Archive for April 2014

Kipas Angin


Saya pernah bersujud syukur di halaman sekolah setelah melihat pengumuman Ujian Nasional. Saya pernah pula bersujud syukur di lantai kamar ketika mengetahui cerpen saya terbit di koran. Namun baru kali ini saya bersujud ketika membeli kipas angin.

Kosan saya berada di perkampungan padat penduduk. Rumah-rumah saling berhimpitan. Bahkan jika sedang berada di dalam kamar, sinyal hp saya bisa hilang–saking berdesaknya bangunan. Tak heran, orang-orang di rumah saya gemar tidur agak telat. Bukan karena menonton televisi, tapi mereka menunggu agar suasana lebih dingin.

Panas sebenarnya bukan persoalan utama. Saya sering menyiasatinya dengan mandi sebelum tidur. Hal ini cukup ampuh pada malam-malam perdana. Namun kemudian, entah dari mana, nyamuk-nyamuk mulai bergerilya pada malam-malam selanjutnya. Alhasil saya sering terbangun tengah malam dengan badan bercucuran keringat, kulit bentol, dan emosi yang tinggi. Akhirnya, pagi pun menjadi suram karena malam tidak berlangsung aman. Hal itu berlangsung hampir dua minggu.

Saya yakin sebagian besar nyamuk hinggap dan mengisap darah dari kepala saya. Bagaimana tidak, setelah sekian hari, kemarin saya baru kepikiran untuk membeli kipas angin. Solusi yang sebenarnya sangat sederhana sekali. Panas hilang. Nyamuk melayang.

Maka selama sekitar lima belas menit saya berjalan dari toko elektronik ke kosan, saya senyam-senyum sendiri. Tanpa sadar, saya menggendong si kipas angin baru. Persis seperti bayi. Padahal, sang penjual sudah mengikat tali di kotaknya agar bisa saya jinjing–ia tahu saya jalan kaki.

Oh. Solusi memang seringkali ada di depan mata. Manusia saja yang luput melihatnya.

Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berkunjung :)

sumber foto: dok. pribadi

Saturday, April 12, 2014 by Muhammad Haekal
Categories: 9 comments

Lingkaran Keseimbangan


Dilatari Bukan Pilihan-nya Iwan Fals, Kopaja yang saya tumpangi terus melaju. Bangku penumpang yang tadinya penuh mulai ditinggalkan satu-satu. Bahkan kenek perempuan yang sedari tadi sibuk mengabarkan nama halte selanjutnya, juga melompat turun di salah satu lampu merah. Pukul 21.30 WIB. Separuh bagian dari Jakarta memang sedang pulang.

Saya tiba di Jakarta akhir Maret. Di atas kertas, ini semua adalah tentang pekerjaan. Namun di atas segalanya, sesungguhnya saya hanya ingin merantau. Bagaimana rasanya hidup di atas kaki sendiri? Saya ingin menjawab pertanyaan itu.

Apa yang kurang dari Aceh? Tidak ada. Semua begitu sempurna. Di sana ada keluarga, teman, pekerjaan, semuanya. Segalanya begitu seimbang. Makan tiga kali sehari. Baju ada yang mencuci. Tak perlu khawatir kehabisan uang–apalagi kepikiran untuk berhutang. Saya berada di dalam lingkaran keseimbangan.

Penumpang dan Pengemudi

Sesungguhnya ketika kita merantau, kita sedang keluar dari sebuah lingkaran keseimbangan dan membuat lingkaran keseimbangan kita sendiri. Kita menjadi pengemudi, bukan penumpang lagi.

Saya meniatkan perantauan ini sebagai pembelajaran. Bagaimana mengurus diri sendiri–mulai dari bangun hingga tidur lagi. Bagaimana mengatur makan, pakaian, keuangan, dan keimanan. Saya cemburu dengan teman-teman yang sudah memulai ‘ritual’ ini jauh-jauh hari. Sementara saya baru bisa memulainya di umur dua puluh tiga tahun.

Kali ini saya belajar mengemudikan kenderaan saya sendiri. Saya berharap, suatu hari nanti saya mampu mengemudikan kenderaan yang lebih besar lagi – tentunya setelah mengajak seseorang untuk menemani. Nah lho?

Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berkunjung :)

sumber foto: Dok. Pribadi

Thursday, April 10, 2014 by Muhammad Haekal
Categories: 16 comments