Archive for June 2012

Lelah


Jangan lagi kau permasalahkan hal-hal kecil
Aku lelah
Bagaimana kalau kau basuh saja peluhku
lalu kita melanjutkan perjalanan?



sumber gambar:
http://www.adsimpson.com/pages/tiredmind.htm

Thursday, June 21, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Letting Tua


Saya tiba di semester delapan. Sebuah semester di mana mata kuliah habis, kegiatan menipis, tapi beban kepala justru semakin sadis. Lho kok bisa?

Tepatnya saya tidak tahu kenapa. Kepingan-kepingan kecil janji, masalah, dan ekspektasi masa depan agaknya bersatu membentuk sebuah gunungan beban. Beban yang kemudian memberatkan kepala, membuat galau perasaan, dan menjadikan bibir jarang tersenyum. Halah.

Saya berjanji selesai kuliah tahun ini. Sementara deadline pendaftaran sidang berada di bulan Agustus, sekitar dua bulan lagi. Waktu 60 hari cukup panjang memang. Tapi banyak sekali bisikan yang membuat halaman skripsi saya tak kunjung bergerak. Ada rasa malas yang bodoh. Masih ada kebiasaan bentar lagi deh. Halah. 

Penelitian skripsi juga membuat saya khawatir. Saya mengambil sampel mahasiswa, sementara waktu final sudah berakhir dan kelas juga sudah bubar. Terlebih (dengar-dengar) saat puasa nanti kuliah diliburkan. Saya bingung juga bagaimana menemukan responden nanti. Saya meneliti tentang tingkat kepuasan mahasiswa terhadap kinerja dosen. Jumlah dosen yang akan diteliti di atas sepuluh orang. Untuk masing-masingnya setidaknya saya memerlukan 10 mahasiswa yang pernah diajar oleh dosen yang bersangkutan. Mudah-mudahan adik-adik letting saya nanti bersedia diwawancarai walau dengan kondisi kelaparan (ntar abang traktir deh buka puasanya, hehe).

Terkadang pikiran saya kembali terbang: setelah wisuda, mau ke mana lagi? Well, pilihannya hanya dua: saya mencari pekerjaan atau membuat pekerjaan. Saya suka menulis. Jauh-jauh hari saya membayangkan menjadi penulis lepas. Tidak sedikit job yang bisa diperoleh. Banyak perusahaan yang memerlukan penulis modul, brosur, iklan, dan banyak macam produk tulisan lainnya. Orang-orang juga kadangkala membutuhkan penulis makalah dan naskah pidato. Selain itu, saya bisa juga membuat cerpen, puisi, dan produk tulisan jangka panjang seperti novel. Dan kalaupun nanti saya harus mencari kerja, mungkin untuk menambah ilmu dan pengalaman, saya akan memilih perusahaan yang berhubungan dengan tulis-menulis. Sungguh asik bekerja di bidang yang kita sukai.

Entah kenapa saya tidak terlalu memikirkan tentang S-2. Saya hanya merasa harus bekerja dahulu. Ada sesuatu yang ingin saya kejar.

Sekarang kampus serasa sepi. Tidak banyak lagi teman-teman seangkatan yang bisa dijumpai. Ya kalau pun ada, paling sedang ngurus beasiswa atau bimbing skripsi, hehe. Penampilan kami (para letting tua) pun udah ketahuan sesepuhnya. Rambut gondrong. Ke kampus pakai sandal. Tatapan mata kosong. Suka senyum-senyum gak jelas. Raut muka yang laki-laki seperti harga emas naik. Kalau yang perempuan seperti bilang, “Tunggu ya bang. Bentar lagi adek selesai kuliah.” Dan yang pasti kami cukup alergi kalau ditanya tentang skripsi. Hehe.

Kadang-kadang para letting tua melakukan sesuatu yang jarang. Pernah saya lihat, teman saya, sebut saya namanya Syasya, men-standing sepeda motor di kampus! Saat itu kondisi kampus sedang ramai-ramainya. Beberapa teman lain, yang terkenal rajin setengah mati, sekarang tidak sulit dijumpai di rental-rental PS. Ada juga yang dulu alergi asap, sekarang telah menjadi ahli hisap (baca: perokok). Hahaha. Kami tidak gila. Hanya mendekati stress. Jadi nanti, kalau adik-adik bertemu dengan kami, sumbangkanlah sedikit senyuman (kalau tidak bisa meneraktir minuman). Tanyakan kabar kami, tapi tetap jauh-jauh dengan kata ‘skripsi’. Hahahaha.

Akhirnya, saya menyadari bahwa kegalauan ini semua berasal dari diri sendiri. Skripsi tidak sulit. Dosen pembimbing juga masih dalam taraf manusiawi. Hanya saya yang menunda-nunda pekerjaan. Masa depan juga bukan perkara yang harus ditakutkan. Semua adalah soal doa dan perjuangan (bicara memang enak, hehehe). Doakan kami yaa (gaya Benteng Takeshi).

Salam.

by Muhammad Haekal
Categories: 7 comments

Cerpen - Mati Lampu


Alhamdulillah cerpen saya diterbitkan oleh Serambi Indonesia, 10 Juni 2012. (klik di sini utk langsung menuju situs).
-----------------------------------------------------------------
“Sial!” Din kembali mengutuk PLN karena lampunya mati tiba-tiba. Mesin printer baru mencetak setengah dari kertas. Lembaran itu kini bahkan tersangkut  di mesin. Sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, dia menghela nafas dengan berat. Pukul 10.00 WIB dia harus menjumpai Pak Faisal, dosen pembimbing skripsi. Din hanya memiliki waktu 20 menit lagi untuk menyiapkan BAB III skripsinya. Din gusar mengingat Pak Faisal terkenal sebagai dosen yang  berdisiplin waktu. Satu menit saja melenceng dari janji marahnya minta ampun.

Tanpa pikir panjang, Din segera beranjak dari rumah setelah sebelumnya buru-buru mencuci muka dan gosok gigi. Bu Aisyah, Mamaknya Din, yang sedang menyapu rumah hanya bisa geleng-geleng kepala. “Kalau sudah mati lampu,  baru kau sibuk!” celetuk Bu Aisyah. Terang saja sang bunda  kesal. Sudah beberapa kali diingatkan  untuk tak lalai membuat skripsi.  Tapi, Din, anak semata wayangnya itu, memang sibuk sendiri saban hari di warung kopi. Ditegur sang bunda, Din cuek saja. Dia bahkan buru-buru menghidupkan sepedamotornya menuju sebuah rental komputer di Darussalam.  

***

Dua hari yang lalu, Din sudah  pergi ke kampus. Bagi mahasiswa angkatan tua seperti dirinya, alasan mengunjungi kampus hanya dua: Mengurus beasiswa atau mengikuti bimbingan skripsi. Tidak ada aktivitas lain.  Din juga malu, karena banyak teman seangkatannya yang telah diwisuda. Beberapa teman perempuan bahkan telah menikah dan punya anak. Dan yang lebih  menyakitkan kalau ada teman yang bertanya, “Belum selesai juga kau, Din?”

Baru saja memasuki gerbang kampus,  Din berpapasan dengan adek letingnya. “E, bang Din, udah siap skripsinya?” Din hanya menggeleng kepalanya sambil tersenyum. Dia terus berjalan hingga  matanya kemudian  menangkap secarik kertas bertulis “Pengumuman untuk Mahasiswa Tingkat Akhir”. Merasa maklumat itu penting baginya,  Din pun membacanya dengan seksama. Pada baris ketiga dahinya mengerut. Batas terakhir pendaftaran sidang skripsi tanggal 9 Juni    2012.

***

Dari tiga rental komputer yang ada, hanya satu yang memiliki genset. Tidak heran, tempat itu dipenuhi oleh belasan orang yang mengantre. Hampir semuanya ingin mengeprint tugas atau makalah. Rata-rata waktu yang dibutuhkan satu orang  sekitar 10 menit. Tidak lama sebenarnya. Namun,  perasaan buru-buru membuat menunggu terasa panjang.

“Masuk nggak,  bang?” Kata  seorang perempuan kepada Din. Dia tidak sabar melihat Din yang sedari tadi sibuk memasuk-cabutkan flashdisk-nya. Memang alat itu sudah lama dia miliki. Jadi, suka bermasalah dengan koneksi.

Setelah bergulat dengan flashdisk, Din akhirnya berhasil mencetak seluruh halaman. Dia pun bergegas membayar semua biaya ke kasir. Tanpa sempat mengambil uang kembalian, dia melompat ke atas sepedamotor. Suara deru mesin bersahutan dengan suara genset rental komputer yang tiba-tiba mati. Sepedamotor Din melesat meninggalkan seisi rental yang mendadak gempar dengan tingkahnya.

Jam menunjukkan pukul 10.20 WIB. Din tahu benar dia akan disemprot oleh Pak Faisal.  Atau yang  lebih buruk lagi, dosen pembimbingnya itu akan  berpura-pura tidak mengenal dirinya.

Sepedamotor melambat dan berhenti di sebuah kedai kopi kawasan Lampineung. Dari tempat parkir terlihat para pengunjung memenuhi tempat itu. Din bergerak masuk. Tidak sulit menemukan Pak Faisal. Pria berkepala hampir botak itu duduk di bagian depan kedai bersama dua lelaki. Sepertinya mereka juga dosen.

“Assalamualaikum.” Din menyapa singkat. Tiga lelaki yang sebelumnya tertawa-tawa kini mendadak diam. Sejenak mereka memandang wajah Din. Dalam beberapa detik, dosen-dosen itu sukses mendeteksi bahwa lelaki gondrong yang berada di depan mereka adalah mahasiswa skripsi.

“Jam berapa kita buat janji?” Pak Faisal bertanya dingin. Raut wajahnya seperti pulpen yang siap mencoret lembaran skripsi. Sementara dua temannya kompak meneguk kopi secara bersamaan.

“Maaf, pak. Tadi lampu mati. Jadi, saya....”

“Kamu pulang saja.” Pak Faisal memotong jawaban Din. “Saya paling tidak suka sama orang yang melanggar janji. Apalagi kamu mahasiswa. Apa jadinya bangsa ini kalau semua mahasiswa seperti kamu?”

“Tapi pak, bulan depan saya harus daftar sidang. Paling tidak bapak melihat dulu lah skripsi saya ini.”

Tanpa menjawab pernyataan Din, Pak Faisal beserta dua temannya beranjak pergi. Meninggalkan Din di tengah ingar-bingar kedai kopi.

Ditinggal  dosen pembimbing,   Din memilih pergi ke kampus. Sebenarnya dia tidak memiliki keperluan apa pun. Hanya ingin duduk-duduk melepas penat.  Untungnya dia bertemu Syahrial, mahasiswa tingkat akhir,  sama seperti dirinya. Mereka pun duduk di dalam sebuah ruangan belajar  yang kosong. Walau listrik padam, tapi pihak kampus menghidupkan genset demi kelancaran perkuliahan.

“Hahaha! Apa kubilang, kalau milih judul jangan susah-susah. Nanti kena bimbing sama dia!” Syahrial tak henti-hentinya tergelak. Menertawakan Din yang baru saja didamprat Pak Faisal. Din juga ikut menertawakan dirinya sendiri. Walaupun kejadian tadi sangat menyakitkan hati, tapi ketika bertemu dengan teman seangkatan, semuanya jadi terasa lucu, bahkan hinaan sekalipun.

Klek. Pintu ruangan terbuka. Din dan Syahrial mendadak diam. Mereka mengira ada dosen yang masuk. Tapi ternyata yang membuka pintu adalah seorang mahasiswi. “Eh, Dek Rina rupanya! Abang kira dosen!” Syahrial menyatakan keterkejutannya sambil memukul kursi. Suasana kembali riuh. Apalagi sekarang mereka ditemani oleh Rina yang terkenal ramah dan enak diajak bicara. Mereka pun asik berbicara tentang berbagai hal. Waktu berjalan tanpa terasa.

“Hehehe. Besok jangan lupa datang ya di acara seminar itu! Awas kalau abang nggak datang!” Kata Rina dengan ramah. “Sip. Insya Allah!” Jawab Din dan Syahrial kompak. Mereka berdiri, siap-siap pergi karena kuliah di ruangan itu akan segera dimulai. Para mahasiswa juga sudah mulai memenuhi kursi. “Oya bang, skripsinya gimana?” Rina bertanya basa-basi. Lampu ruangan tiba-tiba mati. Din dan Syahrial mendadak terdiam. Minyak genset pun rupanya telah   habis.

Karya Muhammad Haekal, Mahasiswa IAIN Ar-Raniry Jurusan PBI, penulis naskah komik Mamat bin Baba yang  diterbitkan oleh Bukune dalam komik kompilasi Ngomik Attack!!! (2012)


sumber gambar: blog.arcadianlighting.com

Tuesday, June 12, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Entah


Angin dan hujan
membawa sebuah perasaan rindu
yang tak kumengerti

Sementara suara-suara
terus terdengar dari belakang
entah menggoda atau berduka.


sumber gambar:
vi.sualize.us

Wednesday, June 6, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

KPM-PAR, Bener Meriah (Bagian IV/ Selesai – Yang Menarik dari Gayo)


Tanggal 31 Mei 2012, Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) IAIN Ar-Raniry selesai. Perpisahan dengan masyarakat dilaksanakan di Masjid Ruhul Islam Kecamatan Bener Kelipah. Acara berlangsung haru. Masyarakat dan mahasiswa larut dalam air mata.

45 hari keberadaan saya di Bener Meriah terasa begitu mengesankan. Selain udara yang luar biasa dingin, berikut beberapa hal yang menurut saya menarik dari Gayo.

Kopi Gayo


Tidak seperti kopi Ulee Kareng yang disaring, kopi Gayo cukup diseduh dengan air mendidih (atau yang juga dikenal dengan sebutan kopi tubruk). Baunya harum. Butiran-butiran bubuk kopi yang ikut terminum merupakan sebuah kenikmatan tersendiri. 

Di Bener Meriah, mayoritas pengusaha kedai kopi ternyata adalah suku Aceh. Pengunjungnya juga didominasi oleh orang Aceh. Dari tanya-tanya dengan warga Gayo, ternyata mereka tidak terlalu gemar ngopi di kedai, apalagi dalam waktu berjam-jam. Mereka lebih suka ngopi di rumah atau mengemasnya ke dalam termos untuk dibawa berkebun. Tak heran, jumlah warung kopi di kampung-kampung sangat terbatas.

Walaupun pekebun Gayo terkenal sebagai penghasil kopi arabika, mereka lebih menyukai jenis robusta (populer disebut kopi kecil) untuk dikonsumsi sehari-hari. Mereka jarang membeli bubuk kopi siap minum. Mereka lebih suka mengolahnya sendiri. Lebih asli dan mantap katanya. Saya juga alhamdulillah berkesempatan menggongseng kopi sendiri. Walau harus bertarung dengan asap dan api, tapi kegiatan ini cukup menyenangkan. 



Kenduri Jam 06.30 WIB

Kalau di Aceh, mungkin jam 06.30 kita masih menyapu halaman rumah. Tapi di Gayo, mereka mengadakan kenduri! Acara seperti kenduri khitanan diadakan di awal pagi dan dalam rentang waktu yang singkat: 30 hingga 60 menit.

Hampir semua orang Gayo berprofesi sebagai pekebun kopi dan palawija. Jadi mereka tidak ingin buang-buang waktu. Acara hajatan beres, urusan pribadi juga lancar. Begitulah.

Mau Buah? Ambil Saja!

Orang Gayo bukan jenis orang yang pelit. Jika sedang panen, mereka tidak segan mempersilahkan kita mengambil buah-buahan sesuka hati. Bagi mereka, berbagi di saat senang adalah keharusan.

Mampirlah ke Rumah!

Tamu sangat dihormati di Gayo. Masyarakat dengan senang hati mempersilahkan tamu untuk singgah di rumah mereka. Dan ajakan mereka bukan basi-basi. Jiaka tamu memenuhi undangan tersebut, mereka akan merasa sangat dihormati.


Tamu pun selalu dihargai di hajatan-hajatan. Orang Gayo selalu mempersilahkan tamu duduk di bagian dalam rumah: tempat kepala desa, tgk imam, dan tokoh-tokoh masyarakat berkumpul.

Jika tamu ingin pulang, maka berkotak-kotak kopi, sayur, dan buah-buahan akan terikat manis untuk dibawa sebagai oleh-oleh. Dengan memperlakukan tamu dengan baik, mereka juga berharap diperlakukan demikian saat menjadi tamu suatu hari.

Mana Kulkas, Kipas Angin dan AC?

Tidak ada rumah yang memiliki ketiga barang itu. Bumi Gayo adalah “kulkas” besar. Hawa dingin menusuk tulang. Tak heran, yang dijumpai di banyak rumah adalah dapur perapian.

Es Campur tanpa Es

Saat suatu kali kami minum es campur di pasar, ada perasaan aneh. Setelah memperhatikan dengan saksama, ternyata minuman itu tidak memakai es. Hahaha. Ya, hampir tidak ada minuman yang memakai es atau lebih tepatnya jarang sekali yang memesan. Jadi di Bener Meriah, tidak ada teh dingin (es teh), jus buah dingin, dan minuman-minuman dingin lain.

Sambal

kelahapan teman saya, Arya, saat makan.

Sambal atau dalam bahasa Gayo disebut cecah, selalu menjadi elemen wajib di setiap jamuan. Sambal mereka pedas. Cocok dengan iklim yang dingin. Salah satu sambal favorit saya di sini adalah agur, campuran terong belanda dengan terasi.

Tak dapat dipungkiri bahwa kuliner Bener Meriah memiliki rasa yang kaya. Tak heran kami selalu menunggu-nunggu: "Kapan ya diundang ke kenduri." Hehehe 

Abis Isya, Tidur!

Masyarakat Gayo berangkat ke kebun pukul 07.00 WIB dan pulang selepas Ashar. Tak heran mereka begitu lelah. Jadi selepas Isya, kampung-kampung seperti mati. Banyak orang yang sudah tertidur pulas.

Beberapa warga yang belum tidur, ada yang menggunakan waktu itu untuk mengunjungi rekan-rekannya. Mereka bisa ngobrol hingga pukul 24.00 WIB.

Kehidupan malam yang sedikit hidup bisa dilihat di wilayah kota/ pasar. Tak heran, karena kawasan ini banyak dihuni oleh suku Aceh yang sangat gemar bergadang. Hehe.

Kuda


Banyaknya kuda di Tanah Gayo seperti sapi di wilayah lain. Di beberapa tempat, kuda berkeliaran di jalan-jalan dan ladang-ladang. Masyarakat menggunakan kuda untuk membajak sawah. Sebagian lain melatih kudanya untuk diikutkan dalam pacuan kuda yang berlangsung setiap tahun.


Sayang sekali saya belum mendapatkan kesempatan menunggangi kuda, hanya mengelus-elusnya saja. Hehe.


Dapur adalah Wilayah Perempuan

“Tak perlu repot-repot.” Begitulah kata Pak Keuchiek saat kami hendak membereskan piring. Dapur adalah wilayah perempuan. Kaum hawa lah yang memasak, mencuci, menyapu, dan mengurus segala kepentingan dapur. Bahkan saat ada kenduri pun, yang memasak kuah belanga adalah perempuan (sementara di wilayah Aceh lain dilakukan oleh laki-laki). Jadi, kalau jadi laki-laki, ya duduk saja. Hehe.    

Didong dan Guel

Tari Guel

Keduanya adalah nama kesenian Gayo. Didong dilakukan dengan memukul bantal sembari melantunkan semacam puisi. Didong berlangsung semalam suntuk. Saya tidak melihat langsung tapi hanya mendengar suaranya. Walau demikian, dengan mendengar suaranya saya itu sudah menarik.

Tari Guel dipentaskan saat sedang ada hajatan seperti perkawinan. Yang saya lihat, tarian ini dipentaskan dengan sekitar enam orang (apa betul? Saya agak lupa) perempuan dan seorang laki-laki. Ada pula seorang perempuan yang melantunkan lagu sedih sebagai pengiring. Tarian ini begitu membius sampai-sampai saya tidak fokus kepada detilnya. Hehe.


Akhirnya. Melaksanakan KPM di Bumi Gayo merupakan pengalaman yang mengesankan. Saya berharap, jika suatu hari nanti kembali ke sana insya Allah, alam dan orang-orang Gayo tetap keren seperti sekarang. Amin. Dan terima kasih telah mendukung dan mendoakan kami. Hanya Allah SWT lah yang dapat membalasnya. 


Salam.



sumber foto penari guel:
acehfotografer.net

Monday, June 4, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments