Cita-cita?

Sekarang aku tak tahu aku ini siapa,
Aku lupa
Dan tak kuasa mencari di mana cita-citaku berada.


Barisan kata di atas baru saja saya tulis. Saya sebenarnya tidak ingin menjadi atau menyebarkan aroma negatif dalam blog. Tapi jika memang itu yang sekarang ada di dalam kepala, saya mau bilang apa lagi?

Saya pusing memikirkan saya nanti mau jadi apa. Serius, saya bingung!

Ketika ada yang bertanya: “Cita-cita kamu apa?”

“Oh, saya mau jadi guru”

Dalam sebuah pertemuan lain dan dengan pertanyaan yang sama, saya pun dapat menjawab dengan kalimat yang berbeda. Intinya: saya pusing. Tegasnya: saya benar-benar pusing. Terus bagaimana?

Saya telah merasakan berbagai pekerjaan berbeda. Entah kenapa belum ada yang membuat saya betah. Dalam diri saya bertanya: apakah saya benar-benar belum menemukannya atau saya hanya belum mampu menyukuri yang ada?

Mengenai hal ini, saya teringat kejadian beberapa hari lalu. Teman saya terkena musibah. Jadi saya dan beberapa teman lain menjenguknya. Setelah ngobrol banyak, ayah sang teman tiba-tiba menarik sebuah topik yang bagi saya cukup menarik.

“Kalian tahu, dulu saat Om masih muda, orang-orang itu kalau belajar sesuatu tekun. Kalau belajar silat, mereka sampai tingkatan akhir. Kalau belajar nyopet, mereka sampai level gak ketahuan. Tapi liat sekarang kalian orang muda, kalau belajar suka tanggung. Belajar ini dikit itu dikit. Akhirnya kalian cuma sampai setengah-setengah. Bisa sesuatu tapi tanggung, gak menyeluruh,” Kata si Om. Kami semua mengangguk.

Mungkin masih satu tema dengan cerita di atas, (kalau saya tidak salah) dalam satu tulisannya di Kompas, Bre Redana menulis bahwa salah satu efek buruk globalisasi adalah segala sesuatunya serba instan, dan terlalu banyak pilihan. Manusia jadi tertarik akan segala hal hingga melupakan titik fokus. Ingin sukses tapi tidak mau bergelut dalam proses. Terus apa hubungannya dengan kebingungan saya?

Bisa jadi saya juga termasuk orang yang tidak setia akan proses: mau mencoba semuanya, tapi berhenti di kala kesulitan mulai terasa. Bisa jadi saya melakukan sesuatu tidak sampai selesai: hanya jogging sampai setengah lintasan, lalu kembali pulang ke rumah untuk mendapatkan segelas air dingin. Bisa jadi saya kurang bersyukur: mendapatkan pendapatan cukup, tapi selalu ingin lebih dan lebih. Dan bisa jadi semua itu adalah kenyataan. Terus bagaimana selanjutnya? Saya tahu jawabannya dan memang cukup simpel: hapus kata ‘tidak’ atas kemungkinan-kemungkinan tadi. Tentunya cukup mudah dikatakan dan cukup sulit dilakukan. Dan saya tidak punya pilihan lain selain mencoba! Insya Allah bisa!

Sekarang aku tahu aku ini siapa,
Aku ingat
Dan kuasa mencari di mana cita-citaku berada

Kawan-kawan. Ada saran? Saya tunggu komentarnya, ya! Dan terima kasih telah berkunjung! Salam.

Monday, October 31, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Comments (2)

  1. Good Karl ! Semakin sering kita bertanya pada diri sendiri semakin bagus. Saya juga sedang mencoba belajar bertanya kepada diri sendiri. Saya ini mau jadi apa?

    Orang biasanya kalau sudah mendapatkan kemajuan di "diluar", sering lupa ke "dalam" akibatnya ia tersesat, lupa pada identitas diri dan menjadi orang asing bagi dirinya sendiri. Semoga kita semakin sering berdialog dengan diri sekaligus intropeksi dan memperbaiki. Man a'rafa nafsahu fa qad a'rafa Rabbahu. :)

Leave a Reply