendela tak bisa bersembunyi. Mereka mulai tampak banyak dan gembira karena belakangan ini tidak ada orang yang mengelap mereka. Cahaya itu pun juga menjamah kulit sofa, membuat warna putihnya semakin menyilaukan. Selang beberapa menit, cahaya itu menyentuh kepala yang dihuni rambut-rambut putih tipis. Menjalar sedikit demi sedikit ke arah mata yang membuat warna cokelat dari selaput pelangi orang itu tampak jelas.
Lelaki tua itu tidak beranjak dari sofanya. Tidak pula keningnya mengerut atau nafasnya melenguh berat. Ia terus saja membaca koran pagi yang diambilnya dari sela-sela pagar rumah. Sesekali ia menyeruput kopi instan tanpa gula yang ia beli satu pak saban bulan.

Mata lelaki berambut putih itu terus tertambat di koran. Ia tidak menoleh sedikit pun saat seorang lelaki berbaju putih dan bercelana abu-abu lewat di depannya. Lelaki muda itu berjalan cepat. Rambutnya yang seleher hanya disisir tangan. Bau shampo menyebar ringan darinya. Ditambah oleh parfum setrika pelicin pakaian yang membuat bajunya berwangi bunga. Ia terkesan bersih, walau di satu sisi urakan. Hentakan kakinya di lantai mengeluarkan bunyi seperti detak jam. Tas ranselnya yang berwarna cokelat bergetar pelan seiring dengan langkahnya.

“Pergi dulu,” kata si lelaki muda. Volume suaranya rendah dan cepat.

“Ya,” jawab si lelaki tua pelan sambil terus membaca.

Klek, pintu depan rumah berbunyi pelan saat ditutup. Dari jendela kayu bercat coklat terlihat sang pemuda sedang jongkok memakai sepatunya. Sepatu berwarna hitam polos itu dibalut lumpur tipis di tapak dan bagian depannya. Terdengar suara haah, si pemuda mengambil nafas panjang dan melepaskannya dari mulut. Setelah selesai mengikat sepatu, ia berdiri dan menoleh ke belakang. Samar-samar dari gorden putih berjaring-jaring, ia melihat ayahnya masih membaca koran. Ia kembali menarik nafas panjang. Cahaya matahari semakin meninggi. Si lelaki mengambil HP dari saku bajunya, ia melihat jam. Dengan mempercepat langkah ia menuju ke dalam garasi untuk mengambil motornya. Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya, motornya tidak mendapat jatah dipanaskan, hanya engkol kosong lima kali dan dia langsung tancap gas. Deng, pagar besi berdentang. Si lelaki tidak sempat menguncinya. Ia menutup pagar sambil mengendarai motornya.
Srek, si lelaki tua menutup bilah korannya. Koran itu dilipat empat, kemudian ia menaruhnya di sebuah keranjang bambu berukuran sebesar nampan saji yang berada di sisi sofa. Ia berdiri sambil menaikkan sarungnya. Dengan langkah pelan, ia berjalan ke arah pintu. Ia membukanya seperempat bagian, tanpa menutupnya kembali. Ia hujamkan kakinya ke sandal jepit yang terlihat bersih. Ia berjalan menuju pagar. Tapak sandalnya dan batu-batu kerikil saling bergesekan. Di depan pagar yang langsung berhadapan dengan jalan raya, ia berdiri sambil memegang jeruji pagar. Matanya memandang lurus ke sebuah sungai yang berada seratus meter dari bibir jalan. Lalu-lalang senin pagi yang ramai hampir tak ia hiraukan. Hanya sapaan salam seorang lelaki tua bersepeda ontel yang sempat ia balas dengan anggukan. Dahinya yang keriput semakin berkerut. Matanya kini diarahkan ke bawah menghujam aspal. Ia memandang, namun sebenarnya tak berarah, pandangan kosong. Sekira lima menit ia teguh dalam posisi demikian. Haah, ia menarik nafas dalam dan melepaskannya lewat mulut. Sambil melepaskan tangannya dari jeruji pagar, ia melangkah pelan meraih pintu pagar yang tadi belum ditutup sempurna kemudian mengaitkan kait besinya. Si lelaki tua beranjak ke arah pintu rumah. Lalu-lalang seorang Pegawai Negeri, bapak yang mengantar anaknya, dan guru PPL lewat dengan deras di belakang. Agaknya mereka terlambat memenuhi amanah masing-masing.


Klek, si lelaki tua menutup pintu rumah. Kini cahaya matahari sudah memenuhi ruang tamu. Bayangan vas-vas bunga artifisial memancarkan warna pelangi karenanya. Searah dengan pintu masuk terdapat sebuah pintu lain yang menuju ke ruang keluarga. Si lelaki tua berjalan ke sana sambil menaikkan sarungnya yang sudah kedodoran. Rambut-rambut halus di tangannya berkilauan diterpa sinar matahari. Ruangan keluarga itu berukuran 10 x 8 meter. Di sana terdapat sebuah televisi flat berukuran 29 inci, sebuah sofa, sebuah meja kecil tempat menaruh remote tv, dan dibagian paling belakang ada sebuah lemari besar tempat menyimpan berbagai macam buku. Sesampainya ia di ruang itu, matanya menyorot tajam ke meja kecil di samping sofa. Di sana ada segelas penuh susu coklat, dan sepiring roti bantal isi selai srikaya. Ia berjalan ke sana. Ia berhenti sejenak di depan sofa sambil terus memandang ke meja kecil tadi. Kemudian dengan gerakan pelan ia mengambil gelas susu itu dan mendudukkan dirinya di atas sofa. Ia meneguk susu yang telah dingin itu dua kali, kemudian mengambil roti dengan tangan kanannya dan menggigitnya seperempat bagian. Ia meneguk susu itu lagi sampai habis, namun rotinya ia letakkan lagi di piring, tidak dihabiskan. Kemudian ia rebahkan punggungnya di badan sofa dengan posisi setengah berbaring. Ia begitu kenyang. Pagi ini, seperti pagi-pagi lainnya, ia memakan dua porsi roti dan dua gelas susu: satu jatahnya, yang satunya lagi jatah Iwan, anaknya.
**

“Wuiih, gila tadi blok ko! Pokoknya aku akui lah ko sebagai center nomor satu sekarang!”

“Alah! Ko emang pande kali muji orang! Biasa aja lah, wak!”

“Hehe, pokoknya ko lah anak mudanya hari ini! Oya, kemana kita ne? Jack! Jaack!! Pekak kali ko! Sini dulu, aku mau ngomong.”

“Sorry, sorry bro, gak dengar aku, ribot kali penonton. Apa tadi ko tanya?”

“Emang lah ko banyak kali penggemar! Sekarang kemana kita? Duduk dulu kek, kan menang ne ceritanya!”

“Haha! Mmm, di Rex aja gimana, bro? Eh, Wan! Ko di sini dari tadi berdiri? Sorry bro, gak nyadar aku! Gimana pak center? Duduk di Rex kita? Ngomong-ngomong, keren kali tadi blok ko! Cewek-cewek pada histeris semua! Hahaha! Mantap, mantap.”

“Oke lah, Jack. Aku terserah aja.”

Cahaya matahari semakin meredup seiring sekelompok remaja berseragam basket itu meninggalkan lapangan basket Blang Padang yang kini hanya dilangkahi oleh beberapa orang yang sedang memunguti sampah sisa pertandingan. Di belakang tribun penonton, seorang panitia parkir terlihat sibuk menghitung uang, sementara seorang lagi sedang mengikat kupon-kupon parkir sesuai pasangan urutan nomornya.
Gerombolan remaja itu berjumlah tiga belas orang. Mereka berkendara beriringan dengan jumlah sepeda motor enam buah, lima buah dinaiki oleh masing-masing dua pengendara, sementara satunya lagi ditarik tiga. Hampir semua mereka berpeluh kecuali tiga orang yang terlihat kering dan santai memakai kemeja serta jins. Mereka saling berbicara satu sama lain. Sesekali mereka tertawa terbahak membicarakan pertandingan tadi. Sepeda motor mereka lajukan dengan santai. Mereka melaju di ruas kiri jalan. Sementara di sekitar mereka, kenderaan-kenderaan lain melaju dengan cepat, memang hari sudah menjurus gelap.

Kawasan Rex sudah gelap saat mereka tiba. Sayup-sayup azan terdengar dari mesjid yang berada dalam komplek tentara, tak jauh dari situ. Mereka turun dari kenderaan yang di parkir tepat di depan sebuah rumah makan. Gerombolan ini berjalan pelan ke arah area Rex yang baru saja selesai direnovasi, mereka memilih duduk di bagian atas, searah vertikal dengan lekukan huruf berbahan metal bertuliskan ‘Rex’, kelelahan bercampur sukacita masih terlihat di wajah mereka. Nampak dari tempat duduk mereka seorang penjual kerang rebus yang tengah menyajikan kerang-kerang yang baru diangkat dari panci, kerang-kerang berasap itu dibagi ke dalam tumpukan-tumpukan kecil untuk kemudian ditiriskan masing-masingnya ke sebuah piring. Asap sate yang membawa harum daging bakar juga terlihat membumbung seiring kipasan pelan seorang perempuan yang berkeringat. Kerumunan orang yang duduk di meja-meja kecil pendek juga nampak sedang serius menyantap makanannya tanpa menoleh. Waktu maghrib kiranya adalah salah satu jam sibuk di Rex.
Salah seorang dari anggota tim basket mengangkat tangan memanggil seorang lelaki yang di lehernya menggantung sebuah handuk putih. Dentingan botol-botol teh kosong menada saat lelaki itu membersihkan meja mereka, ia menaruh botol-botol itu di sebuah nampan, mengelap meja, kemudian pergi setelah mengingat semua pesanan tanpa mencatat.

Mereka duduk sambil bercakap-cakap. Terkadang saling menepuk bahu saat lelucon mengarah ke seseorang. Kemudian tanpa dikomando mereka bersorak saat lima orang lelaki datang berturut-turut membawa pesanan mereka. Sate Matang, martabak, kerang rebus, mie goreng, dan aneka minuman kini telah menyeraki meja mereka, siap untuk dibantai.

Sendok dan garpu saling beradu. Sesekali terdengar bunyi slurp dari sedotan yang menyedot minuman yang hampir habis. Riuh tawa berhenti sejenak. Fokus mereka diarahkan ke piring.
Iwan, memakan kerang rebus dengan perlahan. Matanya lekat memandang tangannya yang sedang mencungkil daging kerang dari cangkangnya. Matanya kemudian terpejam sejenak saat lidahnya bertemu dengan kerang yang sudah dilumuri saus kacang.

Ada sesuatu yang sebenarnya sedari tadi mengerumuni pikirannya. Ia memikirkan pertandingan basket tadi. Bukan tentang blok hebat yang ia lakukan, tapi ia berharap kedatangan seseorang menontong pertandingan. Sejak menit awal hingga akhir, ia tidak melihat sosok ayahnya ada.
**
Dum, garasi ditutup dengan kencang. Iwan tiba di rumah, bajunya basah, hujan cukup lebat. Suasana pekarangan begitu gelap, lampu depan mati. Kain gorden samar-samar terlihat belum ditutup, tidak ada orang di rumah. Di atap, bunyi tik-tik masih menada dengan ritme yang lambat. Iwan merogoh saku tasnya, mengambil kunci rumah, kemudian membuka pintu.

Ruang tamu hanya disinari redup oleh pantulan lampu jalan yang berada tak jauh dari rumahnya. Tek, saklar lampu dihidupkan. Cahaya memenuhi ruangan. Iwan menaruh tasnya di sofa. Sementara sepatunya ia tinggalkan begitu saja di luar karena basah. Ia melihat sekeliling, kemudian pergi melepaskan kait-kait gorden yang masih terpancang. Tak lupa ia juga menghidupkan lampu teras yang sedari tadi masih mati. Setelah semua selesai, Iwan pergi menuju kamarnya.


Klek, klek, “Alah!,” Iwan mengumpat sendiri. Pintu kamarnya macet lagi. Setelah agak susah payah memutar tuas dan sedikit mendorong, akhirnya pintu terbuka.

Kamar Iwan tidak memiliki banyak benda. Hanya sebuah tilam yang diletakkan langsung ke lantai, lemari pakaian, gantungan baju, dan onggokan beberapa buku. Iwan menutup pintu, tanpa menghidupkan lampu, ia melemparkan tasnya ke sisi lemari, dan mencampakkan dirinya ke atas tilam. Ia letakkan tangan kirinya di bawah tengkuk, tangan kanan ia baringkan di atas perut. Sementara kaki kanan ia tambatkan ke atas bantal guling. Ia hampir tertidur saat ia membalikkan badan ke arah kanan untuk memeluk guling. Tangan kirinya menyentuh sebuah benda padat. Ia terkejut karena merasa tidak pernah menaruh apa-apa di kepala tilam tidurnya. Bergegas ia menghidupkan lampu. Ia mengucek-ngucek mata. Sebuah kotak berlogo centang. Ia mengambil kotak itu, memandangnya lekat-lekat. Kotak itu bertulis ‘Nike Zoom’. Ia tersenyum, itu sebuah sepatu basket. Dengan agak tergesa ia membuka kotak. Sepatunya mengkilat di terpa lampu. Warnanya hitam di bagian atas dengan warna putih berbentuk seperti ombak di bagian bawahnya. Bau barunya masih kuat tercium. “Hahaha! Kalo kek gini kan senang kita! Hahaha!.” Iwan segera mencobanya. Kaki kanan ia julurkan. Ia mendorong kakinya dengan kuat ke liang sepatu, tangannya juga membantu hingga mengeluarkan urat. Haah, ia mengeluarkan nafas dari mulutnya, keringat mulai mengalir. Ia pandang sepatunya sekali lagi. Tek, ia mematikan lampu serta mencampakkan tubuhnya ke tilam dengan posisi tengkurap. Sepatunya kekecilan.

-SELESAI-
sumber foto: sethchernoff.com

Sunday, March 13, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

One Comment

  1. aku suka cara qe mendeskripsikan sesuatu, mantap

Leave a Reply