Archive for January 2013

Skripsi, Sidang, dan Masa Depan


Bagaimana rasanya ketika skripsi belum selesai? Seperti memikul sebuah bukit ke mana pun kita pergi.

Menulis skripsi membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran. Proses mencari bahan tulisan seperti buku dan jurnal cukup membuat wajah cemberut. Belum lagi perkara sepele (sekaligus mengesalkan) yaitu masalah format skripsi: margin, spasi, font, cara pengambilan kutipan, dan lain sebagainya. Terkesan sederhana memang, tapi sedikit saja silap akan menghambat proses pengesahan (atau yang biasa disebut ACC).

Tidak hanya menguras fisik, skripsi juga menggerus mental. Terkadang ketika kita sudah mengetik sepenuh hati, memeriksa format tulisan dengan teramat hati-hati, namun ketika tiba di tangan dosen pembimbing ternyata masih terdapat kesalahan. Harus merevisi ulang. Walau dalam hati kesalahan itu diakui, tapi rasa kecewa muncul karena kadung menganggap bahwa skripsi sudah sempurna dan berharap pengesahan segera.

Di antara berbagai tantangan dalam penulisan skripsi (sila baca “Ada Apa dengan Skripsi?”), hal yang paling sulit adalah mengalahkan diri sendiri. Rasa malas seringkali datang tak terbendung. Terlebih saat masa skripsi, mata kuliah sudah habis. Praktis, tak ada lagi kesibukan akademik yang berarti. Tabiat buruk itu semakin menjadi dengan datangnya virus menunda-nunda pekerjaan. Khusus bagi para deadliner (hobi mengerjakan pekerjaan sesaat menjelang deadline), skripsi begitu ‘memanjakan’ mereka. Bagaimana tidak, rentang waktu penyelesaian skripsi sangat panjang: hingga semester 14. Alhasil, jadilah para deadliner lupa waktu, lalai, loncat sana-loncat sini, dan baru panik ketika menyadari bahwa teman-teman satu angkatan sudah wisuda semua.

Sidang

Bagaimana rasanya ketika skripsi sudah selesai? Seperti menurunkan bukit dari pundak dan terbang ke angkasa.

Setelah berbulan-bulan berkutat dengan lembaran A4 penuh coretan, akhirnya saya menyelesaikan sidang skripsi pada 21 Januari 2013. Alhamdulillah.

Skripsi pada dasarnya bukan hantu. Tidak ada dosen pembunuh kecuali kita yang membunuh diri sendiri. Tidak ada cerita bahan sulit jika kita rajin ke pustaka. Tidak ada kisah halaman skripsi stuck jika kita terus mengetik setiap hari. Ya, sesulit apapun proses skripsi, jika kita sudah berkomitmen, insya Allah akan selesai. Saya mengenal seorang abang letting yang baru melakukan penelitian seminggu sebelum penutupan sidang. Ketika semua orang berpikir dia akan gagal, ternyata kenyataan menjawab sebaliknya: dia berhasil!

Sidang pun berlangsung tanpa halangan yang berarti. Kita tinggal mempresentasikan apa yang telah kita tulis, menjawab satu-dua pertanyaan, selesai. Ya, hanya sesimpel itu.


Masa Depan

Bagaimana rasanya seminggu setelah sidang? Seperti berhasil menyingkirkan bukit dari pundak namun kemudian ditimpa gunung.

Menjelang Ujian Nasional (UN) saat SMA, sebagian dari kita berpikir, “Setelah UN aku bisa bebas!” Ternyata tidak. Kita masih harus berhadapan dengan SNMPTN, ujian masuk Perguruan Tinggi. Ketika kita bersuka-cita melihat pengumuman kelulusan SNMPN, beberapa dari kita bersorak, “Di kampus aku bisa bebas!” Ternyata tidak. Tantangannya malah lebih mengerikan. Dan selesai sidang skripsi, saat kita mendadak sadar bahwa tidak ada lagi yang harus dikerjakan, saat waktu luang mulai terasa membosankan, akhirnya kita menyadari bahwa semua belum selesai.

Kerja di mana? Bagaimana caranya membahagiakan orang tua? Kapan siap menikah? Itu hanya sebagian hal-hal besar yang sedang menanti jawaban. Saya selalu mengingat perkataan seorang sufi – yang saya lupa namanya, “Istirahat seorang muslim itu hanyalah di surga.” Kalau dipikir-pikir benar juga.

Akhirnya, masa depan menanti kita. Setiap tempat yang kita singgahi bukanlah akhir dari perjalanan, semua itu hanyalah gerbang untuk memudahkan kita melangkah di perjalanan berikutnya. Sekarang kita hanya perlu menanyai diri sendiri tentang apa yang akan kita lakukan selanjutnya, perjalanan apa yang nanti kita pilih untuk ditempuh, usia berapa kita berencana mengakhiri masa lajang, dan pertanyaan-pertanyaan lain tentang masa depan.

Semoga bermanfaat. Insya Allah. Sampai jumpa di tulisan berikutnya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca.




Terima Kasih


Dalam kesempatan kali ini, saya ingin berterima kasih kepada Allah SWT. Tanpa bantuan-Nya, saya tidak akan pernah menyelesaikan skripsi. Shalawat dan salam saya persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sang teladan.

Terima kasih kepada Ayah dan Mamak, yang memberikan dukungan penuh selama kuliah dan selalu bertanya kapan skripsi selesai sehingga menjadi motivasi tersendiri. Juga kepada Apong (adik), yang tak pernah rewel selama proses penulisan skripsi (hehe).

Terima kasih kepada Muntasir, Fahrul, Armya, Arief, Syahrial, dan kawan-kawan TEN ’08 lain yang telah meluangkan waktu untuk menemani, memberi motivasi, dan solusi tentang skripsi. Terima kasih juga telah menjadi teman yang baik dari tahun 2008 hingga sekarang.

Terima kasih kepada Bu Chamisah dan Bu Suryani yang telah meluangkan segenap waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing saya menyelesaikan skripsi.

Special Thank:

-Para penguji dan sekretaris sidang: Bu Chamisah, Bu Suryani, Bu Siti Khasinah, dan Kak Asma.

-Ibu dan bapak dosen yang telah mengizinkan kelasnya untuk diobservasi (baik secara terang-terangan, maupun sembunyi-sembunyi – kenapa hal ini dilakukan? Sila baca skripsi saya. Hehe).
Erry Zulakbar, T. Zulfikar, Yuni Setianingsih, Syamsul Bahri, M. Nasir, Fitria, Rahmi, Nur Akmaliyah, Ade Irma, Muna Muhammad, Ayunaneta, Syarwan, Ayyub AR, Maskur, Rissa Fitria, Evici Herianti, Khairil Razali, Siti Khasinah, Nur Aisyah, Adriansyah, Faishal Zakaria, Rahmat Yusni, Muhammad AR, Nashriyah, Risda Neva, Suraiya, dan Abdul Manan.

-Para responden penelitian:
(TEN '08) Juzamalia (TEN '09) Okvita Maufiza, Rizqi Putra Utama, Achyar, Evi Melisa, Desy Intan Fathiah, Rajabil Fahmi, Khairul Azmy, Reza Maulana, Muhammad Sufri, Sarah Fitri, Suci Rahmi Amjusfa, M. Ihsan, Muhammad Rizal, Ridhayatullah, Inas Astila, M. Qafrawi, Rizka Aulia, Indah Manda Humaira, dan Nidar Velayati (TEN '10) Rahil Helmi, Mutia Elviani, Balhaqi, Hendri Gayo,  Fauza Aulia Rahmi, R. Syauqi, Mukhsin, Julia Farlia, Maulida Ainul Yaqin, Nur Aini,  Intan Wulandari, Khalida, Khairul Ihsan, Novi Yanti, Ahmadi, Badral Rifqi, Walid Amri, Ulya Zuhairati, Tathahira, Rayhan Izzati Basith, Revalyani, Nurul Hudayani, dan Nurul Husna (TEN '11) Nurul Ulfah, Cut Sari Maylisa, Cut Rezcia Zahira, Pocut Shaliha Finzia, Nursarirati Fahrizqa, Farisqa Rahmayani, Nuril Islami, Aidatul Husna, Desi, Mutiana, Al Munawwarah, Amalia, Siska F. Yahya, Khairunnisak, Rini Keumala Sari, Khaira Ummah, Aries Saputra, Fakhrurradhi, Dara Fitria Munzaki, Maulida Dara Utami, Rita Zahara, Nurul Hikmah, Nanda Mursyida dan Khairul Fuad (TEN '12) Cut Santi Novita, Novi Yulinda Sari, Nyak Sukardi, Atikah Gyan Pradipta, Yulia Sari, Suci Pramadini, Widya Astuti, Rinaldi, Raihan, dan Zulfia.

-Para observer penelitian:
Fadhlurrahman, Suci Rahmi Amjusfa, Yulianda, Ella Yuzar, Tathahira, Cut Putri Ayasofia, Fitri Suci Mentari, Dewi Rahmayanti, Mutia Elviani, Dian Melisa, Aidatul Husna, Nadia Rahmadhana, Intan Selian AR, Farisqa Rahmayani, Fitri Anizar, dan Lia Lisyati.

-‘Dosen Pembimbing Bayangan’:
Nailul Asfar, dan Achie Febrianto.

-Pengolah Data SPSS:
Hearry Fernanda Hussein.

-Fotografer:
Rayhan Izzati Basith.

-The Transporter Sidang:
T. Alaidinsyah
       ..dan semua pihak yang telah membantu.

Maaf jika ada kesalahan penulisan nama atau angkatan. Semoga Allah SWT memberikan kalian kenikmatan dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Amiiin.



sumber foto: R.I.B
ilustrasi: vi.sualize.us

Saturday, January 26, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 14 comments

Tentang Jodoh dan Perpisahan



Agustus 2012, Idul Fitri datang. Saat itu kami sekeluarga berlebaran di Kuta Blang, Bireuen. Kampung ayah. Telah menjadi kebiasaan keluarga pula, pada hari kedua atau ketiga lebaran, kami bergerak ke Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Kampung mamak. Kami berlebaran beberapa hari di sana.

Sudah tiga tahun belakangan saya pulang kampung dengan mengendarai sepeda motor. Awalnya coba-coba, tapi lama-lama keasyikan. Memang aneh jika dilihat orang: keluarga saya naik mobil, tetapi saya naik motor sendirian. Tapi begitulah yang terjadi. Orang tua saya tidak mempermasalahkannya. Yang penting kami bisa berlebaran bersama-sama.

Jika kalian pernah berkendara jauh dengan sepeda motor, 30 menit pertama mungkin kalian masih memberikan perhatian dengan keadaan sekeliling: suara kenderaan lain, indahnya pemandangan, detail-detail ini dan itu. Memasuki dua jam, badan mulai pegal. Jika kalian berkendara sendirian, kantuk mulai menerjang. Tak ada teman bicara. Saat itu, kalian takkan mendengar apapun selain suara mesin. Takkan merasakan apapun selain angin yang menyusup melalui helm dan lengan jaket. Ketika itu pikiran kalian mulai menerawang. Berpikir ini dan itu: impian, mimpi, permasalahan, atau segala hal tentang kehidupan. Bisa jadi setelah sampai di tempat tujuan, segala hal yang terpikirkan itu menemui jawaban – atau mungkin malah melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru.

Agustus 2012. Saya baru saja berpisah dengan seseorang. Dalam perjalanan empat jam Banda Aceh – Kuta Blang, empat jam Kuta Blang – Kuala Simpang, dan delapan jam Kuala Simpang – Banda Aceh, saya menghabiskan waktu untuk berpikir. Dan mungkin sekarang saya sudah mendapatkan jawabannya.

Perpisahan

Tidak pernah terlintas di benak saya untuk berpisah dengan perempuan itu. Ia telah saya kenal sejak kelas XII SMA. Lebih-kurang empat tahun.

Surat itu tiba di bulan Juli. Sebuah surat yang terdiri atas 13 paragraf. Perpisahan. Itulah inti dari surat itu. Mendadak pikiran saya kosong.

Kebetulan ketika surat itu dikirim, sore itu saya sedang berada di rumah seorang teman. Saya pun memutuskan untuk pulang. Beberapa ratus meter meninggalkan rumah, saya tersadar bahwa novel saya tertinggal. Saya pun kembali. Alangkah terkejutnya saya ketika mengetuk pintu, ternyata yang membuka adalah orang lain! Saya salah rumah! Kalian perlu tahu, bahwa sudah sekitar lima tahun saya berkunjung ke rumah itu. Saya tidak mungkin bisa salah. Tapi sore itu, saya keliru. Ternyata efek patah hati mengerikan juga.


Malamnya saya tidak bisa tidur. Setiap memejamkan mata, bayangannya muncul. Saya menghidupkan lampu. Mengambil satu-dua buku dan membaca. Berharap bisa melelahkan mata. Entah di halaman ke berapa saya tertidur walau tak lama kemudian kembali terbangun. Saya bermimpi tentang dia. Kepala mulai sakit. Saya mengambil buku note di dalam tas. Menulis kalimat-kalimat yang saya sendiri tak pahami. Saya kembali berusaha memejamkan mata. Sekarang sudah lebih sulit karena rongga mata mulai basah. Saya duduk di tempat tidur. Terus begitu hingga tanpa sadar pagi tiba.

Esoknya saya pergi ke rumah seorang teman dekat. Bercerita, meminta pendapat. Saya pergi lagi ke rumah seorang teman dekat lain. Bercerita, meminta pendapat. Bisa jadi saya yang salah, bisa jadi dia juga keliru. Begitu pendapat mereka. Setelah itu, esok-esoknya, saya memilih di rumah saja. Tidak bernafsu pergi ke mana pun.

Bagaimana rasanya perasaan ini? Seperti seseorang datang, lalu mendekap hidung dan mulutmu hingga tak bisa bernafas. Menuangkan minyak lampu ke dalam hatimu lalu membakarnya. Membelah otakmu lalu menguras habis seluruh impian dan mimpi. Sesak, panas, kosong. “Hancur anak muda.” Mengutip kalimat seorang teman.

Mungkin Saya yang Salah

Saya marah karena sepertinya dia melupakan semua yang pernah kami jalani. Tapi mungkin saya yang salah. Terlalu percaya diri dengan ribuan hari yang telah kami lalui. Tanpa pernah sekalipun menunjukkan kedewasaan dalam hubungan, misalnya dengan bertemu dengan orang tua si perempuan. Menyatakan keseriusan.

Saya kecewa karena sepertinya dia tidak memberikan saya waktu lebih banyak. Tapi mungkin saya yang salah. Terlalu banyak membaca novel cinta. Terlalu yakin bahwa seorang perempuan bisa menunggu selamanya. Melupakan sebuah fakta bahwa pada umur 20-an, seorang perempuan sudah digempur oleh banyak lamaran. Mereka harus menjaga kesuciannya dengan menikah.


Jodoh

Sekarang saya memahami jodoh sebagai orang yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk mendampingi kita. Dia bisa siapa saja. Dia tidak mesti seseorang yang telah bersama kita selama bertahun-tahun. Mungkin dia adalah orang yang baru kita temui kemarin sore. Bisa jadi dia adalah orang yang sudah lama kita kenal – yang dulu hanya kita anggap sebagai teman. Setiap orang berkemungkinan menjadi jodoh bagi siapa pun. Manusia tidak pernah benar-benar tahu.

Juli 2012 mengajarkan saya bahwa sebagai lelaki, saya harus menunjukkan keseriusan dalam hubungan. Memang pada saat itu saya belum siap secara mental, finansial, atau apapun. Tapi bukankah saya bisa menemui orang tua si perempuan untuk menyatakan keseriusan? Paling tidak saya meminta tenggang waktu. Misal 2 – 3 tahun lagi. Minimal tercapai semacam deal. Calon mertua akan lebih yakin, si perempuan akan lebih lega.

Patah hati itu sakit, jenderal! Pesan saya, bagi kalian yang sekarang sedang sedang bersama seseorang, jika memang serius dalam hubungan, datangilah orang tuanya untuk menyatakan hal itu. Paling tidak, mereka tahu jika kalian tidak main-main.

Bagi kalian yang sekarang masih sendirian, inilah waktu yang tepat untuk mempersiapkan diri secara religius, mental, dan finansial. Dan ketika suatu hari nanti kalian menemukan perempuan itu, jangan tunda sedikit pun untuk melamarnya!

Akhirnya, semoga tulisan kali ini bermanfaat. Insya Allah. Sebagai catatan, tulisan ini tidak saya tulis untuk membangkitkan segala memori bulan Juli dan merekatkan puing-puing cinta yang masih ada. Oh, saya tidak sebusuk itu! Saya hanya berharap pengalaman saya ini bisa menjadi pelajaran bagi para pembaca (terutama para lelaki).

Sampai jumpa di tulisan berikutnya, insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca. Mohon maaf minggu lalu saya tidak update tulisan. Skripsi, oh skripsi! (#alasan)

sumber gambar: vi.sualize.us

Wednesday, January 9, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 22 comments