Ranub: dari Personal hingga Seremonial*

Penjual sirih di kawasan Mesjid Raya Banda Ace
Bagi Fatimah, ranub adalah sumber penghidupan utamanya. Dari mulai persoalan dapur hingga pendidikan anak, semuanya berasal dari penghasilannya sebagai penjual ranub di kawasan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.

Fatimah tidak sendiri, ada 16 perempuan lain yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan ranub. Salah satunya bernama Laila. Perempuan yang sudah sejak tahun 1982 berjualan ranub ini menganggap ranub sebagai "suami" pertamanya. "Ranub menafkahi saya lahir dan batin," begitu kata Laila.

Penghasilan dari berjualan ranub cukup lumayan. Dalam sehari, penjual bisa meraup omzet mulai dari 100 hingga 200 ribu rupiah. Pembelinya berasal dari berbagai jenjang umur dan jender. Mereka membeli dengan tujuan memperoleh manfaat kesehatan dari ranub, di antaranya menguatkan gigi, mewangikan badan, mengatasi keputihan, dan meredakan maag. Para penjual biasa berjualan dari pukul 1 siang hingga sepuluh malam, tidak peduli terik matahari atau guyuran hujan.

Dulu para penjual ranub sempat dilarang berjualan. "Baru sejak tahun 2007 kami mendapatkan meja dari pemerintah, dan sejak saat itu pula keberadaan kami menjadi resmi, " tutur seorang penjual.

Para pedagang berharap pemerintah tidak lagi memindah-mindahkan lokasi mereka berjualan. "Kawasan ini sudah dikenal luas sebagai daerah penjual ranub," kata seorang pedagang. Bagi mereka, profesi sebagai penjual ranub adalah profesi yang tidak tergantikan. "Kalau suami bisa kita cari lain, tapi kalau pekerjaan lain? Saya rasa tidak," seloroh seorang penjual.

Aceh dan Ranub 


Aceh dan ranub rupanya memiliki hubungan yang sangat erat. Ranub atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sirih (piper betle L.), telah masuk ke dalam ranah kehidupan masyarakat Aceh sedari dulu. Dari mulai sebagai makanan hingga media penyelesaian perselihan, ranub selalu ikut serta. Ranub juga tidak lupa dibawa sebagai perekat tali persaudaraan atau sebagai pengantar dalam pernikahan. Ibaratnya jika tak ada ranub, maka hana jadeh acara (acara atau hajatan tidak jadi dilaksanakan).

Ranub biasa dikonsumsi bersama dengan pinang, kapur, dan gambir. Menurut buku Ranub Lampuan karangan H. Asli Kesuma, pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, masyarakat Aceh sangat senang memakan ranub. Buktinya, hampir di seluruh fasilitas umum seperti kereta api, dan tiang listrik dipenuhi oleh colekan kapur ranub. Saat masa kanak-kanak pun, seringkali seorang anak atau cucu meminta sepah atau ranub yang telah dikunyah oleh ibu atau neneknya. Hal tersebut diyakini dapat membuat hubungan keluarga semakin kuat.

H. Asli dengan mengutip pernyataan dari Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) juga menyebutkan, ranub turut dimanfaatkan dalam proses pernikahan di Aceh, seperti dalam prosesi penjajakan pernikahan oleh seulangkee (perantara atau mak comblang). Saat ingin menyelidiki status calon dara baro (pengantin perempuan) di kalangan masyarakat, seulangkee dari pihak linto baro (pengantin laki-laki) membawa ranub yang disebut ranub bate. Sambil berkomunikasi dengan pihak dara baro, sang seulangkee mengunyah ranub. Begitu pula dengan pihak dara baro, mereka juga akan mengirimkan seulangkee-nya untuk meneliti calon linto baro. Baru setelah kedua pihak sepakat, lamaran pun diterima.

Dalam prosesi meminang dara baro, ranub juga ikut ambil bagian. Ranub yang dibawa pada saat meminang disebut ranub kong haba. Pada acara meminang ini, pihak linto dan dara baro menyepakati persoalan jeunamee (mas kawin), hari baik untuk ghatib (menikah), serta hal-hal penting lain seperti tanggal intat linto (mengantar linto ke rumah dara baro) dan tueng dara baro (menjemput dara baro). Terakhir, ranub turut disertakan pada prosesi ranub gaca. Prosesi yang dilakukan beberapa hari sebelum intat linto ini dimaksudkan sebagai simbol kehormatan antara kedua keluarga mempelai.

Tidak hanya perkara pernikahan, lebih jauh lagi ranub juga menjadi bagian dalam proses perdamaian. Jika terjadi perselisihan antara suatu pihak, keuchik (kepala desa) dan imum meunasah (imam mesjid) mengadakan proses mediasi. Masing-masing pihak yang berselisih membawa ranub untuk dimakan sambil berdiskusi mencari solusi. Disebutkan oleh H. Asli, pada zaman dahulu, para pihak yang berselih mengenakan pakaian adat saat berdiskusi, namun sekarang mereka mengenakan pakaian sehari-hari.

Asli Aceh


Lebih lanjut lagi, Rusydi Sufi, sejarawan Aceh, yang diwawancarai di kantornya Selasa (21/06/2011), mengungkapkan bahwa tradisi ranub memang berasal dari Aceh. “Asal mula tradisi ranub memang asli dari Aceh. Ranub bukan tradisi Arab. Bahkan di sana tidak tumbuh pohonnya,” kata Rusdi.

Rusydi yang juga merupakan Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) melanjutkan bahwa selain ranub menjadi ikon silaturrahmi masyarakat Aceh, dahulu perempuan yang memakan ranub memiliki daya tarik lebih.

Sayangnya, generasi muda sekarang kurang meminati ranub. “Alasannya kotor mulut lah. Mereka mungkin tidak tahu bahwa dengan memakan ranub gigi menjadi lebih kuat,” tutur Rusydi. Keberadaan pohon sirih juga cenderung semakin langka .“Di kampung-kampung tanaman ranub semakin jarang. Yang menanam paling satu-dua orang.” Walau demikian, Rusydi berharap tradisi ranub terus berlanjut.

Senada dengan Rusydi, Ketua Majelis Adat Aceh, H. Badruzzaman Ismail, SH, M. Hum, yang ditemui di kantornya Selasa (21/06/2011), menuturkan bahwa dahulu apabila masyarakat Aceh ingin bersilaturrahmi baik dengan tujuan “biasa” atau memiliki hajatan khusus, ranub selalu menjadi buah tangan. “Ini merupakan kultur Aceh murni. Mencerminkan penghormatan paling tinggi,” kata Pak Bad, sapaan akrab Badruzzaman. Hal tersebut juga tercermin dalam tarian Ranub Lampuan yang selalu disuguhkan masyarakat Aceh dalam penyambutan tamu.

Di ujung pembicaraan, Pak Bad yang mengaku turut menanam ranub di rumahnya ini berharap tradisi ranub terus lestari. Selain itu, pihak-pihak terkait harus berfikir inovatif tentang bagaimana cara mengolah ranub sehingga menjadi produk layak jual. Terakhir, Pak Bad, mengatakan bahwa bangsa yang besar tidak hanya memfokuskan diri dalam pembangunan aset fisik saja. “Kultur juga harus dipertahankan,” tutup Pak Bad.

Ikon Persaudaraan dan Perdamaian
Akhirnya, ranub sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Aceh, walau di satu sisi sudah mulai memudar di generasi sekarang. Penyertaan ranub dalam berbagai even sosial kemasyarakatan menunjukkan bahwa ranub telah menjadi ikon betapa masyarakat Aceh menjunjung tinggi persaudaraan dan kedamaian. Peumulia wareh ranub lampuan, peumulia rakan mameh suara (memuliakan kerabat dengan ranub lampuan, memuliakan sahabat dengan tutur kata yang baik). *** 

*Tugas Akhir saya di MJC (sangat hancur-hancuran, haha)






foto diunduh dari theglobejournal.com

Sunday, June 26, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Comments (3)

  1. memang sirih menjadi icon aceh,,,,,long life ranub,,,,,

  2. long life. makasih bro udh ngunjung & komen. kritik dan sarannya.

  3. sudah menjadi ciri khas aceh kalau itu mah :)
    jilbab tangan

Leave a Reply