Archive for October 2012

The Ads’ Terminology



Tahun 1998. Saya masih kelas II SD. Saya ingat betul dengan bedak Krisna. Bedak itu ditaruh di ketiak. Om dan bibi saya sering membelinya. Bedak yang dikemas dalam sanchet ini bermanfaat agar ketiak tidak bau.

Tahun 2000-an, saya lupa kapan persisnya, muncul iklan di televisi yang juga berhubungan dengan ketiak.  Bedanya, kali ini produk tersebut tidak berwujud bedak. Tapi semacam bulatan basah (berbentuk bola) yang memiliki pegangan ukuran tangan. Sekarang kita mengenalnya dengan roll on (atau deodorant). Selain membuat ketiak tidak berbau, roll on juga dapat mengurangi bahkan menghentikan keringat di ketiak. Uniknya, selain muncul dengan kelebihan tersebut, ia juga hadir dengan suntikan pola pikir baru: keringat di ketiak itu tidak normal, jelek, tidak elok dipandang. Maka selanjutnya muncul istilah basket (basah ketek) dan burket (bubur ketek). Bila ketiak kita basah, maka ramai-ramai akan diteriaki basket. Sementara burket menyinggung para pemakai bedak yang memang jika bercampur dengat keringat di ketiak, akan membentuk mirip bubur (saya rasa sebutan ini terlalu berlebihan).

Sejak kemunculan roll on, pemakai bedak di ketiak menurun. Orang-orang mulai malu mengangkat lengan jika merasa ketiaknya basah. Pola pikir masyarakat pelan-pelan menganggap ketiak basah itu jelek dan memakai bedak di ketiak itu haram.

Menetapkan Definisi

Sadar atau tidak, iklan selama ini telah menetapkan definisi tentang suatu hal. Contoh lain yang paling dekat adalah masalah kecantikan. Beberapa produk kecantikan mendefinisikan cantik sebagai putih. Maka dalam sekejab bermunculan produk kosmetik, mulai yang datang dari Cina hingga racikan dokter. Para perempuan yang merasa tidak putih berbondong-bondong membeli krim pemutih. Maka semua perempuan pun mendadak menjadi ‘putih’. Cocok atau tidak, sesuai atau tidak, cantik itu harus putih! Sampingkan soal harga dan risiko kesehatan!

Gawatnya, di tahun 2011, tren putih itu mulai bergeser. Cantik itu sawo matang. Bahasa Inggrisnya tan. Kulit sawo matang, seperti baru dijemur matahari, dianggap seksi dan eksotis. Maka seperti yang bisa ditebak, di kota besar seperti Jakarta, mulai muncul jasa tanning (menjadikan kulit sawo matang). Wujudnya beragam, mulai dari konsultasi perawatan yang bersifat alamiah, hingga yang praktiknya instan (seperti memasukkan pasien ke dalam tabung panas atau tanning bed). Luar biasa.

tanning bed

Korban Iklan?

Apakah kita menjadi korban iklan? Bisa jadi. Segala macam hal yang ditampilkan iklan sepertinya begitu mudah mengubah gaya pandang kita.

Memang tidak semua yang diiklankan itu salah. Yang aneh adalah ketika prinsip baru yang muncul. Sebuah ketetapan yang berada di luar kewajaran. Sebuah rumusan yang membuat kita mengubah apa yang sebelumnya kita anggap baik-baik saja.

Kini ada baiknya kita menjadi bijak. Tidak menelan mentah-mentah apa yang disugestikan oleh iklan. Bertanya terlebih dahulu kepada diri sendiri mengapa saya perlu melakukannya? Ketiak berkeringat itu normal. Putih tidak selamanya cantik. Mengendarai motor bebek, tidak serta-merta membuat laki-laki berubah wujud menjadi perempuan.

Akhirnya, iklan terus berubah seiring dengan tren dan kepentingan. Mengikutinya tanpa pikir panjang dapat merugikan diri sendiri. Coba bayangkan jika hari ini cantik itu putih. Bulan depan berubah menjadi sawo matang. Bulan berikutnya cantik adalah belang. Apa jadinya kita?

Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih atas kunjungannya. Silahkan share jika suka :)


sumber gambar: vi.sualize.us

Wednesday, October 31, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 8 comments

Kita dan Idul Adha



Bayangkan kita memiliki seorang tetangga. Dia mempunyai seorang istri dan bayi yang baru lahir. Lalu tiba-tiba dia pergi meninggalkan keluarganya. Tiga belas tahun kemudian, dia baru kembali ke rumah. Dan di saat dia pulang, dia menyatakan ingin menyembelih anaknya yang mulai beranjak remaja! Bagaimana pendapat kita?

Banyak dari kita yang akan berpikir bahwa dia kejam. Suami yang tidak bertanggung jawab. Ayah yang tidak berprikemanusian. Ya, jika saja kisah Nabi Ibrahim a.s terjadi sekarang, kemungkinan besar kebanyakan dari kita berada di pihak yang menentang beliau.

Apa yang Nabi Ibrahim lakukan adalah semata-mata untuk menjalankan perintah Allah SWT. Hal tersebut beliau lakukan tidak dengan mudah. Menentang segala akal sehat. Saat peristiwa itu, Ibrahim berusia 86 tahun. Sudah sekian lama dia tidak dikaruniai anak. Di saat kesempatan itu ia peroleh, Ibrahim malah diperintahkan untuk meninggalkan buah hatinya. Dan bahkan saat rasa rindunya telah memuncak untuk bertemu Ismail, ia justru diperintahkan untuk menyembelihnya.

Pengorbanan Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim) juga tidak bisa dipandang enteng. Beliau rela ditinggalkan di padang tandus. Bukan satu atau dua hari, tapi belasan tahun. Beliau harus bertahan di sebuah tempat yang memiliki jumlah air teramat sedikit. Ditambah lagi dengan kondisi bahwa dia sedang menyusui bayinya, Nabi Ismail.

Terakhir Nabi Ismail. Ayahnya yang dia tunggu kepulangannya selama belasan tahun, justru membawa perintah untuk menyembelihnya. Larikah dia? Menolakkah dia? Tidak. Dia malah menyuruh Nabi Ibrahim untuk menyegerakan perintah Allah itu.

Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail telah menunjukkan contoh bagaimana esensi dari berkurban: benar-benar mengorbankan diri kepada Allah SWT.

Kita?

Jika mampu, pada Idul Adha kita diperintahkan untuk berkurban. Bisa kambing, sapi, atau yang sejenisnya. Ganjaran pahala berkurban pun tidak tanggung-tanggung. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menyebutkan bahwa tidak ada amal yang lebih utama pada hari tasyrik ( tiga hari setelah hari raya Idul Adha), selain berkurban. Pahalanya melebihi jihad. Nilainya hanya dapat ditandingi oleh pahala seseorang yang keluar dari rumahnya dengan mengorbankan dirinya di jalan Allah, lalu dia tidak kembali lagi dari kepergiannya itu.

Selain bermanfaat bagi diri sendiri, tentulah kurban dapat menyenangkan hati saudara-saudara kita yang membutuhkan. Mereka dapat merasakan lezatnya daging: menu mahal yang belum tentu dapat mereka rasakan setiap hari. Kita juga kemudian bisa meresapi keindahan berbagi. Menikmati sebuah kenyataan bahwa ternyata kita tidak hidup sendirian. Bahwa ternyata manusia masih memiliki cinta kasih terhadap sesama.

Lalu kemudian, bagaimana dengan esensi kurban itu sendiri? Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim beserta keluarga beliau.

Ada baiknya kita berintrospeksi. Sejauh apa pengorbanan kita terhadap Allah SWT? Segiat apa kita melakukan perintah-Nya? Sekeras apa kita berusaha meninggalkan larangan-Nya? Apakah sekarang kita masih terus mendalami agama Islam? Apakah kita pernah mendakwahkan kebaikan walau hanya satu ayat? Dan tentunya masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain untuk menyelidiki sehebat apa pengorbanan kita selama ini untuk Islam.

Akhirnya, Idul Adha tidak melulu soal daging, kue, apalagi baju baru. Idul Adha adalah sebuah momen di mana Allah memberikan definisi pengorbanan sejati melalui Nabi Ibrahim a.s beserta keluarga beliau. Semoga kita semua bisa paham untuk kemudian mengaplikasikannya.

Semoga bermanfaat. Terima kasih telah berkunjung. Sampai jumpa di tulisan berikutnya. Insya Allah. Salam.

*Sebagian besar isi tulisan ini adalah intisari dari Khutbah Idul Adha (10 Dzulhijjah 1433 H/ 26 Oktober 2012) yang disampaikan oleh Tgk. Zulkarnaen Ridhwaniy di Blang Padang, Banda Aceh.



Monday, October 29, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Puisi - Perempuan Pasir



Alhamdulillah puisi ini terbit di Serambi Indonesia tanggal 21 Oktober 2012

_______
Kau, perempuan pasir
Yang pergi ke pergelaran ombak
Menutup matamu untuk tidak buta
Membuka hatimu untuk bisa peka

Kau, perempuan pasir
Yang berjalan tanpa alas kaki
Membiarkan butiran-butiran asin meresap di kulitmu
Merelakan buih-buih mengkilap di kukumu

Kau, perempuan pasir
Yang memahami segala risau angin
Memaknai setiap teriakan debur
Tapi,  tidak lari dari hidup yang mengabur

Kau, perempuan pasir
Yang mengumpulkan setiap butirannya
Memasukkannya ke dalam botol
Dan membawanya pulang.


Wednesday, October 24, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Cerpen - Wisuda



Alhamdulillah cerpen ini terbit di Aceh Kita tanggal 21 Oktober 2012
___________

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sontak aku terkejut dan menjerit. Teman-teman yang dari tadi asyik bercanda dan tertawa pun mendadak diam. Pandangan mereka beralih kepadaku. Berpaling sejenak dari keriuhan kedai kopi.

“Siapa, Din?” Andi bertanya. Tangannya kini berada di bahuku.

Aku terpaku. Tidak menjawab sepatah kata pun.

“Bukan Mamak, kan?” Reza bertanya takut-takut. Tangannya pun kini berada di bahuku.

Aku menggeleng.

“Jangan bilang yang meninggal si Yusniar! Dia aktris favorit aku!” Hasbi bertanya setengah berteriak. Kedua tangannya ikut menempel di bahuku.

Aku menarik nafas dalam-dalam, menggeleng dua kali, bersiap-siap mengabarkan kematian terbesar tahun ini.

“Pembimbing skripsi aku.”

“Apa?!” Teriak ketiga sahabatku serentak.

“Beliau meninggal barusan.”

***

Siapa yang tidak kenal Pak Rahmat. Beliau dosen favorit di kampus kami. Walau sudah bolak-balik dari luar negeri, beliau tidak pernah meninggalkan adat ketimuran: ramah dan selalu memikirkan orang lain. Jika bertemu dengan kami di kedai kopi, beliau duluan yang menyapa. Tak jarang semua pesanan kami dibayarnya. Padahal kami tak pernah meminta. Beberapa mahasiswa lain bahkan suka memanfaatkan kebaikan Pak Rahmat. Mereka sengaja pergi ke kedai kopi favorit beliau di kawasan Ulee Kareng. Melintasi mejanya lalu sengaja menegur. Tujuannya tentu saja agar mendapatkan kopi gratis. Pak Rahmat akan dengan senang hati mengeluarkan dompetnya.

Dalam hal akademik, Pak Rahmat juga tidak keberatan dihubungi di akhir pekan. Tidak ada nada marah dalam suaranya. Malah beliau sangat senang jika ada mahasiswa yang bertanya saran. Katanya, jarang-jarang mahasiswa sekarang peduli dengan pelajaran. Mereka cenderung cuek. Hanya peduli dengan nilai semata.

Namun yang membuat kami menghormati Pak Rahmat setengah mati adalah keadilan beliau. Walau dekat dengan mahasiswa, tapi beliau tidak pernah memberikan nilai karena unsur ‘kedekatan’. Joni misalnya, dia selalu membantu Pak Rahmat mengangkat proyektor ke kelas, memfotokopi tugas, bahkan saat acara akikah di rumah Pak Rahmat, Joni-lah yang paling rajin bekerja. Saat semua orang menyangka bahwa dia akan mendapatkan nilai ‘A’, ternyata dia hanya mendapatkan ‘B’. Pak Rahmat memberikan nilai tersebut karena Joni alpa mengumpulkan sebuah tugas.

Dengan segala kebaikan itu, banyak mahasiswa berdoa dan bahkan melakukan tahajud agar Pak Rahmat menjadi penasehat akademik, pembimbing skripsi, atau sekedar dosen mata kuliah yang sedang mereka ambil.

***

Barusan Mamak meneleponku lagi. Belakangan beliau lebih sering menghubungiku untuk bertanya kapan wisuda. Jelas saja Mamak gusar. Adikku, Raisa, yang usianya dua tahun lebih muda, bulan lalu sudah memakai toga. Aku, abangnya, yang kuliah dua tahun lebih cepat, hanya menjadi tukang pegang kamera saat adikku itu diwisuda. Dan tadi sebelum menutup telepon, Mamak tak lupa memberikan ultimatum: jika tidak lulus semester ini, subsidi SPP dicabut!

Sekarang aku sudah semester sepuluh. Walau masih dua tahun lagi menuju drop-out, tapi aku sudah sah menjadi legenda di kampus. Legenda adalah sebutan kami untuk mahasiswa leting tua yang belum kunjung menyelesaikan kuliah. Dulu aku yang menggoda seniorku dengan sebutan itu, sekarang malah sebaliknya.

Untuk kesekian kali, aku mengkambing-hitamkan skripsi atas keterlambatanku wisuda. Tapi jika kupikir dengan pikiran yang jernih, kenapa ya aku bisa terkendala dengan skripsi? Dosen pembimbingku tak ada masalah. Dia terkenal ramah. Punya waktu luang yang luas untuk mahasiswa. Malahan dia kelihatan lebih serius memikirkan tentang skripsiku daripada diriku sendiri.

Mengenai bahan skripsi. Memang terbilang cukup sulit dicari. Aku kuliah di Fakultas Keguruan. Namun judul skripsiku membahas mengenai aspek psikologi mahasiswa. Jadilah aku sibuk mencari referensi tentang psikologi. Sesuatu yang tidak kupahami sama sekali. Tapi bukankah sekarang zamannya informasi menggantung seperti jaring laba-laba. Segala macam berita, pengetahuan, bahkan hal-hal tak penting sekalipun cukup mudah digapai.

Mungkin memang kesalahannya terletak pada diriku sendiri. Aku tak pernah mampu menolak ajakan teman-teman bertanding play station. Pernah aku bermain hingga Subuh. Belum lagi tentang kegemaranku cang panah di kedai kopi. Tak terhitung berapa kali aku ke sana dalam sehari. Karena aku lalai, skripsiku terbengkalai. Kurasa fakta ini yang masih sulit kuterima.

***

Setelah mendengar kabar kematian dosen pembimbingku, dengan terburu-buru kami tancap gas ke rumah duka. Jam menunjukkan pukul 2 siang. Matahari bersinar terik. Abu-abu di jalanan beterbangan disapu angin.

Reza yang memboncengi aku, melajukan sepeda motornya dengan kencang. Hasbi dan Andi membuntuti di belakang. Perjalanan kami sedikit melambat di Jembatan Lamnyong. Kami berpapasan dengan rombongan wisudawan bersama iringan sanak-saudara mereka. Memang hari ini universitas kami mengadakan wisuda, namun kami kompak tak pergi. Maklum, yang diwisuda adalah adik letting semua.

Lima belas menit berlalu, kami tiba di rumah duka. Deretan motor dan mobil terlihat memenuhi jalan di depan rumah almarhum. Pelayat kebanyakan mahasiswa dan dosen. Beberapa dari mereka kukenal.

Tanpa buang waktu, kami melangkah masuk ke dalam rumah. Jenazah terbujur di lantai ruang tamu. Sejenak aku terbayang dengan almarhum dosen pembimbingku itu. Baru saja kemarin kami bertemu. Aku teringat bagaimana belakangan ini dia terus menyemangatiku menulis skripsi. Mengenalkanku dengan teman-temannya yang berprofesi sebagai dosen di jurusan psikologi. Bahkan kemarin dia turut membantuku merancang kuesioner. Aku merasa sangat terbantu. Tak terasa air mataku menetes.
***

Seminggu berlalu sejak kematian Pak Fadhil. Sekarang aku sedang berada di kampus. Bersiap bertemu pembimbing baruku.

“Dua puluh hari lagi. Kamu pasti bisa. Tugas dari bapak saja kamu selesaikan dalam semalam, bukan?” Bapak itu berkata ramah. Benar kata teman-teman. Dia memang baik. Aku pun hanya mengangguk saja.

“Baiklah. Siang ini, kamu langsung sebar kuesionernya. Lusa kamu temui saya. Saya bantu kamu mengolah data. Oke?”

Aku mengangguk lagi dan menyalami dosen pembimbing baruku. Lalu berbalik hendak meninggalkan ruangan.

“Tunggu, Din!”

Aku mendadak menghentikan langkah.

“Fadhil bangga sama kamu. Dia selalu bilang sama saya kalau kamu itu pintar. Hanya terkadang kamu suka malas-malasan. Sudah, pokoknya bulan November ini kamu harus sidang! Kamu harus buat Fadhil bangga!”

“Baik, Pak Rahmat! Saya yakin Insya Allah bulan depan saya wisuda! Terima kasih sudah mau menjadi dosen pembimbing baru saya.”

Aku meninggalkan ruangan dengan senyuman dan harapan baru. 

SELESAI

MUHAMMAD HAEKAL, Mahasiswa IAIN Ar-Raniry Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Pemilik akun twitter @haekalism


sumber gambar: sofie05.wordpress.com

by Muhammad Haekal
Categories: 4 comments

Siapa Saya?


“Aku belum tahu aku bisanya apa.” 

Kalimat itu keluar dari mulut teman saya, seorang mahasiswa. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa dia tidak benar-benar tahu mengapa dia sekarang kuliah di Fakultas Ekonomi. Dia tidak begitu menggemari bisnis. Dia juga mengaku lemah dalam berhitung.

Alhasil, sekarang dia masih pusing tentang apa yang harus dilakukan selepas kuliah nanti. Dia tidak tahu harus mengambil pekerjaan di bidang apa. Dia pusing memikirkan apa kemampuan dia yang sebenarnya.

Bingung

Saat SD, mungkin kita masih ingat tentang pertanyaan mengenai cita-cita. Ada yang menulis dokter, polisi, pilot, astronot, bahkan presiden. Kita tidak pernah takut untuk mengatakan itu. Sebagai anak-anak, kita memang dianugerahi keberanian untuk bermimpi.

Ketika SMA, jawaban tentang cita-cita mulai berubah. Kita mulai mencoba realistis dan di sisi lain sudah mulai memandang dunia dengan cara berbeda. Hal-hal yang dulunya kecil, kini menjadi sesuatu yang keren. Profesi populer seperti penyiar radio, pemain musik, atau model, mulai terngiang-ngiang di dalam kepala. Jika dulu hanya ingin jadi dokter, sekarang sudah lebih khusus lagi: dokter spesialis kandungan.

Menjelang masuk kuliah, kita kembali disuguhkan dengan pertanyaan terkait cita-cita. Bedanya, kali ini kita tidak hanya sendiri. Ada orang tua, saudara, teman-teman, yang ikut memberikan ide bahkan tekanan terhadap pilihan kita nanti. Tak jarang, sebagian dari kita harus mengikuti pilihan orang lain untuk hidup kita sendiri. Sebuah pilihan yang belum tentu kita sukai dan merepresentasikan bakat kita.

Maka tak heran, sebagian dari kita, bahkan hingga umur 20-an tahun masih bingung dengan pertanyaan siapa saya? Masih belum memiliki rencana masa depan. Dan gawatnya lagi, masih belum tahu sebenarnya saya punya kemampuan apa.

Belum Sadar

Sejak usia delapan tahun, Lionel Messi sudah mulai masuk dalam lingkaran sepakbola. Dengan dukungan keluarganya, dia terus fokus untuk mengejar karir sebagai pengolah si kulit bundar. Jorge dan Celia (orang tua Messi), tahu benar, bahwa bakat dan ketertarikan anak mereka ada di sepakbola.

Dulu, kisah di atas jarang terjadi di negara kita. Entah karena orang Indonesia terlalu menggemari pekerjaan serius, seperti PNS, kontraktor, dokter, dan lain sebagainya, kita jadi melupakan bakat spesial yang dimiliki anak-anak. Kemampuan bermain bola, menggambar, menyanyi, acting, hanya dianggap main-main. Oleh sebab itu, banyak talenta-talenta yang hilang bahkan sebelum mereka sempat berkembang. Syukurlah orang tua sekarang perlahan mulai sadar dan memperhatikan potensi anak. 

Dan sekarang bagaimana dengan kita? Orang-orang yang belum sadar dengan kemampuannya sendiri. Yang belum tahu nanti mau kemana dan melakukan apa.

Introspeksi

Tidak sulit. Kita hanya perlu melakukan introspeksi. Tanya diri sendiri tentang apa yang membuat kita tertarik. Hal apa yang bersedia kita lakukan bahkan jika tidak dibayar. Kegiatan apa yang menjadikan mata kita terus terbuka padahal sudah jamnya tidur. Pekerjaan apa yang sepertinya sangat enteng dan menyenangkan saat kita kerjakan. Jika sudah menemukannya, selanjutnya akan mudah.

Ambillah contoh kita ternyata menggemari fotografi. Maka bergabunglah dengan komunitas-komunitas fotografi. Perkaya wawasan dalam memotret. Terus tambah relasi. Ikuti segala macam kegiatan, apakah itu lomba atau pameran. Bukalah diri untuk menerima segala macam tawaran pekerjaan yang berhubungan dengan fotografi.

Semakin hari tanpa terasa kita menjadi semakin tua. Tanggung jawab pun semakin membesar. Suatu hari nanti, kita tidak hanya menghidupi diri sendiri. Ada keluarga,  anak-istri, orang tua, sanak saudara, yang harus diperhatikan. Menemukan siapa saya dari sekarang akan membuat kita lebih bijak dalam menentukan titik fokus: apa yang harus diprioritaskan, skill apa yang harus ditingkatkan, relasi bidang apa yang sebaiknya ditambah.

Akhirnya, semoga tulisan kali ini bermanfaat. Insya Allah. Sampai jumpa di postingan berikutnya. Salam.    



by Muhammad Haekal
Categories: 6 comments

Tawaran



Saya mengajar les bahasa Inggris di sebuah SMP di Banda Aceh. Terkadang, jika pihak sekolah membutuhkan tenaga pengajar bahasa Inggris, saya diminta untuk mencarinya. Tentu saja saya langsung menghubungi teman-teman satu jurusan di kampus saya. Mereka yang saya hubungi pertama adalah teman-teman dekat. Orang-orang yang saya anggap mampu.

Beberapa teman ada yang langsung menerima. Namun sebagian lagi menolak dengan berbagai alasan.

Saya bukan ahli psikologi. Tapi yang saya rasakan selama ini, ketika seseorang sering menolak tawaran, ada perasaan sebal yang muncul. Ada perasaan enggan untuk menawarkannya lagi kepada orang tersebut. 

Tidak Selalu Datang

Tawaran (kita bicara dalam hal pekerjaan) memang akan selalu ada. Yang kita tidak tahu adalah apakah ia akan selalu datang kepada kita. Orang-orang yang menawarkan suatu hal, tentunya tidak asal bertindak. Mereka melakukannya setelah melalui proses pertimbangan. Mereka tidak hanya memberikan kesempatan kepada kita. Lebih dari itu, mereka memberikan kepercayaan

Jika toh kemudian kita menolak tawaran, hal pertama yang terjadi adalah orang tersebut akan kecewa. Tawaran mirip seperti hadiah. Menolak hadiah pemberian orang lain tanpa alasan yang jelas tentu akan membuat kesal. Apalagi jika berlangsung berkali-kali.

Apakah ketika kita menolak tawaran, orang tersebut menjadi rugi? Sama sekali tidak. Ketika seseorang menolak tawaran saya untuk menjadi tenaga pengajar bahasa Inggris, saya tidak pusing. Ada ratusan mahasiswa lain yang cukup kompeten untuk mengisi posisi tersebut. Oke kita cakap dalam mengajarkan bahasa Inggris, tapi apakah kita hanya satu-satunya orang di dunia ini yang mampu melakukannya? Jangan sampai kita kehilangan kesempatan yang telah berada dalam genggaman.

Pertimbangkan

Ada baiknya kita selalu mempertimbangkan tawaran yang ada. Banyak dari kita yang berdoa kepada Allah SWT agar ditambah rezekinya. Siapa tahu, tawaran-tawaran yang datang tersebut adalah jawaban dari doa-doa kita. Lebih-lebih, jika kita melaksanakan tugas tersebut dengan memuaskan, tentu tawaran-tawaran lain akan berdatangan dengan sendirinya. 

Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa ada banyak orang yang memiliki kemampuan luar biasa di dunia ini. Tapi hanya sedikit yang mampu memanfaatkan kesempatan. Dan semoga kita termasuk golongan tersebut.

Terima kasih telah berkunjung. Sampai jumpa di tulisan berikutnya. Semoga bermanfaat. Insya Allah. Salam.


Monday, October 22, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Ada Apa dengan Mahar?





Teman saya pusing bukan kepalang. Umurnya sekarang 22 tahun. Untuk seorang lelaki, usia tersebut memang bukan masalah. Yang menjadi persoalan adalah teman saya ini berusia sebaya dengan kekasihnya. Dan tentu di umur 22 tahun, lamaran-lamaran mulai berdatangan kepada si perempuan.

Ternyata permasalahannya tidak berhenti di situ. Sang perempuan berasal dari suatu daerah di Aceh yang terkenal dengan nilai mahar tinggi: 20 – 35 mayam. Entah bisa disebut sial atau tidak, teman saya itu sampai sekarang belum mendapatkan kerja yang wah! Sementara kekasihnya justru diterima di perusahaan berskala nasional. Untuk perempuan yang berasal dari keluarga terpandang, pendidikan menjulang, dan sudah bekerja pula, nilai mahar pun akan naik dengan sendirinya. Kepala si teman pun menunduk. Dan semakin menunduklah ia saat membaca berita di koran bahwa harga emas naik menjadi 1,8 juta per mayam. 

Mahar
Mahar adalah pemberian wajib dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Ia dapat berupa perhiasan, uang, atau barang.

Di Aceh, biasanya nilai mahar disepakati terlebih dahulu. Informasi mengenai jumlah ini, bisa didapatkan melalui seulangkee (perantara/ mak comblang) atau dapat pula ditanyai sendiri oleh calon mempelai pria kepada sang perempuan.

Melalui seulangkee, tahap pertamanya tentu tidak langsung menanyai nilai mahar. Seulangkee bertugas sebagai perantara. Mereka yang mengemban tanggung jawab ini tentu saja adalah orang yang kaya pengetahuan agama, budaya, dan sosialnya. Boleh laki-laki atau perempuan.


Biasanya, laki-laki yang menggunakan adat ini, belum mengenal si perempuan. Dia hanya dihadapkan kepada fakta bahwa dia ingin dan siap menikah, tapi belum memiliki calon. Maka dicarilah informasi mengenai keluarga mana yang memiliki anak perempuan. Jika sudah ditemukan, barulah seulangkee menjalankan tugasnya sebagai perantara. Ia datang kepada keluarga perempuan dan bertanya kesediaan mereka untuk diperkenalkan kepada keluarga laki-laki. Bahasa Arabnya mungkin bisa disebut ta’aruf. Jika setuju, maka si lelaki dan perempuan akan diperkenalkan. Bila terasa cocok, baru proses selanjutnya adalah menentukan nilai mahar dan tanggal pernikahan.

Jika si lelaki sudah duluan mengenal sang perempuan, ia bisa langsung menyuruh si perempuan untuk menanyakan nilai mahar kepada keluarganya. Ketika informasi tersebut sudah diperoleh, barulah sang lelaki berembuk bersama keluarganya sendiri.
Jika sudah cocok, pergilah keluarga calon mempelai laki-laki ke rumah si perempuan. Rombongan ini terdiri dari perwakilan keluarga serta beberapa tokoh masyarakat seperti Keuchiek (Kepala Desa) dan Tgk. Imuem (Imam Desa).

Mahar dan Daerah Asal

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Aceh, nilai mahar antara daerah satu dengan yang lain berbeda. Di Aceh Besar, kisaran mahar dimulai dari 10 – 15 mayam. Pidie 20 – 30 mayam. Bireun 10 – 20 mayam. Aceh Tengah 5 – 30 gram. Kenapa bisa demikian tinggi? Di Pidie misalnya, isi kamar menjadi tanggung jawab pihak perempuan. Malah sebagian keluarga ada yang memberikan rumah atau toko untuk modal kehidupan pasangan itu kelak.

Nilai mahar juga sangat bergantung dengan kelas ekonomi, tingkat pendidikan, dan pekerjaan si perempuan. Entah siapa yang pertama kali mematok jumlah itu. Yang jelas, jika seorang lelaki ingin menikah, orang tua akan bertanya: Panee awak si Nong nyan? – dari daerah mana perempuan itu? Mungkin untuk menilai kesanggupan keluarga untuk meminang sang perempuan.

Kenapa Lelaki Takut?

Untuk lelaki yang berumur di bawah 25 tahun, tentu persoalan mahar adalah hal yang horror. Umumnya, pada usia tersebut, lelaki baru merintis karier. Hidup masih susah. Apalagi bagi lulusan (katakanlah) S-1 yang baru saja melepaskan diri dari tanggung jawab keluarga dan berusaha hidup mandiri. Terlebih lagi jika kekasihnya berusia sebaya. Tentu usaha harus ditambah berkali-kali lipat. Terang saja, lelaki yang berumur 20 – 25 tahun masih dianggap ingusan. Sementara perempuan yang berumur sama justru dianggap sebagai target lamaran. 


Kenapa lelaki takut? Secara simpel, lelaki takut kehilangan kekasihnya. Takut lamarannya ditolak karena tidak mampu memberikan mahar tinggi. Takut kekasihnya duluan dilamar orang yang lebih keren, pintar, kaya, lebih segala-galanya. Takut kekasihnya tidak sanggup menahan gempuran lamaran lalu menerima lelaki lain. Takut segala macam impian dan sumber kekuatannya selama ini mendadak hilang diambil orang. :(

Epilog

Dalam sebuah hadist dikatakan: “Sebaik-baiknya Laki-laki adalah yang memberikan mahar banyak, Adapun sebaik-baiknya perempuan adalah yang meminta mahar sedikit.”

Hadist itu seharusnya bisa memberikan nasihat bagi kita. Bagi keluarga perempuan, tidaklah bijak memaksakan nilai mahar. Jangan gara-gara mementingkan gengsi keluarga, anak Anda tidak bisa menikah dengan orang yang dicintainya. Toh, roda kehidupan juga berputar. Seorang lelaki yang sekarang biasa-biasa saja, bisa berubah menjadi orang yang luar biasa sepanjang dia berusaha. Insya Allah.

Juga bagi para lelaki, jangan gara-gara membaca akhir hadist itu kemudian kembali bernafas lega dan bermalas-malasan. Kaum lelaki diperintahkan agar berkerja keras, mengumpulkan mahar semampu-mampunya. Tunjukkan kepada keluarga sang perempuan, bahwa kita adalah orang yang tepat bagi anak mereka. Kita mampu mencari nafkah. Kita tidak akan membuat anak mereka menderita. Kita mampu membahagiakannya lahir-batin. Dengan adanya pengertian antara kedua belah pihak, insya Allah mahar tidak lagi menjadi hal yang menakutkan.


Akhirnya, semoga tulisan kali ini bermanfaat. Insya Allah. Dan karena pokok pembicaraan kali ini termasuk sensitif (karena berkaitan erat dengan agama dan budaya), saya berharap partisipasi pembaca sekalian untuk mengoreksi apabila ada kalimat yang salah, dan menambahkan apabila ada poin yang kurang lengkap.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk mengunjungi blog saya. Sampai ketemu di tulisan berikutnya. Insya Allah.

*Dalam menulis ini, alhamdulillah saya mendapatkan pengetahuan yang sangat berharga tentang mahar dari Muntasir dan Ella Yuzar. Saya juga memperoleh informasi kisaran mahar dari Khaira Hisan (Aceh Besar), Fithri Ramadhani & Putri Mahmudah (Pidie), Iklima (Bireuen), Yuli Khairani & Ainal Fitri (Aceh Tengah). Terima kasih :)
  

sumber gambar: 
mcaguado.blogspot.com
vi.sualize.us
kurakurahitam.wordpress.com
rezarahmah.blogspot.com

Friday, October 19, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 18 comments

Kacamata Kita dan Kacamata Mereka


Suatu hari saya pernah begitu kesal dengan seorang murid. Dia selalu telat 15 menit. Sampai kemudian saya menanyakan alasannya. Dia menjawab, “Saya tinggal di Mata Ie.” Mendengar itu saya terdiam. Tidak bernafsu untuk marah lagi. Jarak dari Mata Ie ke tempat bimbingan belajar berkisar  10 km. Saya pun maklum. Terlebih les berlangsung malam hari.

Saya pun sempat sebal dengan seorang teman. Terang saja, setiap kali saya mengajaknya ngopi atau sekedar jalan-jalan, dia menolak dengan alasan sakit. Alasan. Suatu hari, tanpa permisi saya berkunjung ke rumahnya. Saya kira dia bercanda, tapi dia memang benar-benar sakit. Ada bintilan-bintilan berair (dan gatal) yang muncul di wajahnya. Saya pun yang berniat ingin ngambek, mendadak menjadi kasihan.

Kacamata Kita

Disadari atau tidak, kita sering melihat orang lain dengan kacamata kita. Kita menilai mereka dengan ukuran yang kita buat sendiri. Padahal semua itu belum tentu benar. Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang sedang mereka alami.

Lucunya, kita justru meminta pengertian saat sedang berada dalam kondisi sulit. Tapi kemudian berubah menjadi orang yang tidak pengertian saat mendapati orang lain dalam kondisi genting. Kita terburu-buru memvonis mereka buruk. Menganggap mereka mengarang-ngarang alasan. Padahal jika kita berada dalam posisi yang sama, kita juga akan memohon-mohon untuk dimengerti.

Kacamata Mereka

Mulai sekarang, ada baiknya kita melihat dengan kacamata mereka. Kita memandang sesuatu dengan perspektif orang lain. Mencoba merasakan bagaimana jika aku berada di posisi dia. Mudahan-mudahan dengan melakukan itu, hati kita menjadi bersih dari prasangka. Dan insya Allah dengan semakin banyaknya benih-benih pengertian di dunia ini, hidup pun akan menjadi lebih indah dan berwarna.

Akhirnya, terima kasih telah berkunjung. Sampai jumpa di tulisan berikutnya. Semoga bermanfaat. Insya Allah. Salam.



Tuesday, October 16, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 7 comments

Relasi


Jika ada orang yang bertanya kepada saya di mana tempat memesan pin atau konveksi baju, saya tak ragu untuk menyuruhnya menghubungi  Muntasir. Kalau ada yang bertanya siapa yang bisa menjadi wasit sepakbola atau futsal, saya akan langsung memberi nomor telepon  Armya. Dan bila ada tim basket suatu sekolah yang memerlukan pelatih berlisensi, Keni adalah orang pertama yang akan saya hubungi.

Mereka bertiga adalah sahabat saya. Ketika tawaran-tawaran seperti di atas datang, nama mereka selalu muncul di urutan pertama. Jika mereka tidak bisa, baru saya menawarkan ke kenalan-kenalan lain.

Silaturahmi

Semakin kita menjaga hubungan baik dengan seseorang, semakin melekat pula nama kita di hatinya. Tak heran, jika orang tersebut memperoleh tawaran (katakanlah yang berhubungan dengan pekerjaan atau bisnis), dia akan langsung terpikir mengenai karibnya itu. Tepat seperti hadist berikut: "Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dikenang bekasnya, maka hendaklah ia menjalin silaturahmi." (HR Muslim).

Untuk menjaga relasi atau tali silaturahmi sebenarnya tidak sulit. Kita hanya perlu meluangkan waktu untuk orang lain. Jika diajak ngopi, pergi. Bila ada teman yang sakit, kunjungi. Kalau diminta membantu mengerjakan tugas, aminkan. Saya mengatakan ini bukan bermaksud agar kita melakukan sesuatu dengan mengharapkan pamrih: pura-pura berteman, lalu pergi saat kepentingan pribadi sudah digenggam.

Relasi di sini bukan pula yang berbau negatif lagi hina, seperti relasi untuk memudahkan kita lulus di seleksi pekerjaan (dengan menzalimi orang lain yang lebih pantas). Yang saya maksud di sini adalah persahabatan yang tulus. Urusan rezeki, Allah yang akan mengaturnya. Mengirimnya tanpa pernah kita duga.

Epilog

Akhirnya, selain memanjangkan rezeki dan menjadikan seseorang dikenang kebaikannya, menurut beberapa hadist lain, silaturahmi juga membuat umur kita panjang, membesarkan peluang meninggal dunia secara khusnul khatimah, menimbulkan cinta-kasih dalam keluarga, dan menjadi kunci masuk surga. Lalu jika memang demikian, apa lagi yang menghalagi kita merajut silaturahmi dan memperbanyak relasi? Tanpa kedua hal itu, segala kepandaian dan keahlian kita takkan bisa dimanfaatkan secara maksimal.

Semoga bermanfaat. Insya Allah. Wassalam.






Monday, October 15, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 6 comments

Menulis itu (terkadang) Aneh



Saya merasa menulis itu aneh. Ada perasaan takut dan enggan untuk memulainya. Malah terkadang saya menghindarkan diri dari pena dan keyboard laptop. Tapi justru anehnya, ketika saya mulai menulis, jemari ini justru tak bisa berhenti. Ada kenikmatan tersendiri. Sebuah sensasi yang sulit untuk dijelaskan.

Cerita yang sama saya temukan di Chicken Soup’s for Writer Soul. Seorang penulis lepas senior, saya lupa namanya, juga mengalami hal serupa. Dia juga terkadang secara naluriah menghindari menulis. Menjawab hal ini, dia menyebut bahwa menulis itu sulit. Menulis membuat seorang penulis menjadi gila. Tapi kemudian saat ditanya kenapa dia terus menulis hingga sekarang, dia menjawab singkat, “Berhenti menulis justru membuat saya semakin gila.”

Apa yang dikatakan penulis senior itu mungkin ada benarnya. Di dalam hidup kita seringkali menghadapi masalah. Menulis membantu kita menyelesaikannya. Ia menjadi semacam teman curhat pribadi. Ada perasaan ringan tiap kali selesai menulis. Masalah memang tidak mutlak selesai. Tapi ada solusi yang tiba-tiba muncul. Ada angin segar yang mendadak berhembus. 

Namun di sisi lain, ada perasaan takut bahwa produk tulisan dianggap jelek. Khawatir kiriman tulisan ditolak media atau penerbitan. Gelisah kata-kata kita akan menyakiti hati atau menyinggung perasaan orang lain. 

Hal-hal itulah yang berangkali menjadikan penulis gila dan di sisi lain semakin gila.

Produk Hati

Setiap kata-kata di dalam tulisan berasal dari hati. Apakah itu tulisan serius atau bercanda, untuk menuliskannya penulis tetap harus serius. Tak heran makanya, penulis memang rentan terkena depresi. Jelas saja, hasil perasan hati dan otaknya, yang dirangkai dengan sepenuh jiwa dan harapan, terkadang harus berakhir di tong sampah. Tulisan-tulisan itu ditolak media dan penerbit. Makanya, jika melihat ada orang yang tenang-tenang saja saat cintanya ditolak, bisa jadi ia adalah penulis. Terang saja, wong dia sudah sering ditolak sama editor! Hahaha.

Akhirnya, menulis memang aneh. Sekali lagi saya ingin berkata bahwa menulis memang membuat gila tapi berhenti menulis menjadikan penulis semakin gila! Semoga bermanfaat. Salam.




Friday, October 12, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Tak Perlu



Tak perlu melihat langit
Tak usah mengintip kegelapan
Cukuplah memandang ke dalam hati
Sesuatu yang belakangan sulit dimengerti


Wednesday, October 3, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments