Memanusiawikan Anak-anak

Opini ini terbit di Serambi Indonesia. (klik di sini untuk langsung menuju situs)
-----------------------------------------------------------------------------

Menurut catatan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama semester pertama tahun 2011, ada sebanyak 23 anak Indonesia yang melakukan bunuh diri. Enam kasus di antaranya terjadi karena masalah di sekolah, delapan lainnya disebabkan persoalan dalam keluarga, sedangkan selebihnya karena masalah putus cinta. Rentang usia mereka dari 6-17 tahun (Tempo, Selasa, 20/12/2011).

Melihat realita di atas, sekolah sepertinya merupakan tempat yang rentan terhadap stres. Tumpukan tugas, dan tuntutan memperoleh prestasi tinggi membuat anak-anak terbebani. Hal itu dapat diperparah dengan tindakan orang tua sekarang yang menambah-nambah beban pendidikan anak dengan menyertakan mereka ke tempat bimbingan belajar. Waktu bermain dan berkumpul bersama keluarga pun kian terbatas.

Semua orang tua mungkin setuju jika pendidikan itu penting. Tapi, apakah dengan menambah beban belajar akan membuat anak lebih siap menghadapi masa depannya?  

Pada tahun 1982, di Amerika Serikat muncul sebuah program yang diberi nama Supercamp. Program ini diprakarsai oleh Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, dua pakar pendidikan asal Amerika Serikat. Supercamp adalah istilah untuk kemah remaja yang bertujuan melambungkan prestasi para peserta. Tidak hanya dalam hal akademik, Supercamp terbukti meningkatkan kemampuan para remaja dalam hal hubungan sosial dan interpersonal.

Dalam praktiknya, para trainer Supercamp menyuruh para peserta memanjat pohon, berjalan di atas tali, menjatuhkan diri dari ujung tangga ke rengkuhan peserta lain, dan beberapa kegiatan fisik lainnya. Kegiatan itu dipadukan dengan keterampilan how to learn, bagaimana cara belajar, yang meliputi teknik menghafal, mencatat, membaca cepat, menulis, dan berpikir kreatif. 

Tidak berhenti di situ, para peserta diajarkan bagaimana cara membangun hubungan antarsesama, berkomunikasi secara efektif, dan mendapatkan integritas pribadi. Hasilnya, para peserta sukses di sekolah, komunitas, dan karier. Tidak heran, Supercamp terus berlanjut hingga sekarang dengan 60 ribu alumni yang tersebar di seluruh dunia.     

Inti dari kegiatan di atas adalah membiarkan anak bersenang-senang. Dunia anak adalah dunia yang penuh dengan tawa dan warna (Papalia, 1995). Jika kita mengabaikan dunia anak itu, maka ditakutkan mereka akan lemah dari segi mental dan karakter.

Menurut Nia Hidayati, seorang pemerhati anak, stres pada dapat dipicu oleh beberapa hal, antara lain ekspektasi berlebihan orang tua terhadap prestasi anak, rendahnya kualitas hubungan antara anak dan keluarga, dan padatnya jadwal anak untuk belajar. 

Christine M Todd, seorang pakar kejiwaan dari University of Illinois, menambahkan, dari semua penyebab stres, stres fisik seperti rasa lapar, mengantuk atau kurang tidur, merupakan faktor utama yang menyebabkan munculnya masalah tingkah laku pada anak. Jika situasi tersebut terus dibiarkan berlanjut bisa menyebabkan dampak yang membahayakan.

Dalam jangka pendek, dampak negatif stres ialah mengacaukan dan merusak emosi anak yang ditandai dengan gampang marah, sulit berkonsentrasi, dan mengalami kegelisahan. Dampak jangka panjangnya ialah bisa membuat anak mengalami kesulitan dalam mengembangkan bakat dan minatnya. 

Nah, bukan prestasi yang malah akan diperoleh, malah sebaliknya. Saya percaya tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya terpuruk.

Disadari atau tidak, kita bisa membuat “Supercamp” sendiri. Biarkanlah anak-anak melakukan apa yang mereka sukai setelah sekolah. Jika mereka gemar bermain bola, biarkan, apabila mereka tertarik dengan masak-masakan, persilahkan. Dengan demikian, anak-anak bisa melepas stres yang mereka peroleh di sekolah.

Dan tanpa mereka sadari, mereka mengalami peningkatan dari segi pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik). Mereka menjadi lebih cakap dalam membangun hubungan sosial dan keterampilannya pun terasah.   

Sementara itu, orang tua juga harus berusaha menemukan formula belajar yang tepat bagi anak. Carilah informasi mengenai cara belajar yang efektif. Cukup hal-hal kecil, misalnya trik mengingat kata-kata. Apabila kata-kata ditulis dalam bentuk peta pikiran (mind map) ternyata akan lebih mudah diingat daripada kata yang berbentuk daftar (list).

Orang tua juga sebaiknya menyusun waktu berkualitas bersama anak: bertamasya, memainkan permainan favorit anak, mengajak mereka pergi ke mesjid bersama, dan berbagai kegiatan mengasyikkan lainnya. Sekolah adalah tempat yang rentan terhadap stres. Melakukan hal-hal tadi di sela-sela kegiatan pendidikan formal tentu saja dapat mengurangi potensi stress yang ditemui anak-anak dan tentunya dapat meningkatkan hubungan emosional anak dan orang tua. 

Selanjutnya, bangunlah komunikasi. Orang tua harus mengetahui kesulitan apa yang diperoleh anak di sekolah, seperti kesulitan mengikuti pelajaran, permasalahan dengan teman, atau ketidak-sukaan anak dengan lingkungan sekolah. Orang tua juga harus mengetahui apa sebenarnya yang menjadi kegemaran anak, atau kegiatan apa yang membuat mereka nyaman.

Dengan mengetahui hal-hal tersebut, selain dapat memantau perkembangan anak di sekolah, orang tua juga dapat dengan mudah memberikan solusi bagi permasalahan mereka. Jangan lupa melibatkan guru apabila merasa masalah yang timbul tidak dapat diselesaikan sendiri.

Akhirnya, anak-anak adalah manusia yang memiliki hak bermain, disayangi, dan berkumpul bersama keluarga. Jangan sampai, gara-gara perlakuan orang tua yang kurang bijak, anak-anak sampai melakukan hal-hal yang membahayakan sebagai pelampiasan. Setidaknya kita menyadari bahwa kepintaran bukan hanya persoalan akademik, tapi juga kecakapan sosial. Suatu hari anak-anak akan keluar dari sekolah dan mengabdikan diri mereka di dalam masyarakat. 

* Muhammad Haekal adalah mahasiswa IAIN Ar-Raniry, alumnus Muharram Journalism College

sumber gambar: vi.sualize.us

Monday, March 5, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Leave a Reply