(Cerpen) Istriku

Ada apa lagi ini. Aku baru pulang kerja, baru saja merebahkan badan di kasur, mataku baru saja tertutup saat istriku menyuruhku membeli minyak tanah di warung Bang Haji. Sambil mengomel dalam hati, aku pun pergi. Gila, sudah berapa kali dia begini. Sejak awal kami menikah, kurasa ia sangat sulit dalam membaca situasi. Tak peduli aku lelah, tak peduli aku sakit, ia selalu saja menyuruhku melakukan keinginannya. Yang aku heran kenapa momennya selalu tak tepat. Halah.

Mau tahu kenapa aku bisa menikahinya? Jadi ceritanya di mulai tujuh bulan lalu. Aku baru saja siap mandi, rapi-rapi, siap untuk wawancara kerja. Aku santai saja, semua berjalan sesuai rencana. Semalam jam weker aku setel sejam lebih cepat dari biasa. Jadi sekarang aku punya cukup waktu untuk nonton tv, hitung-hitung relaksasi, ini wawancara pertamaku! Aku sedikit terkejut, mengapa pagi ini begitu terang dan panas, lebih dari hari-hari biasa. Adikku pun yang biasanya masih makan pagi, kini sudah pergi ke sekolah. Ah, sudahlah, lebih baik aku hidupkan tv saja. “Pemirsa, kita di Breaking News pukul 9 pagi.” Apa? Sembilan pagi? Oh Tuhan, sepertinya aku salah setel weker, aku keliru menyetelnya! Aku pun buru-buru memakai kaos kaki dan berlari ke arah pintu depan. Sepatu? Ah! Ketinggalan. Dan setelah momen terburu-buru seperti di sinetron-sinetron selesai, aku pun kini berada di jalan raya, dengan kecepatan yang kupaksakan.

Aku tidak biasa mengebut. Jadi bisa bayangkan, klakson aku bunyikan nyaris sepanjang jalan. Gerutu-maki dengan setia lepas dari para penggguna jalan lain. Ah! Tak peduli! Yang penting aku sampai. Sambil balap-balap begini, tiba-tiba aku terbayang dengan si Yudi, orang yang paling aku benci satu dunia. Minggu kemarin aku bertemu dia. Seperti biasa dia melemparkan kata-kata yang merendahkan: “hari gini masih kuliah? Haha! Gak heran, gak heran.” Kurang ajar! Awas saja kalau aku dapat kerja. Memang dia dari Sekolah Dasar sombongnya minta ampun, mentang-mentah ayahnya pejabat! Aku menggelengkan kepala, mengibaskan bayangan si Yudi Kurang Ajar dari pikiranku.  Jarum speedometer menunjukkan angka 80. Di depan lampu lalu lintas masih hijau, tapi angka hijaunya hampir habis. 5, 4, 3, 2, 1, kuning, merah.  Ah! Tancap terus! Toh juga baru merah kok! Kuterobos lampu merah itu dengan cepat. Namun responku tidak cukup cepat saat motorku menghantam sebuah skuter matic. Aku melayang di udara. Jatuh di aspal. Pandanganku mengabur. Aku tak sadarkan diri.

Saat aku sadar, yang pertama aku lihat adalah seorang polisi yang sedang berbicara dengan ibuku. Polisi yang berperut buncit itu memegang sebuah papan alas yang di atasnya terjepit sebuah kertas. Kepalaku sedikit sakit, dan sepertinya ada perban yang menempel di pelipis kananku. Aku mencoba melihat seluruh tubuhku. Bahu hingga siku kananku diperban, sementara lututku berbercak kecoklatan, mungkin baru dibalurkan antiseptik. Aku coba menggerakkannya. Bisa, walau cukup perih. Syukurlah, aku rasa tidak ada yang patah. Aku cukup trauma melihat temanku yang tulangnya sampai keluar akibat kecelakaan. “Besok-besok kau terobos lagi ya. Untung kau tidak mati.” Ibuku menghampiriku. Ia terlihat tenang. Sambil mengusap kepalaku ia jelaskan pelan-pelan peristiwa tabrakanku tadi. Polisi bilang aku menerobos lampu merah, dan lucunya aku juga menabrak penerobos lampu merah. Aku cukup lega saat mendengar “teman kecelakaanku” tidak mengalami luka berarti, cuma giginya yang tanggal. Aku sedikit berpikir, sebenarnya siapa yang menabrak siapa. Polisi juga bilang, kami tak mendapatkan denda, hanya sebatas surat teguran. Masalahnya sekarang tinggal dengan keluarga “si teman” itu.

Besoknya aku sudah dibolehkan pulang. Kepalaku masih pusing, jadi aku didorong dengan kursi roda. Ibuku bilang kami akan singgah dulu di kamar “si teman”. Kamarnya selang lima kamar dari kamarku. Semakin mendekat ke sana, aku mendengar teriakan perempuan yang dibarengi dengan tangisan. Sebenarnya aku tak ingin berpikir itu siapa, kepalaku masih cukup pusing, tapi tetap saja aku tak bisa berhenti menduga bahwa itu “si Teman”. “Bang Oki kok gitu, ma? Oca gak terima! Masak gara-gara gigi Oca copot dia batalin ini semua! Dasar cowok brengsek!” Waduh, kepalaku yang pusing tiba-tiba sembuh ketika mendengar makian beraroma ratapan dari “si teman” yang ternyata bernama Oca. Oca meronta-ronta. Dia dikelilingi banyak orang, mungkin keluarga atau teman-temannya. Ia menangis sesenggukan setelah tenaganya habis berteriak-teriak. Suasana kamar begitu pilu. Aku dan ibu kini terdiam di depan pintu masuk. Untuk beberapa saat tak ada yang memperhatikan kami. Baru ketika Oca melirik ke arah kami, semua mata mengikutinya.

“Nah Oca, itu orang yang kamu tabrak,“ seorang perempuan seusia ibuku ngomong. Mampus aku! Walau kalimat ibu itu menyatakan bahwa aku sebagai korban, tapi tetap saja kepalaku terasa kosong, apalagi setelah mendengar mengenai akibat dari tanggalnya gigi si Oca: ia ditinggalkan bang Oki. Entah siapa dia, yang jelas sepertinya dia orang penting, bisa pacar, tunangan, atau mungkin calon suami! Oca memandang ke arahku, matanya sangat mengerikan, tempo nafasnya naik.

“Suruh dia ke luar! Gara-gara dia nerobos lampu merah gigi aku jadi ilang! Terus bang Oki tinggalin aku, huhu,“ Oca menangis setelah memakiku. Si ibu yang tadi bicara memberi isyarat dengan tangan kepada kami untuk meninggalkan ruangan. Ia juga memberi kode bentuk telepon dengan jempol dan kelingkingnya, ibuku mengangguk. Ibu pun mendorongku keluar. Aku tak bicara apa pun. Pikiranku bercabang-cabang, antara marah dan menyesal.

**
Bagaimana ini. Ibu menawarkan dua pilihan padaku: mengikutinya atau menuntut mereka ke pengadilan karena melakukan pemaksaan. Di dalam hati aku sungguh percaya, aku akan menang jika memang masalah ini dibawa ke jalur hukum, apa pasal yang dapat menjeratku ke penjara jika kami sama-sama melanggar lampu merah, sama-sama luka, bedanya hanya kami tidak sama-sama kehilangan gigi! Dan ia menuntutku menikahinya hanya karena itu!

Oh, mimpi apa aku semalam? Aku baru dua puluh dua tahun, baru saja selesai kuliah, dan dia mengajakku menikah! Yang benar saja! Dan yang paling aku sesalkan sebenarnya adalah si Oki itu, teganya ia meninggalkan seorang perempuan hanya karena giginya tanggal! Cowok kurang ajar! Kini aku hanya berpikir apakah aku sama kurang ajarnya jika tidak menerima tuntutan Oca.

**
“Terus sekarang kita ngapain?”
“Ya tidurlah! Aku capek!”
“Tapi kan…”
“Tapi apa?”
“Ini kan malam pertama”
“ Main aja sendiri! Aku mau tidur! Titik!”

**
Setelah momen malam pertama yang kurang ajar, ia masih selalu saja demikian. Bahkan kami tak pernah bercinta sampai sekarang. Setiap hari ia hanya marah-marah, menyuruh-nyuruh, tak pernah sekalipun menjadi seorang istri bagi suaminya ini. Namun kadangkala aku melihatnya termenung di teras belakang, tatapannya kosong, dan seringkali ditambah dengan air mata tanpa suara. Entah kenapa hal itu menjelma menjadi semacam kekuatan aneh dalam diriku yang menyuruhku sabar, dan tetap bersamanya hingga sekarang.
Kadangkala, ketika malam datang dan angin sedang tenang, aku mendekat ke arah tubuhnya yang dibalut selimut. Aku berbisik, aku mohon dia untuk menceritakan semuanya, karena bagaimana pun aku suaminya. Tak peduli ia tidur atau tidak.

Belakangan aku semakin sering melakukannya. Dan bahkan tanpa sadar sudah tiap malam aku “berbicara” dengannya. Pertanyaanku masih sama: ada apa denganmu, ceritakanlah padaku. Hanya semalam ada sedikit penambahan kalimat baru: aku cinta kamu.

Pagi ini aku heran. Ada roti bakar dan teh susu di meja. Biasanya aku yang buru-buru memanggang dan mengaduknya sendiri karena memburu kerja. Apa ibuku datang? Biasa ia melakukan demikian jika mengunjungi kami. Aku berjalan ke kamar tamu. Kosong. Ataukah Oca? Tidak mungkin. Ia sedang nonton gosip pagi seperti biasanya. Nah kan, dia sedang di depan tv. Tapi siapa lagi kalau bukan dia. Aku mencoba menarik perhatian perhatian Oca dengan mondar-mandir di depan tv. Biasanya jika aku lewat ada saja yang ia suruh: beli sabun lah, panasin motor lah. Pokoknya asal diriku ini jauh dari jarak pandangnya. Tapi, ia tidak bereaksi sama sekali. Aneh. Aku cubit perutku. Sakit, ini bukan mimpi.

**
Gila, sudah jam dua malam! Anak magang bodoh. Begitu banyak kesalahan tata bahasa yang mereka perbuat. Aku harus kerja lembur malam ini. Badan dan pikiranku terasa begitu lelah. Jika aku memejamkan mata sedetik saja, bayangan huruf-huruf melayang di langit hitam mataku. Lega rasanya sudah sampai di rumah.

Setelah cuci muka, aku masuk kamar. Oca sudah tidur. Kelopak mataku telah begitu berat. Aku pun tidur tanpa sanggup melepas kemeja serta dasi.

**
Aku bangun sambil tersenyum. Aku bermimpi indah. Ada seorang perempuan yang mencium dahiku. Haha, walau hanya mimpi kan lumayan.  Jejak bibirnya secara ajaib masih dapat kurasakan. Setelah mencuci muka di kamar mandi, aku beranjak ke ruang tv. Ternyata sudah jam 7. Aku tidur seperti mayat. Dengan malas aku rebahkan lagi diriku di sofa. Dengan sedikit bergairah aku menyeruput teh susu yang berada di meja sebelah susu. Eh, Oca buat lagi? Haha. Aku begitu bahagia. Saat bibirku nyaris menyeruput tegukan kedua, tiba-tiba gelasnya menjauh. Tanganku ditarik. Oca? Ia mencium dahiku dan berkata dengan agak berteriak: “shalat sana!”

-end-   


foto: vi.sualize.us
    

Sunday, May 1, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 4 comments

Comments (4)

  1. bwd ndiri ne cerpen'a Kal????

    Nice story, i like it so much

  2. hehe
    ok, thank udah komen.
    kritik & sarannya yo!

  3. endinngnya bahagia,tapi kayak ada sedikit ngelawak gitu ya,hahaha

  4. hahaha. thanks udah baca

Leave a Reply