Archive for December 2011

(Masih) Bukan Apa-apa

Otakku digelayuti cabang,
Semak,
Dan kuntilanak.

Dan aku belum apa-apa,
Hanya seorang lelaki yang tidak menyadari hari,
Terikat di bawah kubang ludah dan sprei yang basah.





pic: google.com

Wednesday, December 28, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Ilfil

Ada seorang perempuan berkulit sawo matang. Tubuhnya tidak kurang tinggi, sekitar 170 centi. Protein dalam dagingnya berpadu seksi, tidak terlampau kering, tidak pula begitu berisi.  Bibirnya merah jambu dan merekah santai. Deretan giginya putih dengan taring yang menonjol tipis. Sementara hidungnya, ya hidungnya, terbangun tidak terlampau panjang, namun cukup serasi dengan dahi dan tulang pipi. Tapi apa itu? Sebuah objek asing terdeteksi. Warnanya cokelat muda,  kering, dengan ukuran tidak lebih besar dari biji kenari. Dekat, lebih dekat. Dan ya, itu upil. Sekali lagi, upil. Bergantung dan melambai (deksripsi lebai) di tepi lubang hidung.

Apa yang terjadi? Sejenak sepertinya segala deskripsi dan imajinasi manis tadi buyar. Digantikan oleh perasaan biasa, ya biasa, dia perempuan biasa, tidak ada yang istimewa. Apa itu jahat? Apakah itu kejam?  YA IYAAA LAAH!!!

Saya mengenal kata ‘ilfil’ sewaktu SMP. Dimulai dengan kejadian seorang pelawak berambut gimbal yang memutuskan pacarnya. Hasil usutan infotainment, hal itu terjadi karena sang pacar kentut. Ya, kentut. Ternyata saat itu kekuatan kentut mengungguli cinta. Mengerikanz.

“Kamu segalanya sayang,” kata seorang lelaki kepada pujaan hatinya.

prooot. Suara itu berbunyi.

Dan lelaki tadi itu pun pura-pura pingsan. Saat sadar dia hanya bilang, “kalimat yang pertama tadi hanya kerasukan.”

Dalam beberapa hal, ilfil berbahaya. Cinta yang menyala-nyala bisa padam seketika, dan manusia sepertinya menjadi hilang rasa ‘kepri’-nya. Terus, bagaimana?

Saya ingat kata seorang dosen, “kita sekarang sering terjebak dengan hal-hal yang sifatnya alami.” Kentut adalah salah satu di antaranya (walau tentu saja tidak bijak untuk nge-bom di sembarang tempat, hehe).  Alami itu wajar, semua manusia memilikinya.

Akhirnya, jangan sampai ilfil menghancurkan hidup kita dan orang-orang tersayang. Say no to ilfil!!! (ntah pa ntah, hehe)

  
pic: kaskus.us

by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

26 Desember 2004


Saya sedang berada di halaman saat itu, memetik biji-biji euphorbia yang memang sedang nge-tren. Pot-pot bunga itu terletak di rangkaian besi yang dilas bertingkat. Sebuah pot jatuh saat saya sedang asyik memetik. Saya letakkan pot itu kembali ke tempat semula. Pot itu kembali jatuh, dan tidak hanya satu, tapi semua pot berceceran ke tanah. Pijakan saya goyah. Tanah bergoyang. Gempa.

Seumur-umur saya tidak pernah merasakan gempa sekuat ini. Bumi bergoyang seperti ayunan yang didorong kemudian ditahan. Begitu seterusnya. Saya tidak mengingat berapa lama gempa terjadi.

Suara tasbih menggema dari rumah saya dan tetangga sekitar. Dentingan piring-piring pecah bercampur dengan rintihan ampun manusia kepada Tuhan-nya. Sementara itu, jalan aspal di depan rumah saya sepi. Beberapa orang yang tidak mengetahui gempa terjadi masih berada di atas kenderaan. Sementara kami yang menempelkan diri di tembok, mendekap batang kelapa, dan duduk di atas rumput, menjerit-jerit memberi tahu mereka tentang apa yang sedang terjadi. Keadaan begitu panik. Kami bahkan tak sadar saat gempa telah berhenti.

Saya sedang berada di rumah dengan seorang sepupu dan mak cik. Piring-piring berjatuhan di lantai. Cangkir-cangkir keramik yang biasa hanya keluar saat hari raya, pagi itu berhamburan pecah. Retakan terlihat di dinding rumah. Saya tidak ingat apakah saat itu akses telekomunikasi masih berfungsi, yang jelas ayah, mamak, dan adik saya sedang pergi berbelanja.

Belum reda kepanikan, seorang teman saya berlari sambil berteriak, air naik katanya. Air apa, pikir saya. Saya tidak mengerti. Rumah saya berada tepat di depan aliran sungai Lamnyong, sekitar 300 meter jaraknya.

Di tengah pikiran yang bermacam-macam, antara panik dan bingung, aliran deras dan besar menyapu sungai. Seperti ombak yang menyapu daratan tapi tidak kembali ke lautan. Air itu membawa puing-puing rumah: seng, atap, kayu, dan yang lebih mengejutkan lagi, manusia-manusia. Beberapa orang yang terbawa aliran berusaha bertahan di atas puing-puing, berjalan pelan dengan baju yang telah koyak sana-sini. Mereka mencari sela kosong di arus sungai, yang bebas dari puing, sehingga mereka bisa berenang ke tepi. Saya dan beberapa tetangga berdiri di tanggul dengan mulut menganga. Beberapa berteriak, “Awas! Ada kabel rakit di depan!” memang ada kabel besi di sungai yang jika terkena bisa membuat cedera, sementara yang lain diam tak tahu berbuat apa. Air di sungai semakin banyak dan deras hingga memenuhi ladang rumput yang di dalamnya berada banyak kandang sapi masyarakat. Para peternak sapi mulai turun ke bantaran sungai, menyelamatkan ternak-ternak mereka. Air makin meninggi. Beberapa sapi dari kampung sebelah, Limpok, terseret arus, sementara pemiliknya menceburkan diri ke air. Saya masih tidak tahu apa yang terjadi. Saya yang saat itu masih SMP bilang, “Banjirnya besar kali tahun ini.” Tapi tetangga saya yang sudah kuliah bilang, “Ini bukan banjir, Kal. Ini tsunami.”

Orang-orang mulai sadar akan keselamatannya saat air terlihat seperti akan melewati tanggul. Kami mulai lari ke rumah masing-masing. Makcik dan sepupu saya mulai mengepak barang di dalam koper. Entah apa yang mereka masukkan. Keadaan berlangsung dalam tempo cepat. Saya menuju kamar, menutup jendela, dan gordyn. Sungguh saat itu saya berpikir, mungkin saat ini terakhir saya melihat kamar, tempat saya melakukan hampir keseluruhan aktifitas. Saya mengambil kunci motor, saat itu saya baru bisa bawa motor. Saya dan sepupu berboncengan berdua, ada seorang anak yang ikut naik, anak rekan mamak saya yang sebenarnya tinggal jauh dari rumah saya, di Perumnas. Tapi karena kebetulan lewat dan kondisi begitu horror, ibunya menitipkan anak itu kepada kami. Kami pun bergerak ke meunasah yang terletak sekira 500 meter di belakang rumah.  Makcik saya, entah dengan siapa dia pergi ke meunasah, yang jelas tiba-tiba dia sudah di sana (sebuah kondisi yang jika dikenang sekarang, lucu juga). Meunasah dipenuhi orang, semuanya berwajah bingung. Air mata menetes dari wajah mereka.

Orang tua dan adik saya belum pulang. Saya dan Apa Cut mencari mereka ke Darussalam. Entah kenapa kami ke sana, mungkin karena daerah itu yang paling dekat dalam pikiran saja. Sepanjang jalan menuju Darussalam, saya terkejut melihat begitu banyak mayat bergelimpangan. Tubuh mereka berbalut lumpur. Seorang kakek pemelihara lembu di kampung saya terlihat memandikan jenazah seorang anak perempuan di dalam kubangan kerbau yang airnya telah berganti menjadi air sungai. Saya berharap ini semua film.

Di mesjid Kopelma, masyarakat penuh. Sementara di dekat tower air yang di bawahnya berada pos Brimob, mayat-mayat begitu banyak. Di samping mayat, menggeletak beberapa manusia yang masih hidup berselemak lumpur. Kami sempat singgah di rumah rekan ayah saya. Di sana terduduk seorang anggota Airud dengan badan penuh luka. Katanya mereka sedang latihan pagi saat tsunami menerjang. Jarak antara tempatnya latihan dan Darussalam mungkin sekitar 10 kilometer. Gelombang membawanya begitu jauh.

Kami kembali ke rumah. Sepanjang jalan pulang, saya berusaha berpikir di mana mereka. Jika hari Minggu, biasa mereka belanja ke Peunayong, sebuah kawasan yang begitu dekat dengan laut. Dari Darussalam ke Lamreung, jalanan terlihat begitu berbeda. Sebagian jalan aspal yang dekat dengan sungai telah dilapisi lumpur hitam. Air juga masih menggenang di beberapa sudut jalan. Mayat-mayat yang baru ditemukan dijajarkan di pinggiran aspal. Bau laut dan lumpur memenuhi udara.

Saya tiba di rumah. Mobil orang tua saya terparkir di halaman. Alhamdulillah tidak ada yang kurang dari keluarga kami.

**


Tsunami mengubah banyak hal. Tsunami dalam hal ini menghancurkan, membangun, mengingatkan, mendekatkan, dan menjauhkan.

Tsunami membuat saya menyesal bolos les. Saya memiliki teman dekat di les bernama Zaira. Hanya gara-gara baru pangkas rambut, jadi cepak, saya malu pergi les, sebulan saya bolos, bodoh. Entah hari Jumat atau Sabtu, saya bertemu dengan dia di jalan pergi sekolah. Dia sedang mengantar adiknya yang sekolah di SMP 8, adik letting saya, sementara dia bersekolah di SMP 2. Dia tersenyum kepada saya saat itu. Senyum terakhir yang saya lihat darinya.

Sebelum tsunami, saya bertengkar dengan Erna Safitri, teman baik saya di SMP. Saat jam pulang sekolah, saya yang biasa ke kelasnya terlebih dahulu, memilih lari pulang, dan menghilang. Jam istirahat yang sering ramai-ramai kami habiskan dengan teman-teman lain, saya habiskan di dalam kelas atau di manapun yang tidak ada dia, saya menghindar. Beberapa minggu setelah sekolah dimulai pasca tsunami. Makcik Erna datang ke sekolah menjumpai saya. Dia bertanya apakah saya ada bermimpi sesuatu tentang dia. Saya menggeleng. Makciknya menangis, dia bilang, jenazah Erna belum ditemukan. Tsunami membuat saya menyesal menunda-nunda meminta maaf.

Tsunami memisahkan saya sementara dari kawan-kawan tercinta. Semisal Keni yang mengungsi ke Medan, dan baru pulang dengan gaya rambut yang tidak pernah saya lihat sebelumnya: cepak. Saat dia tiba di Banda Aceh, kami biasa menghabiskan waktu sore dalam perjalanan santai ke arah Blang Bintang. Melihat deretan pesawat di bandara, hijaunya sawah, dan muda-mudi yang baru siap mandi sore. “Mencuci mata,” begitu kata kami.

**


Tsunami dalam beberapa hal membuat benci, membuka mata bahwa manusia adalah makhluk tak tahu diri dan serakah. Entah putus asa atau memang mencari celah semata, beberapa orang dengan kejam memotong jari jenazah tsunami hanya untuk mengambil cincin emas. Beberapa lain, (maaf) tega melecehkan perempuan korban tsunami yang masih hidup. Menyalurkan nafsu di tengah kepanikan, ketidakberdayaan orang lain. Memang sesaat setelah kejadian, korban-korban yang bernyawa maupun tidak, telah tidak lengkap lagi busananya.

Tsunami membuat kita merasakan bahwa ternyata manusia adalah mahkluk yang lemah. Butuh bantuan orang lain, dan dia atas segala-galanya, butuh belas kasih dari Allah SWT. Di sisi lain, kita juga patut bersyukur dan kagum atas bala bantuan yang diberikan oleh saudara-saudara kita dari luar pulau bahkan luar negeri - tanpa memandang suku, ras, dan agama. Salut!

Tsunami dalam banyak hal mengajarkan bahwa setiap pertemuan harus disyukuri secara maksimal. Kita tidak tahu kapan berpisah dengan rekan, saudara, ayah, ibu, adik, kakak, istri, suami, dan dunia. Tsunami juga mengajarkan bahwa hidup terlalu indah untuk disia-siakan. Mengutip status teman saya di FB, “hidup terlalu indah untuk digalaukan.”

Semoga kita semua belajar dari tsunami, baik secara moral maupun teknis antisipasi bencana. Khusus bagi pemerintah, jangan lupa bahwa saat ini masih banyak korban tsunami yang tinggal dalam barak, padahal tsunami sudah berlalu delapan tahun.

“Ya Allah, hapuskan dosa saudara-saudara kami yang Engkau ambil nyawanya saat tsunami. Tempatkanlah mereka dalam surga-Mu.” 

 
 sumber gambar:doitsoteam.blogspot.com

Sunday, December 25, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 11 comments

Tentang Menunggu dan Harap-harap Cemas

Menunggu bukan perkara enak, bahkan untuk sesuatu yang bersifat enak, seperti menunggu kebab dimasak, dan mangga muda dikupas. Apalagi menunggu dilamar? Kebayang tidak tahannya, eh, maksudnya tidak enaknya, hehe.

Saturday, December 24, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Antara Dunia Nyata dan Fiksi

Saya sangat menggemari game. GTA, PES, dan Fight Night adalah beberapa game favorit saya. Ketika bermain, saya lupa waktu. Bisa dari pagi ke pagi. Lupa makan, apalagi mandi.

by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Teman Seminat

Berkumpul dengan orang yang memiliki kesukaan sama adalah sebuah cara untuk menjaga semangat dan vitalitas dalam melakukan sesuatu. Saya suka menulis. Saya tidak pernah tahu keburukan tulisan saya jika hanya membacanya sendiri. Saya butuh orang yang menyuarakan saran dan kritik terhadap hasil karya saya. Dengan itu, saya percaya tulisan saya akan terus berkembang. Insya Allah.

Friday, December 23, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Hujan

Di antara rintik hujan,
Dan mantel yang basah
Tubuh menegak,
Tak menggigil,
Tak mencair.

by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

Vonis

Kerap kali beberapa dari kita sering memvonis orang lain secara sepihak. “Eh, liat tu, dia jarang masuk kuliah, malas banget ya jadi orang.” Padahal orang itu memiliki kesibukan yang mungkin sepuluh kali lebih bermanfaat dari kuliah. “Eh, dia kuper kali ya, gak pernah keliatan nongkrong.” Padahal orang itu sibuk bekerja. “Eh, selera musiknya jelek kali ya, masak suka lagu India.” Padahal lagu yang dia sukai juga disukai oleh jutaan orang di dunia.

Tuesday, December 20, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Sibuk

Beberapa waktu belakangan saya mungkin bisa dibilang teramat sibuk: menyiapkan berbagai berkas  organisasi kampus (yang masa pemerintahannya menjelang tahap akhir) dan tumpukan tugas kuliah dari dosen. Memang sudah menjadi tanggung jawab, seperti kata orang bijak, “setiap pilihan, menghasilkan konsekuensi”.

Monday, December 19, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

21 Tahun


21 tahun
Ini tentang bulu-bulu halus yang memenuhi wajah
Dan riak-riak semak yang meliati sepatu
Deru membatu

Tuesday, December 13, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Tanpa Jeda

Memang benar jika ada yang berkata,
"Istirahat bagi kita hanya di surga."
Muak untuk selalu mengatakan hal yang sama,
Tapi memang kita harus selalu berusaha,
Tanpa jeda.











pic: myspace.com

Tuesday, December 6, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Collage

Asli Gokil (punya murid)




Dalam minggu terakhir di sekolah, saya memberikan materi collage. Sebenarnya saya sendiri tidak mengetahui secara jelas apa itu collage, yang saya sedikit ketahui bahwa collage adalah 'tempelan yang menceritakan sesuatu', misal tentang rencana hidup, atau kegiatan sehari-hari.

Monday, December 5, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments