Malu (yang tidak) pada Tempatnya



Di sebuah masjid, saat shalat Jumat tadi, saya berpapasan dengan sebuah mobil. Penumpangnya berjumlah tiga orang. Dua orang berumur sekitar 40 tahun. Seorang lagi kira-kira berusia 70 tahun. Salah seorang penumpang yang berusia lebih muda, membantu penumpang berusia lanjut tersebut untuk turun, sementara seorang lagi menunggu di belakang kemudi. 

Lelaki tua itu tidak mampu lagi berjalan dengan normal. Dia harus dibantu oleh tongkat dan papahan seseorang. Saya dan beberapa orang yang berada dekat dengan mobil itu bisa melihat bahwa lelaki tua itu tidak bisa dipapah sendirian. Paling tidak harus ada dua orang yang memapahnya. Anehnya, ada sebuah perasaan malu, segan, atau apalah, yang membuat kami tidak langsung bergerak, tidak berinisiatif membantu. Kami hanya melongo. Berdiri tanpa berbuat apa-apa. Dan baru sadar saat beberapa jemaah dengan sukarela membantu orang tua itu masuk masjid. Mendadak saya malu menjadi anak muda.

Kenapa Malu?

Kita mungkin pernah berada dekat atau mengalami sendiri kejadian ini: kecelakaan terjadi. Korban bergelimpangan di jalan. Kita berhenti dari kendaraan dan melihat. Orang-orang lain juga melihat. Belum ada yang bergerak menolong. Semuanya hanya menonton. Selang beberapa menit kemudian, satu-dua orang mulai mendekati korban dan memberikan bantuan. Sementara yang lain masih melihat dan melihat.

Mengapa kejadian ini bisa terjadi? Maksud saya, kenapa kita tidak langsung membantu ketika diperlukan?

Saya bukan ahli psikologi, tapi saya cukup ingat beberapa kejadian semasa kecil dulu. Saat SD, ketika teman menghapus papan tulis yang kotor, dia akan diteriaki, “Sok rajiin!” Begitu pula saat melihat seorang siswa membantu seorang siswi mengumpulkan bukunya yang terjatuh, dia akan disoraki, “Ciee, cari perhatiaan!” Yang disoraki pun serta-merta menjadi malu. Tidak ingin membantu lagi. Takut diejek oleh teman-temannya.

Bisa jadi, akumulasi kejadian pada masa kecil itu membentuk sebuah prinsip di benak kita bahwa membantu itu memalukan. Membantu itu hanya cari perhatian.

Bongkar!

Kita seharusnya meletakkan malu pada tempatnya: malu jika mengambil hak orang lain. Malu jika berdua-duaan dengan yang bukan muhrim. Malu membuang sampah sembarangan. Dan malu-malu lain yang menggiring kita kepada kebaikan.

Akhirnya, meminjam slogan sebuah produk kopi instan, mulai sekarang ada baiknya kita membongkar kebiasaan lama: malu membantu. Sedari sekarang pula, kita semestinya menanamkan prinsip di benak anak-anak, adik-adik, dan saudara-saudara kita, bahwa membantu itu membanggakan. Membantu itu perbuatan mulia. Membantu itu perlu dilakukan secara berlomba-lomba.

Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu membaca. Saya tunggu komentarnya :) 


*Banyak musibah kemanusiaan yang belakangan terjadi. Mari kita meringankan beban saudara-saudara kita dengan mendonasikan bantuan. Salah satu lembaga yang terpercaya adalah AKSI CEPAT TANGGAP (ACT) Foundation. Sebuah lembaga kemanusiaan yang mengkhususkan diri pada penanganan bencana alam dan bencana kemanusiaan secara terpadu. Sila kunjungi website ACT. Kita bisa mendonasikan bantuan untuk korban bencana alam di Nusantara, konflik Rohingnya dan Palestina.


  

Friday, November 16, 2012 by Muhammad Haekal
Categories: 8 comments

Comments (8)

  1. cerita dan pengalaman ini kena sekali, semoga banyak orang bisa 'bongkar' kebiasan ini jadi orang yg benar-benar malu jika tdk bisa menolong dalam kebaikan :)

  2. amiiin. insya Allah.
    thank, bang! udah ngunjung!
    :)

  3. iya, kadang aq juga ngerasa malu setelah kejadian berlalu, karena gak sigap membantu... nicely done, bro!

  4. @HY:
    iyaa. nyesal gmn gitu! haha!
    thank mong udah ngunjung!

  5. sayang nya aku tidak punya rasa malu yang seperti itu, jadi hampir menyamaratakan semua yang malu ...

  6. seperti karakter novel, kita selalu punya waktu untuk berubah lebih baik!
    keep fighting bro!

  7. ah, suka banget blognya bang :")
    keep posting! :")

  8. wahhh! alhamdulillah.
    #terbang ke langit

Leave a Reply