Archive for 2013

Mengurus Perpanjangan SIM di Aceh


Pagi tadi saya mengurus perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Mobil SIM Keliling, Ditlantas Polda Aceh (dekat Masjid Raya Baiturrahman). Prosesnya cepat dan mudah. Tak sampai 15 menit semua selesai. Biayanya Rp. 80 ribu.

Jika dulu cukup menyertakan fotokopi KTP dan SIM lama, kali ini, berkas perpanjangan SIM wajib dilengkapi dengan surat rekomendasi kesehatan dari dokter, dan surat kesehatan jiwa dari psikolog. Sesuai dengan UU Lalu Lintas.

Saya membuat surat kesehatan di Puskesmas Krueng Barona Jaya. Biayanya Rp. 10 ribu. Sementara surat kesehatan jiwa saya peroleh dari Yayasan Psikodista (setelah sebelumnya mengikuti psikotest) dengan biaya Rp 50 ribu.

Jadi biaya total perpanjangan SIM A saya adalah Rp. 140 ribu.

Cerita lain

Pengurusan SIM berlangsung di dalam bus/ kontainer SIM Keliling. Di dalamnya ada dua orang petugas. Seorang petugas mengurus administrasi (kelengkapan berkas dan pembayaran), dan seorang lagi bertugas mengoperasikan komputer (input data, foto, dan cetak SIM). Di antara kedua petugas, terdapat empat buah kursi. Tempat warga duduk mengantre.

Dari sekian banyak warga yang mengurus perpanjangan SIM, beberapa di antara mereka tidak membawa persyaratan secara lengkap dan benar. Ada yang membawa surat kesehatan tanpa stempel, ada yang lupa mengurus surat kesehatan jiwa, bahkan ada pula yang hanya ‘bermodal’ fotokopi KTP.

“Apakah saya masih bisa memperpanjang SIM?” tanya seorang ibu yang tidak membawa persyaratan lengkap.

“Kami bisa membantu mengurus yang tidak lengkap. Tapi biayanya mahal.” petugas menyebutkan nominal. Jika tidak salah dengar, Rp. 250 ribu. 

“Saya menyarankan ibu mengurus dulu kelengkapannya sendiri. Jadi nanti akan dikenakan biaya normal sebesar Rp. 75 ribu.” sambung petugas.

Mendengar hal tersebut, si ibu memutuskan menunda dulu pengurusan SIM dan mengurus sendiri surat-surat yang tidak lengkap.

Beberapa warga lain juga mengalami situasi yang sama. Tapi mereka lebih memilih untuk membayar langsung dengan harga yang lebih mahal.

Kenapa?

Dari beberapa info yang saya dapat di internet, alasan sebagian warga yang memilih mengurus langsung SIM dan tidak repot-repot membuat surat kesehatan adalah alasan biaya dan waktu. Di situs Harian Analisa, saya mendapatkan informasi jika biaya pembuatan surat kesehatan jiwa di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh adalah Rp. 137.500. Proses pengurusannya pun relatif panjang dan berbelit-belit.

Padahal, Dirlantas Polda Aceh, Kombes Pol Indra Gautama, mengatakan bahwa surat kesehatan jiwa itu tidak mesti dari RSJ, cukup dari praktik psikolog saja. Selain memang sudah memadai, harganya juga lebih terjangkau.

Kemungkinan hal itulah yang membuat sebagian warga memilih ‘diuruskan’ kelengkapan persyaratannya oleh petugas. Selain biayanya tidak jauh beda, waktu yang dihabiskan juga tidak lama.

Legalkah?

Saya tidak tahu apakah prosedur ‘pengurusan’ syarat oleh pihak petugas merupakan hal yang resmi dan legal. Dalam beberapa sisi tindakan tersebut memang membantu. Barangkali ada warga yang hanya mempunyai waktu sedikit dan banyak urusan. Namun jika memang tidak legal, apapun ceritanya hal tersebut tidak benar untuk dilakukan.

Disadari atau tidak, terkadang inisiatif melanggar hukum justru datang dari warga bukan petugas. Jika memang kita ingin membangun negara yang bebas korupsi, semua harus kita awali dengan kebersihan diri kita sendiri. Mengikuti alur sesuai aturan. Tidak berusaha merayu aparatur untuk dimudahkan. Membayar sesuai biaya resmi. Dan tidak merasa harus memberikan ‘uang kopi’.

Sesungguhnya semua begitu indah jika kita jalankan sesuai dengan aturan. Toh, jika dalam proses tersebut kita masih dirugikan, tinggal lapor saja ke Ombudsman!

Thursday, December 12, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 14 comments

Aduh Juve


Saya jarang menulis tentang sepakbola. Kalau pun ada itu hanya tentang Del Piero. Tapi malam ini saya palak sekali. Tim kesayangan saya, Juventus, kalah melawan Galatasaray. Bukan apa-apa, saya hanya merasa tadi bukanlah pertandingan yang ideal. Kedua tim seperti bermain di sawah.

Türk Telekom Arena (Istanbul, Turki) memang sedang diselimuti hujan salju. Pertandingan ini seharusnya selesai kemarin. Saking parahnya cuaca, pertandingan ditunda dan dilanjutkan malam ini. Kondisi tidak jauh berbeda. Lapangan becek. Bola bahkan tidak lancar bergulir di beberapa bagian lapangan. Alhasil, tidak ada pertarungan strategi dan skill pada pertandingan ini. Yang ada hanya pertaruhan keberuntungan: siapa yang mendapat bola di bagian lapangan yang tidak begitu becek – dan Galatasaray mendapatnya.


Babak kedua, bagian lapangan yang relatif kering berada di sisi Juventus. Disemangati oleh teriakan suporter tuan rumah, Galatasaray perlahan mulai leluasa membangun skema serangan. Peluang demi peluang pun hadir. Beberapa kali dada rasanya sesak melihat Drogba men-shoot bola – yang masih sanggup diblok Buffon. Jantung pun hampir copot menyaksikan Burak Yılmas berusaha menyapu bola rebound – walau dia gagal. Dan akhirnya para Juventini di warkop sempurna terdiam saat Wesley Sneijder – yang mendapat umpan dari Drogba, menendang bola ke tiang jauh. Gol.


Ingin rasanya berandai-andai tentang lapangan dan cuaca. Tapi memang takdir malam ini tidak bisa ditolak: Galatasaray maju ke babak 16 besar. Juventus harus merelakan diri bertarung di Europa League.

Tanpa juara Italia, sepertinya babak 16 besar Liga Champions nanti sudah berkurang kemeriahannya. Itu negatifnya. Sementara hal baiknya, Juventus bisa lebih berkonsentrasi mempertahankan scudetto.

Nanti malam, dua wakil Italia lain, yaitu AC Milan dan SSC Napoli, juga akan memperebutkan tiket ke babak 16 besar Liga Champions. Saya berharap mereka bisa lolos. Forza Serie A!

Akhirnya,mungkin ada yang bertanya apa untungnya menonton sepakbola, menjadi tifosi sebuah tim, kecewa jika mereka kalah, bersemangat jika mereka juara? Saya tidak benar-benar tahu. Tapi mungkin cukuplah itu semua disebut sebagai kebahagiaan. Sebuah pelipur lara dari realita bernama kehidupan. Forza Juventus!

sumber gambar:

Wednesday, December 11, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Bolehkah?


Bolehkah ada rencana lagi?
Untuk kesekian kali
Menabur mimpi di tanah kering
Tersapu hujan lalu mengering.

Sunday, December 8, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 5 comments

Penerjemah


Setelah bulan-bulan sebelumnya hanya menangani job terjemahan jika diminta saja, hari ini kami resmi berpromosi.

Jika kawan-kawan memerlukan bantuan untuk menerjemahkan dokumen dari bahasa Inggris ke Indonesia atau sebaliknya, sila hubungi kami.

Kami?
Ya. saya bekerja bersama dengan beberapa teman alumni Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (TEN/PBI) UIN Ar-Raniry.

Kawan-kawan tidak perlu ragu. Terjemahan dipastikan tidak asal dan selalu melalui proses editing

Bagaimana dengan biaya?

Per tanggal 7 Desember 2013, untuk 1 lembar (dihitung 250 kata), kami mematok Rp.25.000,- (Inggris ke Indonesia) dan Rp.30.000,- (Indonesia-Inggris). Jumlah yang dihitung bukanlah naskah mentah, tapi naskah yang telah jadi.

Lama pengerjaan tergantung jumlah halaman. Dalam hitungan standar (di bawah 50 halaman), biasanya dapat selesai dalam waktu 1 – 5 hari. Insya Allah.

Sejauh ini, kami melayani terjemahan berbagai jenis naskah, kecuali naskah kedokteran.

Bagaimana menghubungi kami?

Untuk saat ini, kami masih menggunakan kontak pribadi.
Kawan-kawan sila telepon/ sms/ whatsapp ke nomor 085260558505 atau boleh melalui email saya ke mhdhaekal@gmail.com

Agar hati kawan-kawan tenang, naskah akan kami selesaikan dulu, baru dibayar kemudian. 

Biaya boleh ditransfer ke rekening:
Bank Muamalat | No Rek: 2450000434 | A/N: Muhammad Haekal

Atau jika rumah kita dekat, bolehlah semua kewajiban kita tunaikan di kedai kopi atau tempat-tempat santai lainnya.

Demikian saja. 

Salam kami.

10-Translation Service

Friday, December 6, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 6 comments

Kacamata, Saya, & Adik Sales


Saya pernah kesurupan. Siang-siang pergi ke optik. Kemudian membeli sebuah kacamata original dengan harga yang mahal. Tanpa tawar. Tanpa basa-basi. Dan yang membuat ini semakin gila adalah mata saya sedang tidak bermasalah sama sekali. Lalu buat apa saya beli kacamata?

Kawan-kawan saya pun tidak habis pikir. Ketimbang kacamata dengan lensa normal yang tidak begitu banyak manfaatnya, saya lebih baik membeli sunglasses saja, begitu keluh mereka. Toh uangnya cukup. Minimal walau tidak saban kali saya perlukan, suatu hari nanti pasti bisa digunakan. Apakah semua ini hanya untuk bergaya?

Saya seperti kehilangan logika dan kecerdasan. Mungkin karena kepala saya baru dicukur botak. Entahlah. Tapi di luar itu, saya merasa semua terjadi karena saya kena ‘sihir’. Customer service di optik itu ramah sekali. Bicaranya sopan. Tindakannya perhatian. Wajahnya sedap dipandang. Aih, siapa yang bisa menolak untuk membeli?

Walau kemudian ketika pulang dari optik itu, saya berbaring di ranjang dan berpikir: ya memang wajar perempuan itu demikian. Bukankah ia seorang sales yang bertugas membuat barang dagangan laku? Jadi sudah semestinya dia bersikap ‘manis’.

Halah. Apapun itu, tanpa sadar saya sudah terpesona.

Esensi

Namun tentu saja dalam tulisan kali ini, saya tidak akan berpanjang-panjang tentang si sales manis tadi. Toh saya hanya berjumpa dengannya sebanyak dua kali dan hubungan kami hanya berhenti di status “penjual dan pembeli”. Peristiwa konyol itu hanya membuat saya terpikir tentang “esensi”. Kenapa kita melakukan sesuatu? Kenapa kita membeli smartphone yang mahacanggih jika keperluan kita hanya menelepon, mengirim pesan, dan online FB? Kenapa kita membeli sepeda motor baru jika yang lama mesinnya masih bagus dan bodinya mulus? Kenapa membeli jam tangan baru jika waktu akan terus berputar dalam hitungan angka yang sama? Dan bermacam-ragam pertanyaan “kenapa” lain. Intinya, khusus persoalan membeli, apa yang menjadi hakikat bagi kita untuk melakukannya? Kebutuhan, keinginan, tren, atau ada alasan yang lain?

Bagi saya, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah satu kata: cukup.

“Cukup” artinya tidak kurang, tidak pula lebih. Pas. Cukup juga bermakna apa kita butuhkan ada. Bisa diperoleh atau telah kita miliki. Cukup itu bukan lapar tapi kenyang, walau bukan kekenyangan. Cukup itu memenuhi kebutuhan. Bermakna bahwa ketika ia ada, benda-benda lain hanya berfungsi untuk mengisi fungsi yang sama. Mirip seperti Whatsapp dan BBM. Dua-duanya berfungsi sebagai media chat. Jika saya dan seorang teman sama-sama memiliki salah satunya, kami tidak perlu meng-install dua-duanya. Mubazir.

Oleh karena itu, mulai saat ini, ada baiknya kita merenung tentang apa yang kita butuhkan dan kita miliki. Bisa jadi kehidupan kita sebenarnya sudah begitu sempurna dengan segala kecukupan yang ada. Jangan sampai kita menjadi susah gara-gara sibuk mencari hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan.

Dan sekarang, jika tempo hari saya (yang kesurupan) pergi ke optik untuk membeli kacamata, maka hari ini saya (yang penuh kesadaran) akan ke sana untuk melakukan sesuatu yang memang saya butuhkan: berkenalan dengan si sales manis*.

*mimpi.

Thursday, November 7, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 16 comments

Menghilang


Ada saat-saat ketika saya tidak mengerti tentang hidup. Jenuh dengan keseharian. Dan terlalu kacau ketika berusaha menjawab itu semua. Saat itu, saya memilih untuk menghilang. Tidak benar-benar menghilang dari bumi tentu saja. Tapi dengan mematikan segala alat komunikasi, mungkin saya telah melakukan seperempatnya.

Dari dulu itu treatment saya. Saya percaya ketika menyendiri, ada jawaban yang saya dapatkan. Walau ngerinya terkadang itu tidak selalu berlangsung dalam satu-dua hari. Terkadang mingguan atau bulanan. Hingga teman-teman bertanya  ke mana saja saya dan orang rumah heran kenapa saya tidak ke mana-mana. Saya memang hanya di kamar saja.

Keramaian memang sering membuat saya pusing. Saya memang cenderung menghindari kegiatan yang melibatkan banyak orang. Jikapun ada kegiatan seperti itu, saya memilih untuk melakukannya tidak dengan orang banyak. Maka jika saya ada di tempat orang ramai, hampir dapat dipastikan itu karena sedikit ‘terpaksa’ atau memang saya secara moral diharuskan hadir. Itu saat kondisi stabil – apalagi ketika suasana sedang kacau.

Lalu apa yang saya lakukan di kala sendiri? Jika kondisinya sedang ‘parah’, maka saya lebih banyak merenung. Orang-orang bilang ini tidak sehat. Tapi herannya saya seringkali sembuh walau tidak dengan waktu yang cepat. Mirip seperti orang yang khawatir ketika melihat temannya berobat ke dukun patah lalu terheran-heran menyaksikannya sembuh. Namun atas perhatiannya, tentu saya harus mengucapkan grazie.

Saya juga merasa jika saya tidak duduk berjam-jam di depan laptop, di dalam kamar saya yang penuh tulisan entah-apa-apa, saya tidak akan pernah bisa menyelesaikan tulisan. Entah itu cerpen saya atau terjemahan dokumen orang lain. Saya harus duduk di kamar. Tidak di kedai kopi. Itu terlalu berisik. Ditambah dengan segala macam jenis lalu-lalang orang. Itu sungguh tidak membantu.

Selain itu, salah satu surga ketika ‘menghilang’ adalah membaca. Membaca adalah sebuah perjalanan fiksi. Kita merasa di sebuah tempat walau tidak benar-benar di sana. Bukan sebuah hal yang sempurna memang. Tapi untuk seorang “saya” yang masih belum mampu untuk terlalu sering jalan-jalan, apa lagi yang lebih sempurna daripada itu?

Introvert? Saya rasa. Total demikian? Tidak juga.

Monday, November 4, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 12 comments

Aceh dan Lahirnya Komunitas


Salah satu pertanyaan yang terkadang sulit saya jawab adalah “kamu orang mana?”  Tentu saya orang Indonesia. Itu tercetak di KTP. Maksud saya, terkadang di Aceh orang-orang merasa perlu tahu tepatnya-Aceh-apa.  Saya lahir di Aceh Tamiang. Tidak sampai hitungan bulan, keluarga kami pindah ke Banda Aceh. Beberapa tahun kemudian, kami membeli tanah di Lamreung, dan itu Aceh Besar.

Sekarang sudah sepuluh tahun lebih saya tinggal di Lamreung. Hasilnya, logat bahasa Aceh saya ‘Aceh Rayeuk’ sekali. Huruf “R” meluncur dari mulut tanpa menggetarkan lidah – mirip pelafalan dalam bahasa Inggris atau Prancis. Huruf “S” pun berwujud tsa dalam bahasa Arab. Ditambah lagi volume bicara yang besar. Seperti marah-marah padahal sedang bercanda. Lucunya kalau ketemu sesama teman dari Aceh Besar, bisa-bisa teman dari Aceh bagian lain tidak begitu paham kami sedang bicara apa. Meudok that! 

Komunitas

Lalu setelah sekian lama tinggal di Aceh, apa sih yang saya rasakan? Banyak!! Terlalu banyak sampai saking banyaknya saya hampir tidak menyelesaikan postingan ini karena begitu asyik hapus-tulis-hapus-tulis.

Jadi pada tulisan singkat kali ini, saya sedikit ingin mengobrol tentang tentang sebuah hal positif yang sedang happening di Aceh: kelahiran komunitas-komunitas.

Tanpa disadari, rupanya banyak sekali komunitas yang sudah lahir di Aceh. Sebagian dari mereka sedang berkembang dan sebagian lainnya sudah bisa berdiri secara stabil. Bidang-bidangnya pun tidak terbatas. Mulai dari yang sifatnya pendidikan, bisnis, ketrampilan, lingkungan, seni, hobi, semuanya ada. Hal tersebut pun terasa semakin lengkap dengan prestasi-prestasi yang semakin sering didapat oleh anak-anak Aceh dalam berbagai event, nasional dan internasional. Dua hal itu seakan menjawab pertanyaan: “Adakah manfaat dari lahirnya begitu banyak komunitas?”jawabannya, “Ada. Prestasi.” Selain itu, tentu masih banyak lagi manfaat tidak kasat mata yang hadir dari lahirnya komunitas-komunitas.

Oleh karenanya, tidak salah jika kita bilang bahwa Aceh sedang menata diri – dan ia memang sudah semakin cantik sekarang.

Masa Depan

Semua tentu berharap pergerakan-pergerakan tadi menemukan tujuannya di masa depan. Kawan-kawan yang bergiat di bidang pendidikan berharap semua anak di Aceh bisa mendapatkan fasilitas belajar secara layak. Mereka yang berkecimpung di bidang bisnis juga berharap agar pengusaha-pengusaha baru terus tumbuh di Aceh. Para pecinta alam tentunya juga memiliki impian agar suatu hari nanti masyarakat Aceh semakin cerdas dan bijak dalam memperlakukan lingkungan. Semuanya sedang berusaha untuk itu.
Yang membuat semua hal menjadi mungkin dan semakin penuh harapan adalah karena pergerakan ini kebanyakan dimotori oleh generasi muda – yang suatu hari akan tumbuh dewasa dan duduk di puncak kekuasaan. Kita semua berharap bahwa ide, pikiran, dan niat mereka yang masih fresh dan cenderung bebas dari intrik politik, nanti juga akan terbawa sampai pada masanya mereka menjadi pemimpin.

Kawal

“Bangsa lain bisa sukses karena mereka berusaha membantu warganya agar berhasil. Sementara bangsa kita terpuruk karena terus berusaha menjerumuskan masyarakatnya agar gagal.”

Saya lupa siapa yang mengatakan ini, tapi memang jika direnungkan ada benarnya.

Dan sekarang, jika memang komunitas-komunitas tadi membawa perkembangan yang baik untuk Aceh, adakah alasan bagi kita untuk tidak mendukung mereka?

Jangan sampai kita justru menggagalkan apa yang sedang dibangun oleh saudara kita sendiri. Jangan sampai.


sumber gambar: home.iae.nl

Friday, November 1, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 4 comments

Mata - Hati

mata tanpa hati
hati tanpa mata
apalah daya.

Tuesday, August 13, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Hidup di dalam Mimpi


“Kita sekarang hidup di dalam mimpi.” Kata seorang teman saya.

Ya, bagi sebagian dari angkatan kami, yang sekarang sedang sibuk-sibuknya mencari kerja atau melamar beasiswa, kehidupan hampir seperti utopia: segalanya seperti sedang berada di ‘dunia lain’, tidak nyata.

Ambillah contoh beasiswa S2. Memang saban hari asyik juga mendiskusikan aplikasi, mendengar testimoni para awardee, dan membayangkan suatu hari berkuliah di kota besar seperti Sydney – pagi kuliah, sore santai sambil baca buku di Centennial Parklands, dan akhir pekan bisa dihabiskan dengan jalan-jalan dari The Spit Bridge ke Manly. Tapi ya itu, semua masih di dalam mimpi.

Maka kemudian, ketika semua aplikasi telah disiapkan sebagus-bagusnya dan dikirim, teman-teman sepakat dalam rentang waktu menunggu pengumuman (pertengahan Desember 2013), kami harus mengerjakan sesuatu. Entah itu mengajar, menulis, menjadi tour guide, pokoknya apa saja selain tidur dan melamun. Apapun ceritanya, sebaik apapun sebuah persiapan dan rencana, menunggu tetaplah sebuah ketidakpastian. Tidak baik rasanya menggantungkan harapan pada sebuah hal yang belum ada dalam genggaman.

Akhirnya, bermimpi selalu merupakan awal yang baik untuk memulai petualangan hidup. Ia adalah peta GPS bagi tujuan-tujuan kita selanjutnya. Dan jika bermimpi bisa disamakan dengan berburu, maka ada baiknya kita berpindah lokasi dan berburu di spot lain sembari menunggu umpan di spot sebelumnya dilahap.

Terima kasih telah berkunjung. Semoga bermanfaat. Insya Allah. Salam :)

Monday, June 24, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 12 comments

Perempuan dan Berat Badan



Semalam, sambil menunggu pesanan nasi uduk datang, seorang teman saya bercerita tentang calon istrinya yang hampir setiap hari mengeluhkan soal berat badan.

“Ayang, aku nampak gemuk ya? | iiihh, gimana ini, minggu ini aku naik dua kilo! | gak mau makan, ah! Biar kurus!”

Menurut teman saya, berat badan calon istrinya sudah ideal dan jikapun naik tiga-empat kilo bukanlah masalah. Namun lama-lama teman saya cemas dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia khawatir calon istrinya malah terobsesi menguruskan berat badan sehingga hasilnya malah berlebihan. Ia teringat dengan seorang teman perempuan yang sebelumnya memiliki berat badan ideal, namun sekarang sudah turun drastis sekali sehingga ia malah terlihat pucat dan sakit.

Perempuan memang selalu khawatir soal berat badan. Naik satu-dua kilo adalah musibah, tiga-empat kilo adalah kiamat. Menarik untuk mengetahui alasan utama perempuan ingin kurus. Apakah karena alasan kesehatan, menarik lelaki, atau agar eksis dalam pergaulan? Saya memang tidak pernah langsung bertanya tentang ini kepada teman saya yang perempuan. Tapi jika alasan mereka untuk menarik perhatian lelaki, persepsi ini mungkin harus sedikit diluruskan.

Lelaki – Aceh – umumnya tidak suka dengan perempuan yang kurusnya keterlaluan atau gendutnya keterlaluan. Saya tidak ingin mengatakan semua lelaki berpikir seperti itu. Bisa jadi para pria yang tinggal di Jakarta, Paris, New York, atau Madrid, memiliki selera yang berbeda. Makanya ketika seorang perempuan bertubuh ideal datang dan mengeluh bahwa dia gendut, banyak lelaki di sini yang heran dan bertanya-tanya, “Jangan-jangan ia menggunakan standar para model di Paris.”

Dear sisters, begitulah kira-kira lelaki berpikir.

Akhirnya, sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa bagaimanapun tubuh memang sesuatu, tapi bukan segalanya. Hati yang luar biasa baik, lebih menentramkan dari tubuh yang luar biasa ideal.

Semoga bermanfaat ya. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca :)

Saturday, June 22, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

Nikah (lagi)


Pagi ini, saya, Muntasir, Rahmat, dan Fahrul, insya Allah akan pergi ke Sigli. Seorang teman kami menikah. Perempuan. Maka hari ini, 22 Juni 2013, resmi seorang lagi dara dari angkatan kami dipersunting orang. Mari menyanyikan Gugur Bunga. Eh?

Selain soal pekerjaan dan S2, pernikahan memang masih menjadi topik hangat di lingkungan pergaulan kami. Jika kami ngopi di hari Minggu – yang biasanya memakan waktu lebih lama dari hari lain, pernikahan adalah salah satu tema besar percakapan. Di awal-awal, kami meng-update berapa harga mahar terbaru. Kemudian berdebat tentang yang manakah lebih baik, nikah dengan dijodohkan atau diawali dengan hubungan sebelumnya. Lalu setelah lelah dengan fakta yang ‘ilmiah’, kami pun ganti membahas tentang mitos seputar pernikahan yang secara instan melebar ke perkara adat bahkan seringkali ranjang.

Setelah mengambil fakta, merebus, memasaknya, dan sedikit membumbuinya dengan mitos, kami sepakat bahwa umur terbaik untuk menikah bagi lelaki adalah usia 25 hingga 27 tahun. Bukan soal kumis yang sudah panjang, tapi pada rentang umur tersebut, secara fisik, seorang lelaki masih joss! Eh, bukan berarti umur yang lebih tua tidak berstamina, hanya saja mungkin tidak segarang rentang umur di atas! Hahaha! Pada usia tersebut pula, secara mental dan finansial insya Allah seorang lelaki sudah lebih siap.

Kami juga perlahan mulai yakin, bahwa terlepas dari berbagai alasan seseorang berumah tangga, salah satu tujuan paling mulianya adalah menyelamatkan iman. Jika tidak ingin kebablasan dengan diri sendiri atau orang lain, nafsu yang ada pada diri kita harus dikontrol. Pernikahan adalah jalan terbaiknya. Memang terasa naïf, tapi coba pikir apa jalan terbaik lain untuk perkara itu – terlebih bagi muslim? Apakah dengan beraksi di kamar mandi? No! #teriak

Namun terlepas dari apapun, pernikahan juga bukan hal yang sederhana. Diperlukan persiapan yang matang dan cadas. Seorang suami misalnya, selain telah siap fisik dan mental, alangkah lebih baiknya jika ia memiliki pengetahuan dasar masalah fikih, lancar + benar dalam mengaji, dan tak ragu menjadi imam shalat. Bagaimanapun juga, ketika istri tidak paham terhadap suatu hal, suamilah yang wajib membimbingnya. Dan jika kita merasa belum cukup baik dalam hal tersebut, ada baiknya mulai belajar dari sekarang.

Akhirnya, saya mau siap-siap berangkat. Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca :)

NB. Saya bertemu dengan seorang senior, ia bertanya mengapa saya sekarang sudah jarang menulis, baik di blog dan media massa. Saya bilang karena alasan kurangnya waktu luang. Lalu dengan sedikit berteriak, dia bilang, “Bukannya dulu kamu yang nulis soal waktu luang itu tak ada, yang ada hanya meluangkan waktu?” Saya mengangguk. Iya juga ya. Terlepas dari betapa sibuknya seseorang, ketika ia berniat mengerjakan sesuatu, insya Allah dia akan memiliki waktu untuk itu. Makasih bang udah ngingatin!

Friday, June 21, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

(Tak) Peduli

Ini adalah sebuah negeri
di mana cinta tak lagi peduli
atau langit selalu gelap
dibungkus oleh matahari yang rapat
tepat mengarah ke dalam setiap butir hujan
yang mengilat.

by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Destinasi



Awal Mei kemarin, seorang teman yang sudah saya kenal selama lima tahun diwisuda. Sarjana Kedokteran. Maka dengan itu, tibalah baginya saat untuk menjadi dokter muda (co – assistant). Dengan alasan tertentu, ia memilih melaksanakan tugas tersebut di Palembang selama dua tahun.

Kepergiannya membuat saya sadar, bahwa sekarang memang saatnya untuk pergi, melakukan perjalanan. Terlebih bagi kami, sebagian anak yang tumbuh besar di Ibukota Provinsi, yang memilih untuk menghabiskan masa sekolah dan kuliah (S1) dekat dengan rumah.

Setelah wisuda di bulan Februari, sebagian dari kami memilih fokus mencari kerja, sebagian lain berburu beasiswa, dan tidak sedikit juga yang melakukan kedua-duanya.

Mimpi

Seperti halnya kebanyakan manusia, kami juga memiliki mimpi. Sialnya, mimpi tidak akan terwujud hanya dengan tidur, para pemimpi harus bangun dan mandi.

Maka seminggu pasca wisuda, teman-teman yang fokus mencari kerja sudah sibuk mengurus SKCK di Kepolisian dan surat keterangan sehat di Rumah Sakit. Mereka pun begitu rajin membaca koran dan browsing di internet untuk mencari lowongan kerja. Beberapa bahkan berani benar mengantarkan berkas lamaran ke suatu perusaan yang bahkan sedang tidak membuka lowongan. Hahaha! Salut!

Para pemburu beasiswa lain lagi. Selain sering melakukan transaksi informasi, mereka juga saban hari berdiskusi tentang tata cara pengisian aplikasi, proses wawancara, dan segala hal yang berhubungan dengan beasiswa. Bahkan mereka juga tak segan ‘menculik’ para abang atau kakak letting yang telah lulus seleksi beasiswa pada tahun-tahun sebelumnya untuk ‘diinterogasi’.

Pertanyaan

Sebagai alumni, saya dan teman-teman kadang takut pergi ke kampus. Bukan karena khawatir dimintai foto bersama (ge-er!), tapi karena saban kali berjumpa dengan adik letting, mereka selalu bertanya, “Abang sekarang di mana? Apa kegiatannya? Kapan berangkat ke Australia? Kapan nikah? Masih patah hati? (nah lho??)” Terang saja kami risih, banyak dari kami belum memiliki pekerjaan yang wah, rata-rata masih freelance – maka menjawab pertanyan itu beda-beda tipis dengan mengatakan: kami belum punya pekerjaan. Hahaha!

Selain itu, hampir semua dari kami sedang mengikuti proses seleksi beasiswa (yang pengumumannya baru keluar insya Allah pada akhir tahun). Jadi ketika ditanya kapan ke Australia atau negara-negara lain, dalam hati terbesit: dek, aplikasinya aja belom sampe ke Jakarta!

Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa pertanyaan-pertanyaan itu mencubit kami untuk semakin giat dalam berusaha. Bagaimana tidak, wajah-wajah adik letting, eh maksudnya pertanyaan-pertanyaan adik letting tersebut, selalu terngiang-ngiang di dalam kepala!

Akhirnya, dalam mewujudkan impian, kita memang harus berusaha sekuat badan dan hati, lalu menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah SWT. Tawakkal. Insya Allah dengan berlaku demikian, kita akan merasa puas jika semuanya terwujud, atau kalaupun nanti hasilnya tidak sesuai dengan harapan, kita akan menerima dan memahami bahwa Allah maha tahu apa yang kita butuhkan.

Semoga tulisan kali ini bermanfaat. Insya Allah. Maaf lama tak muncul. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca. Jangan lupa doain kami yaa :)

Salam.

Friday, May 31, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 7 comments

Kepala Berkutu


Alhamdulillah puisi ini terbit di Serambi Indonesia tanggal 21 April 2013. Klik di sini untuk langsung menuju situs.
------------------------------------------------------------------
Kepala kami berkutu
Pikiran kami pun gatal
Tindakan kami ikut kumal

Kepala kami berkutu
Dimantra tak bisa
Digaruk tak kuasa

Tuhan, hari ini kepala kami masih berkutu
Bolehkah  kami meminta Kepala yang baru?
Kami malu


Tuesday, May 7, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

note

20 April - 5 May 2013 ~ traveling

6 May ~ home
insya Allah
see you :D

Friday, April 19, 2013 by Muhammad Haekal
4 comments

Pengangguran


Suatu hari, dalam sebuah acara di kampus, saya bertemu dengan seorang teman. Ia telah diwisuda tahun lalu. Setelah cukup berbasa-basi, ia mengeluhkan kepada saya bahwa ia belum kunjung memperoleh pekerjaan. Ia mengaku cukup pusing. Selain karena perkara pekerjaan adalah sebuah hal terus ditanyakan ketika seseorang sudah memperoleh gelar sarjana, ia juga mulai merisaukan masa depannya. “Bagaimana jika kondisinya terus-menerus begini?”

Pengangguran memang menjadi masalah besar di negeri kita. Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional menyebutkan, jumlah penganggur pada Agustus 2012 mencapai 7,2 juta orang. Lebih khusus lagi, jika dilihat dari pendidikan tinggi yang ditamatkan, jumlah penganggur yang berasal dari lulusan universitas mencapai  430 ribu orang. Masih menurut BPS, angka tersebut memang mengalami penurunan, namun apapun ceritanya, kita tentu tidak ingin masuk dalam kelompok itu. 

Tanya Kenapa?

Mengutip pendapat Nurul Sadiah (2013), pemerhati masalah sosial, pengangguran (terutama pada lulusan universitas) seringkali terjadi karena para sarjana terlalu memilih-milih pekerjaan. Mereka malas memulai karier dari bawah dan ingin langsung mendapatkan pekerjaan yang wah! Lebih lanjut, faktor rendahnya ilmu pengetahuan juga disinyalir membuat mereka terkena ‘seleksi alam’ oleh para sarjana lain yang memiliki kapasitas lebih tinggi. 

Pendapat di atas sepertinya ada benarnya. Sepanjang hidup saya, saya tidak pernah melihat orang-orang yang benar-benar berusaha, terperosok ke dalam lubang pengangguran. Selalu ada saja yang mereka kerjakan. Mereka tidak memilih-milih pekerjaan. Mereka menyambut baik segala tawaran yang datang. Bagi mereka, terus memulai bekerja walau (katakanlah) tidak dibayar dengan pantas adalah lebih baik, ketimbang tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Minimal mereka bisa memperkaya pengalaman yang tentunya bisa dijadikan nilai tambah apabila melamar pekerjaan di kemudian hari.

Sikap + Pola Pikir

“We become the things we do..”

Penggalan lirik dari lagu Third Eye Blind (Blinded) memang jika kita renungi ada benarnya: kita akan menjelma menjadi apa yang kita lakukan. Jika kita setiap hari mengajar, kita akan menjadi guru. Jika kita setiap hari menjual barang, kita akan menjadi pebisnis. Jika kita setiap hari menulis, kita akan menjadi penulis. Jika kita setiap hari kerjanya malas-malasan, kita akan menjadi pengangguran. Ya, semua hanya sesimpel itu.

Pengangguran sesungguhnya adalah sikap dan pola pikir. Para penganggur sebenarnya bukanlah mereka yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan tapi mereka adalah orang yang memilih untuk menganggur. Seperti ilustrasi gambar cangkir kopi di atas, yang perlu kita lakukan sebenarnya hanyalah memutar cangkir menjadi “on”. Allah menciptakan kita dengan berbagai kelebihan dan potensi. Allah juga telah menyediakan berbagai sumber rezeki di dunia ini. Sekarang tinggal kita berniat dan berusaha sepenuh hati. Hidup adalah pilihan. Waktu terus berjalan. Percayalah, ketika sikap dan pola pikir kita terus berada di jalur yang positif, cepat atau lambat, insya Allah kesuksesan akan segera datang.

Akhirnya, terima kasih telah meluangkan waktu membaca. Semoga bermanfaat. Insya Allah. Salam :)

note: dalam beberapa kalimat, saya merasa menjitak kepala sendiri :P

Wednesday, April 10, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 11 comments

Kuliah, Jurusan, dan Masa Depan


Ospek TEN tahun 2008

Sekarang berbagai Bimbingan Belajar (Bimbel) sedang heboh menawarkan program persiapan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2013 untuk para calon mahasiswa. Jumlah kursi Perguruan Tinggi yang jauh lebih sedikit ketimbang para pendaftar membuat semua peserta harus berlomba-lomba memperoleh hasil yang terbaik demi mendapatkan tempat di kampus idaman.

Saya juga masih mengingat jelas saat dulu mengikuti SNMPTN pada tahun 2008. Karena tidak bisa fokus belajar di Bimbel – yang les di sana teman-teman saya semua dan pastinya kami malah bercanda – saya hanya membeli buku persiapan SNMPTN saja. Belajar di rumah. Itupun tidak begitu fokus. Ya gimana mau serius? Kan ceritanya baru tamat SMA, baru mendapatkan kebebasan pergi sana-sini. Jadilah sebelum SNMPTN, saya lebih banyak nongkrong ketimbang belajar.

Salah satu hal yang paling membingungkan saat SNMPTN adalah ketika memilih “jurusan”. Akan ada banyak sekali godaan, bisikan, bahkan paksaan yang menghampiri para calon mahasiswa. Pendapat orang tua, teman, dan diri sendiri seringkali berbeda-beda dan cenderung tidak dapat “disatu-suarakan”.

Orang Tua

Pertimbangan orang tua dalam memilih jurusan bagi anaknya biasanya terkait erat dengan masa depan atau dunia kerja. Orang tua akan berpikir dengan cermat dan bijak, “Kira-kira jika anakku kuliah di sini, dia bisa dapat kerja gak ya?” Maka tak heran, para orang tua senang sekali jika anaknya bisa melanjutkan pendidikan di tempat yang memiliki ikatan dinas seperti IPDN, Kepolisian, Telkom, atau di jurusan yang selalu dibutuhkan masyarakat seperti Pendidikan Dokter.


Sebagian orang tua lebih menyukai jika anaknya mengikuti jejak karier mereka. Orang tua yang berprofesi sebagai dokter, ingin anak mereka juga menjadi dokter. Orang tua yang berprofesi sebagai dosen Teknik, agak kurang rela jika anaknya mendaftar di Fakultas Ekonomi. (peace!).

Dua hal tersebutlah yang biasanya menjadi pertimbangan bagi orang tua. Walau tak sedikit juga yang memberikan kebebasan bagi anak mereka untuk memilih sesuai dengan hati nurani.

Teman

Selain juga dipengaruhi oleh orang tua, teman-teman kita tentu punya pendapat sendiri terkait pemilihan jurusan. Mereka bisa memilih dikarenakan minat atau bakat,rasa penasaran, bahkan gengsi. Bagi kita, sebenarnya itu tidak menjadi masalah. Namun adakalanya kita cenderung tertarik dengan jurusan yang dipilih oleh teman. Memang selalu menyenangkan bisa berkuliah bersama dengan teman-teman SMA, apalagi jika mereka tergolong teman akrab. Tapi yang perlu digaris-bawahi adalah: apakah jurusan yang diusulkan teman kepada kita benar-benar sesuai dengan minat dan bakat kita sendiri?

I Myself

Tahun 2008, saya galau dalam memilih jurusan. Saya pun mengikuti seleksi di IAIN Ar-Raniry dan juga Unsyiah. Siapa tahu ada yang gak lewat! Kan salah satunya bisa jadi cadangan!

Orang tua saya termasuk moderat. Mereka mempersilahkan saya memilih jurusan sendiri walau kejadiannya tidak mutlak demikian. Alhasil, di IAIN Ar-Raniry saya memilih Pendidikan Bahasa Inggris (PBI/TEN). Kenapa? Kakak sepupu saya yang bisik. Di Unsyiah saya memilih jurusan Ekonomi Manajemen (EKM). Kenapa? Saya penasaran aja. Soalnya ayah saya mengajar di sana. Dan saat pengumuman, tanpa disangka saya lulus dua-duanya. Selama tiga semester saya kuliah di dua tempat. Entah karena tidak benar-benar suka, saya memilih drop-out dari EKM dan melanjutkan di TEN. Walau sekarang, kalau dipikir-pikir, nyesal juga! Hahaha!


Akhirnya, saran saya, ada baiknya kalian mempertimbangkan pendapat orang tua dan sekaligus juga buka telinga lebar-lebar terhadap suara hati kalian sendiri. Orang tua, bagaimanapun memiliki pandangan yang jauh ke depan dan pastinya lebih bijak. Sementara anak SMA biasanya masih suka labil. (peace!). Walau seringnya mahasiswa akan tertekan jika kuliah di jurusan yang tidak ia sukai, tapi ada juga lho yang pertamanya gak suka dengan suatu jurusan, terus waktu udah masuk kuliah baru deh tergila-gila. Jatuh cinta kan gak mesti selalu di pandangan pertama? Hahaha.

Sekarang tanyakan kepada diri sendiri: aku hebat di bidang apa, aku sukanya masalah apa, aku keren gak? (bercanda!). Dengan menjawab pertanyaan itu (kecuali pertanyaan terakhir), sedikit-banyak kalian bisa mendapatkan gambaran tentang jurusan yang bisa kalian pilih. Kalau kata orang posisi menentukan prestasi, jurusan juga bisa menentukan masa depan :)

Semoga bermanfaat ya. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca.

Moga kalian lulus di jurusan idaman!

Salam Broken

Alumnus SMA 4 Banda Aceh
Lulus SNMPTN di EKM Unsyiah
Diwisuda di TEN IAIN Ar-Raniry

sumber gambar:
dok pribadi,

Monday, March 11, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 5 comments

Balada Kau



Kau tidak pernah pergi ke kantor. Kau di rumah saja. Ya, memang itulah kantormu.

Kau duduk. Menulis. Berjam-jam. Hingga kepalamu pusing. Ya, memang itulah pekerjaanmu.

Mereka bertanya, “Apa yang kau hasilkan? Apakah kau dibayar?”
Belum. Tulisanmu belum layak terbit. Kau mesti bersabar dan terus menulis.

Suatu hari, teman-temanmu lewat di depan rumah. Mereka memakai kemeja, dasi, dan celana kain. Oh, rapi sekali. Kau bertanya ke mana mereka hendak pergi. Mereka baru diterima kerja. Di sebuah perusahaan besar. Gajinya banyak. Lihatlah, bulan depan salah satu dari temanmu bahkan sudah bisa mengambil kredit mobil. Kau pun menunduk. Berjalan ke kamar. Membuka laptop. Microsoft Word. Dan kembali mengetik. Hei! Kau hebat!!

Di hari lain, salah seorang warga datang. Ia kembali bertanya apa kau sibuk. Kau mengangguk. Ia tak percaya. Kau memang hanya di rumah saja. Lalu dia memaksamu pergi. Menemaninya belanja ikan di pasar. di tengah jalan ia kembali bertanya, “Kau pengangguran ya?” kau menggeleng. Kau bilang dirimu penulis. Ia tertawa. Penulis itu bukan pekerjaan katanya. Kau diam saja. Ya, ia hanya belum mengerti.

Hari terus berganti. Jari-jarimu tak pernah berhenti. Rambutmu semakin panjang. Pikiranmu semakin bercabang. Halaman-halaman penuh. Kau tak lagi mengaduh. Kau telah terbiasa. Kau semakin perkasa. Tak peduli manusia berkata apa. Kau terus menulis. Kau tak pernah berhenti. Kau hebat sekali!

Sunday, March 10, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Instan



Jika ingin makan mie, sebagian besar dari kita tidak merasa ingin untuk repot-repot membeli tepung terigu dan telur untuk diadon menjadi mie, dan meracik merica, lada, cabai, garam, serta berbagai rempah lain untuk dijadikan bumbu. Cukup beli mie instan atau jika ingin yang lebih elegan, bisa pergi makan ke penjual-penjual mie terkenal yang terpencar di berbagai sudut kota.

Begitu juga jika ingin melahap makanan dengan saos. Jarang ada yang mau repot-repot memblender cabai dan tomat, lalu menumisnya dengan mentega. Cukup beli saos botolan yang tersedia dalam berbagai varian. Selesai.

Memang, manusia suka dengan yang instan.

Kebiasaan

Sialnya, sebagian dari kita menjadi terbiasa dengan hal yang instan. Tidak hanya makanan, hampir dalam seluruh aspek kehidupan manusia cenderung berharap dapat memperolehnya dengan cara mudah.

Ingin kaya raya. Gaji hanya bisa untuk hidup sederhana. Biar cepat terlaksana, ya korupsi.
Ingin kuliah di luar negeri. Tak bisa bahasa Inggris. Untuk tes TOEFL, ya sewa joki.

Instan.

Resep Kuno

Saya memiliki seorang teman yang skor TOEFL-nya hampir mencapai angka 600. Saat ditanya tipsnya, dia menjawab “belajar dan latihan”. Hanya itu.

Seorang teman lain, dalam usia mudanya (belum mencapai 25 tahun), sudah mampu membangun usaha dengan ratusan karyawan. Saat ditanya tipsnya, dia menjawab “berusaha dan berusaha”. Hanya itu. 

Belajar, berusaha, atau segala sesuatu yang termasuk dalam kata “proses”, adalah racikan resep yang umurnya sudah sangat tua. Bahkan saking kunonya, sebagian generasi sekarang justru tidak mempercayainya lagi. Mereka cenderung menyukai resep yang instan walau dengan risiko efek samping yang parah.

Kita harus menyadari bahwa kesuksesan adalah akumulasi dari tindakan positif yang dilakukan terus-menerus. Ia tidak mudah dan bahkan memakan waktu yang tidak singkat. Sekarang pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar berkomitmen untuk itu?

Friday, March 8, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 6 comments

Kamarku



Aku adalah kamar yang terkunci
Tak perlu kau ketuk
Aku akan keluar sendiri.


Sunday, February 24, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Rianisme



Ria adalah suatu kondisi saat seorang manusia merasa kehebatan, prestasi, atau segala hal baik yang ia lakukan harus diperlihatkan kepada orang lain.

Untuk orang lain (yang melihat), ada dua dampak yang akan terjadi: ia bisa jadi iri atau sebaliknya malah termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Bagi sang pelaku keriaan, ia juga bisa jadi termotivasi untuk berbuat lebih banyak kebaikan atau malah menjadi lapar akan pujian.

Saya – entah sadar atau tidak – menjalankan paham rianisme belakangan ini. Ya, kita sebut saja demikian. Toh, setahu saya belum ada istilah itu. Tapi, bagaimana bisa?

Kalian tahu, bahwa saya suka menulis. Dulu, saya menulis pure untuk diri saya sendiri. Maksudnya, saya menulis tanpa ada tekanan. Saya menulis, ya karena saya ingin menulis. Saya begitu merasa bersalah jika ide datang ke dalam kepala lalu hanya dibiarkan saja di sana tanpa dipadatkan menjadi kata-kata. Mubazir. Ya, ide yang tidak dituliskan, lambat-laun akan hilang dari kepala. Sayang, bukan? Makanya saya menulis.

Saya menulis puisi, cerpen, opini, atau (yang paling sering) catatan harian. Kemudian saya mengetahui, bahwa ternyata tulisan bisa dikirim ke media massa untuk diterbitkan. Oh, bagus juga! Daripada tulisan hanya saya simpan sendiri, lebih baik jika orang lain bisa membacanya. Maka mulailah saya mengirim. Kiriman pertama tidak dimuat. Kiriman kedua mengalami nasib yang sama. Lalu entah hingga kiriman ke berapa tulisan saya masih belum diterbitkan. Sejak itu, saya mulai rajin membaca tips, bertanya saran kepada para senior, terus memoles tulisan. Hingga pada akhirnya tulisan pertama saya terbit di media! Alhamdulillah. Walau terkadang jengkel saat tulisan yang saya kirim di kemudian hari masih dijangkiti penolakan, tapi saat itu saya menikmati proses menulis. Saya masih menulis untuk diri saya sendiri. Tidak ada beban sama sekali.

Waktu berlalu cepat. Saya tiba di masa ketika tulisan saya begitu mudah menembus media. Kirim hari ini, besok terbit. Kirim lagi, terbit lagi. Terus begitu. Hingga kemudian landasan saya menulis menjadi tidak benar: saya menulis agar tulisan saya terbit. Saya haus pujian. Rianisme. Apakah ada bedanya? Ya, ketika memakai paham itu, saya menjadi sangat kecewa ketika tulisan saya tidak dimuat. Tidak ada kesenangan dalam menulis kecuali jika tulisan itu diterbitkan. Efeknya, kualitas tulisan saya menjadi hancur-hancuran. Yang ada di dalam kepala hanya “terbitkan dan terbitkan!”

Mudah

Belakangan rianisme begitu mudah dilakukan. Keberadaan media sosial seperti Facebook dan Twitter membuat kita memiliki kebiasaan untuk meng-update berbagai informasi.

Lagi makan bakso | Shalat dulu, ah! | Sedekah 5 ribu | Malam Jumat. Yasinan yuk! | Dingiinnn | Kamu gak pernah ngerti aku! |Lagi tahajud | Bosaaaannn |…… dan berbagai status lain yang intinya bahwa kita ingin orang lain tahu apa yang sedang kita lakukan atau pikirkan.

Seperti di awal tulisan, bagi orang lain, rianisme tidak melulu buruk. Mereka bisa saja termotivasi dan ikut melakukan hal yang sama. Tapi bagi kita, sang pelaku rianisme, hal ini juga tidak melulu baik: kita bisa menjadi haus pujian.

Saya tidak ingin menghakimi bahwa semua orang yang membeberkan informasi tentang kebaikan dirinya sedang ria. Apapun ceritanya, yang mengetahui apakah kita bermaksud ria hanya Allah dan diri kita sendiri. Tidak ada salahnya meng-update berbagai kebaikan atau prestasi, yang perlu kita luruskan adalah apa niat kita untuk melakukan itu.

Untuk melakukan sesuatu dengan baik, minimal diri kita sendiri harus mencintai hal itu. Dalam konteks melakukan suatu perbuatan, keikhlasan dan kebahagiaan diri sendiri harus menjadi hal yang utama. Bukan berarti kesenangan orang lain dinafikan. Jika kesenangan diri sendiri adalah hal yang utama, maka segala macam pujian yang muncul tidak akan menjadi tujuan. Kita melakukan sesuatu, ya karena kita senang melakukan itu. Dengan demikian, insya Allah kualitas karya yang kita hasilkan menjadi lebih keren. Gak ribet dipahami, kan? Mudah-mudahan tidak. Hahaha!

Akhirnya, terima kasih ya telah berkunjung. Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di tulisan berikutnya! Insya Allah.

by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

I Love Aceh: Ngutip Kopi

I Love Aceh
Ke mana sih biasanya kamu menghabiskan liburan? Pergi ke pantai? Atau cuci mata di pusat perbelanjaan? Itu sih biasa. Jika kamu berkunjung ke Aceh, kamu akan mendapatkan pengalaman yang berbeda!

Kali ini saya akan mengajak kamu jalan-jalan ke kawasan Bener Meriah. Sebelum dimekarkan, dulunya kabupaten ini bergabung dengan wilayah Aceh Tengah (ibukota Takengon). Bener Meriah sendiri bersuhu dingin. 

Di samping tersohor dengan budaya tari dan pacuan kuda, kabupaten ini terkenal dengan kopinya: kopi Gayo. Selain bisa menikmati kekayaan rasa dan aroma kopi arabika dan robusta, kamu juga bisa mengikuti kegiatan yang takkan terlupakan: ngutip kopi. Apa itu ngutip? Ikuti perjalanan saya.


Menuju Bener Meriah


Untuk bisa menuju Bener Meriah, kamu bisa naik pesawat menuju Banda Aceh. Dari sana, kamu tinggal menyewa bus atau minibus L-300 untuk menuju ke lokasi. Biayanya terjangkau. Kamu cukup merogoh kocek 85 ribu rupiah saja. Perjalanan akan memakan waktu sekitar 6 jam. Tapi tidak perlu kuatir. Sepanjang perjalanan, dijamin mata kamu akan dimanjakan dengan panorama alam Aceh yang luar biasa! Atau sebagai alternatif, kamu juga bisa langsung berangkat dengan bus dari Medan.

Setelah tiba di Bener Meriah, tubuhmu akan sedikit dikejutkan dengan suhu yang dingin! Malah jika tiba di waktu subuh, udara yang keluar dari mulut akan berbentuk asap! Cool!


Di Bener Meriah, kamu bisa menginap di Mess Pemda yang berada di Komplek Perkantoran Bener Meriah, 
Serule Kayu - Redelong. Atau jika kamu ingin sedikit tantangan, kamu bisa langsung pergi ke suatu kampung, menemui Pak Keuchiek (kepala desa), dan menyampaikan maksud kedatangan. “Pak, saya turis. Saya ingin mengenal budaya dan menikmati alam Gayo.” Insya Allah izin menumpang akan diberikan. Masyarakat di sana ramah-ramah, lho.

It’s Show Time!

September hingga Mei adalah bulan paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Bener Meriah. Pada bulan-bulan tersebut, deretan pohon kopi yang sebelumnya berbunga, kini mulai berbuah. Tidak tanggung-tanggung, sebuah kebun kopi yang produktif bisa menghasilkan buah kopi segar atau biasa disebut gelondongan seberat 1,5 ton dalam sekali panen. Dalam sebulan, kopi bisa dipanen sebanyak dua kali. 

Buah kopi yang siap petik adalah yang berwarna merah. Jika tidak segera dipetik, buah itu akan jatuh. Memang masih bisa diolah, tapi akan mengurangi kualitas. Alhasil, dibutuhkan banyak tenaga pemanen. Nah, prosesi pemanenan itulah yang disebut ngutip.

Kebun kopi berada di setiap kecamatan di Bener Meriah. Foto-foto yang ditampilkan kali ini, berlokasi di Kampung Bener Kelipah Utara, Kecamatan Bener Kelipah.


Kebanyakan kebun kopi, berada di perbukitan. Jalan menuju ke lokasi cukup terjal dan licin. Biasanya, setengah perjalanan bisa ditempuh dengan sepeda motor, sedangkan sisanya harus berjalan kaki. Minimal kamu perlu memakai sandal gunung agar tidak tergelincir.

Karena pekebun di sini tidak hanya menanam kopi di tempat yang datar, tapi di tanah yang miring dan bergelombang, kamu harus hati-hati. Namun tidak perlu khawatir, pohon kopi bertekstur keras dan kuat. Cabang-cabangnya menjulang panjang. Kamu bisa menggunakannya sebagai pegangan.

Sekarang kita mulai ngutip! Peralatan yang kamu butuhkan cukup sederhana: sebuah tas selempang dari goni plastik. Gunanya untuk menampung buah kopi yang kamu petik. Para pekebun akan sukarela meminjamkannya untukmu. Apalagi yang kamu lakukan sebenarnya sangat membantu meringankan beban kerja mereka.

Cara ngutip sangat mudah. Kamu cukup memetik buah yang berwarna merah dan memasukkannya ke dalam selempang. Beres!

Selain bisa menikmati pemandangan dan sensasi ngutip, kegiatan ini juga akan memberikan pemahaman baru bagi setiap orang yang melakukannya. Kita bisa mengerti bagimana perjuangan para pekebun kopi. Menanam kopi bukan perkara mudah, tanah pegunungan tidak selalu datar. Merawatnya juga tidak gampang, pekebun harus rajin membersihkan lahan dari semak sembari melakukan pemupukan. Setelah dipanen pun, buah kopi tidak bisa langsung dikonsumsi. Ia harus melewati proses pengupasan, penjemuran, penggongsengan, dan penumbukan/ penggilingan. Baru kemudian bisa kita nikmati di rumah atau kedai-kedai. Perjuangan para pekebun mungkin cocok dengan rasa kopi yang pahit bercampur manis.


Mm, bagaimana? Apakah kamu tertarik? Kami menanti kunjungannya :)
follow Twitter @iloveaceh untuk mendapatkan berbagai informasi menarik mengenai Aceh

*Pengalaman ngutip adalah satu dari sekian banyak cerita lain yang menghiasi kegiatan saya dan teman-teman di Kabupaten Bener Meriah. Kami adalah mahasiswa utusan IAIN Ar-Raniry yang bergabung dalam Kuliah Pengabdian Masyarakat ( disingkat KPM – di beberapa universitas disebut KKN). Selain terkesan dengan keramahan dan adat istiadat masyarakatnya, kegiatan ini juga memberikan kami pencerahan tentang betapa hebatnya potensi daerah Aceh.

Allah SWT telah menganugerahkan ini semua. Kita hanya tinggal memanfaatkannya.

foto: dokumen pribadi

Saturday, February 16, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 8 comments

Are You Okay?



“Are you okay?” adalah salah satu pertanyaan yang sering menghampiri saya setelah saya menggunduli kepala. Jelas saja, beberapa teman mengira saya sedang stres atau ditimpa kanker. Mm, tapi sangkaan yang pertama cukup dekat juga. Hahaha!

Selama saya sadar, saya secara sengaja menggunduli kepala sebanyak tiga kali: kelas II SD, semester  IV kuliah, dan sekarang.  Saat SD, seingat saya alasannya adalah karena cuaca yang panas. Sewaktu semester IV, alasannya karena galau! Saat itu, saya sedang sibuk-sibuknya kuliah dan ada banyak tekanan batin lain yang mengguncang. Lalu, bagaimana dengan sekarang?

Pertama, karena saat sedang menulis skripsi, saya berjanji dengan seorang teman untuk sama-sama menggunduli rambut ketika skripsi selesai (bro, ingat janji bro!). Kedua, karena saya ie cah (bahasa Aceh yang kira-kira berarti kesal atau marah) dengan seseorang yang menghubungi saya – dengan menutupi jati dirinya – tengah malam, dini hari, pagi-pagi, untuk bertanya kabar dan hebatnya menyampaikan rasa rindu kepada saya. Oh, siapapun dirimu, nak! Bertobatlah! Aku sudah botak! (nah lho??). Dan alhamdulillah, setelah saya botak, dia tidak pernah menghubungi saya lagi. Mungkin ia terkena ephemera. Alasan terakhir, saya sedang susah memikirkan apa langkah selanjutnya dalam kehidupan saya. Begitu banyak opsi. Saya pun galau dalam memilih. Dan saya pun membotaki kepala dengan harapan bisa berpikir lebih jernih. Hasilnya, saya malah tambah galau! Hahaha!

Rasanya Botak

Botak licin sepertinya bukanlah tren rambut 2013. Itu terbukti, saat saya ngopi sehari pasca botak. Di kedai kopi, yang botak hanya saya sendiri. Di masjid pun demikian, malah beberapa jemaah terpergok memperhatikan kepala saya lebih dari 5 detik! Hahaha! Bisa disimpulkan, rasio pria botak adalah 1000 : 1.

Seperti bagian tubuh yang jarang disentuh, kulit kepala yang gundul menjadi amat sensitif. Ketika mengguyur kepala saat mandi, saya langsung teringat dinginnya air di Tanah Gayo. Rambut-rambut kecil yang tumbuh setelah dicukur (rambut manusia tumbuh 0,3 mm setiap hari), juga begitu lucu. Bagaimana tidak, karena kasar, bila saya melintasi pintu, kepala saya nyangkut di kain gorden! Kepala juga tertahan saat memakai baju atau peci. Hahaha!

Selain itu, dengan kepala botak, entah kenapa saya jadi teringat dengan seorang figuran botak (saya lupa namanya) dalam film 30 Hari Mencari Cinta. Sialnya, dia begitu mesum di film itu! Dan saya pun mendadak merasa demikian! Hahaha!

Hikmah Botak

Apakah botak memiliki hikmah? Tentu saja. Setiap hal di dunia ini ada hikmahnya. (serius).

Dengan membotaki kepala, kita akan menjadi orang yang apa adanya. Tidak ada kesempatan untuk sombong. Dan jika berjalan selalu dalam keadaan menunduk. (serius).

Dengan membotaki kepala, kita menjadi ujian bagi orang-orang yang mencintai kita. Apakah dia hanya mencintai kita saat kita keren? Atau malah berpaling saat kita botak? (serius)

Ya, begitulah kira-kira. Intinya, menggunduli rambut asik juga! Bagian kalian yang belum pernah botak, saya rekomendasikan untuk mencobanya! Biaya pangkas saya tanggung, deh!

Okelah. Ini saja. Semoga bermanfaat ya. insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca. Pesan terakhir saya: botaklah sebelum botak itu dilarang. Salam.


sumber foto: koleksi pribadi

Monday, February 11, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 13 comments

A Break

Dear friends and readers. Saya jeda sejenak dalam menulis blog. Saya sedang meluangkan waktu untuk beristirahat, berpikir, dan menata ulang rencana untuk ke depan.

See you soon! Insya Allah :)

Saturday, February 9, 2013 by Muhammad Haekal
Leave a comment

Koper


Koper-koper  terbungkus rapi
Sebagian malah masih menyisakan bau baru dibeli
Tak akan ke mana bulan ini
Belum akan

Pagi bangun
Mandi
Sujud
Ngopi
Begitu terus hingga 30 hari

Koper-koper mulai berdebu
Berlaba-laba
Tersudut di pojok lemari
Entah kapan akan disentuh lagi

Keberanian hilang
Bahkan untuk melangkahkan kaki
Takut tak menentu
Manusia
Atau bahkan lebih buruk lagi

Koper-koper menggerutu
Kehilangan semangat
Hati tak menentu
Lambaian jari padam
Di tengah segala janji kehidupan

Kala berlari bukan jawaban
Kala berdiam bukanlah titik aman
Kala bergerak ditakutkan
Kala segalanya dijadikan kambing hitam

Aku
Yang sekarang
Bukan aku
Yang sebenarnya.

Tuesday, February 5, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 5 comments