Pemerintah, Pengajaran, dan Rakyat

foto: inilah.com
Oleh: Haji Agus Salim*

Dalam Volksraad telah berlaku permusyawaratan tentang pengajaran.

Pembicaraan, atau perbincangan semacam ini dinamakan “debat”, yang lebih tegas maknanya “perbantahan” atau “mujadalah”. Dan memang juga sebenarnya itu sifatnya. Bukan permusyawaratan orang yang sama kehendak, sama tujuan, sama keperluan, melainkan nyatalah perbantahan berebut kemenangan antara orang-orang yang berlainan, bahkan bertentangan haluan.

Hal semacam itu tidak mengapa, apabila membicarakan cara melakukan pemerintahan dan kekuasaan. Di situ ada pihak kekuasaan, yang menguatkan haluannya berhubung dengan kepentingannya sendiri, dan yang diharapkan oleh pihak yang berbantah itu akan memeliharakan keamanan badan dan harta mereka, dan memeliharakan tertib aturan di dalam negeri.

Cara menetapkan dan menguatkan kekuasaan itu tidak memakai sesuatu asas lain daripada kekuasaan dan kekuatan belaka. Memerintah dan memaksa tidak mencari kebenaran, melainkan hanya mencari menang. Dan menang itu biasa berpindah-pindah tempat, sebagaimana telah dibuktikan oleh riwayat.

Tapi berbantahan itu berubah sifat, apabila yang menjadi pokoknya bukan perkara kekuatan dan kekuasaan yang ada. Apabila ada perkara mengenai kepentingan rakyat yang lebih dalam mengenai rakyat daripada hukum kekuasaan dan hukum kekuatan.

Hal yang semacam ini terdapat dalam perkara pengajaran, yang baru-baru ini menjadi pokok perbantahan dalam Volksraad (semacam Dewan Perwakilan, ed.) itu. Kesudahan perbantahan itu akan menetapkan ukuran begrooting (anggaran belanja, ed.) untuk pengajaran dalam tahun 1932. Maka keputusan itu dalam hal dan keadaan sekarang ini akan berpengaruh penting sekali atas sifat, watak, dan jalannya pengajaran rakyat dan bangsa Indonesia.

Kita katakan dalam hal dan keadaan sekarang ini, sebab tidak mestinya satu pemerintah berpengaruh begitu besar atas pengajaran rakyat. Istimewa tidak mestinya dalam tanah jajahan di bawah pemerintah bangsa asing yang rakyat bangsa tanah jajahan itu tentu perlu dan ingin hendak mengubah kedudukannya buat ke depan.

Sebelum kita melanjutkan pemandangan itu, marilah kita bentangkan dengan amat ringkas bagaimana perbantahan dalam Volksraad atas perkara itu, yang kita dapati dalam berita ringkas dalam pers.

Tuan Feuilleteau de Bruijn menerangkan, bahwa kemajuan pengajaran tidak akan dapat ditahan. Maka perlulah dialirkan pada jalan yang baik, dan pemerintah harus mengatur jalan pengajaran itu.

Oleh karena derajat kecerdasan budi bertambah tinggi, terganggu kedudukan yang tenteram dalam kalangan rakyat, karena terlalu banyak orang keluaran sekolah, yang tidak dapat pekerjaan berpadanan dengan cita-cita atau keperluannya berhubung dengan pelajarannya.

Barisan kaum terpelajar (intellectueel) yang terlalu banyak itu membahayai perjalanan kemajuan pergaulan. Pekerjaan tangan dipandang rendah. Pelajaran desa tidak boleh dicukupkan tiga tahun saja, melainkan harus dijadikan empat tahun.

Tuan De Dreu memperingatkan, bahwa jumlah orang yang tidak tahu huruf yang 95 persen itu menjadi satu dakwaan besar atas urusan pengajaran di sini. Diperingatkannya bahwa 200 sekolah yang diminta untuk tahun 1932 tidak akan diberi oleh Gubernemen. Hasilnya nanti sekolah itu mesti jadi juga. Hanyalah dengan aturan yang kurang sempurna dan dengan tidak mendapatkan pengawasan.

Tuan Soeroso menyatakan, bahwa politik pengkristenan dilakukan dengan memberi subsidi kepada sekolah zending  dan missie yang beberapa banyak itu, sehingga dengan jalan itu rakyat Islam Indonesia disuruh turut membayar pengajaran yang memurtadkan bangsa Islam daripada agamanya. Sebab itu ia majukan sekali lagi mosi Tuan Soetadi tahun yang lalu meminta Gubernemen membanyakkan pengajaran sekolah-sekolah Gubernemen sendiri.

Tuan Soangkoepon, menganjurkan supaya dalam segala sekolah dipakailah bahasa Melayu menjadi bahasa pengajaran, dan supaya dalam kantor-kantor dan dalam Volksraad pun digerakkan bahasa Melayu.

Tuan Van Mook menyatakan perlu sekali pemerintah menentukan pembatasan antara jumlah sekolah gubernemen dan partikulir, yang dengan belanja negeri.

Tuan Mochtar tidak dapat menerima apabila HIS dikurangkan. Kami anak negeri mementingkan kultur yang didapat dengan pengajaran itu, katanya.

Tuan Ratulangi mempertahankan pengajaran tinggi, sebab dengan dengan pengajaran itu dapat diangkat ke atas kecerdasan dan kemajuan satu bangsa.

Tuan Rasjid memperingatkan perbedaan kecerdasan dalam berbagai-bagai bangsa anak negeri Indonesia ini. Tentang agama disangkalnya sikap sebagian orang Kristen yang menyamakan orang Islam dengan bangsa chalaik yang tidak tahu akan Tuhan.

Tuan Wiwoho memuji usaha gubernemen dan pihak pertikulir dalam hal pengajaran dan menyatakan tidak boleh belanja pengajaran dihematkan. Jumlah orang yang tidak tahu huruf membuktikan pengajaran memang sudah terlalu kurang. Rakyat sendiri berusaha keras untuk pengajaran, yang tidak mendapat subsidi. Ia meminta subsidi terutama untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah. Aturan harus diperbaiki, dijadikan lebih lapang. Muhammadiyah sangat kesusahan menghidupkan Normaal School (Sekolah Guru) dan internaat yang amat perlu untuk mencukupkan guru-guru.

Liburan besar haruslah disamakan dengan liburan puasa.

Sekianlah dengan amat ringkas sekali suara-suara anggota Volksraad tentang pengajaran.

Sungguh benar jika kita katakan, bahwa di situ orang memperbincangkan rakyat di negeri rakyat itu dengan tidak menanyai rakyat itu. Sungguh benar bahwa dalam perbicaraan itu rakyat diperbuat sebagai kayu mati, yang dirundingkan bagaimana cara harus dikerat, dipotong, dibelah, diketam, dibentuk…untuk keperluan siapa?
Yang satu mengatakan, pengajaran sebelah atas sudah terlalu banyak. Barisan kaum terpelajar membahayai keamanan pergaulan sebab tidak mendapat pekerjaan yang seukuran dengan dia.

Yang lain menyahut, perlu pengajaran sebelah atas, sebab itulah yang mengangkat derajat bangsa.

Yang satu mengatakan, batasi jumlah sekolah-sekolah partikulir, (yang biasanya beragama); lapangkan medan sekolah gubernemen (yang tidak beragama) suapaya jangan orang Islam Indonesia yang mempelajari pelajaran yang memurtadkan bangsanya.

Yang lain meminta lapangkan (longgarkan, ed.) peraturan subsidi, supaya Muhammadiyah boleh mendapat subsidi.

Yang satu meminta banyakkan pengajaran yang dapat dengan bahasa Melayu.

Yang lain memprotes, jika HIS hendak kurang dimajukan, sebab anak negeri mementingkan kultur yang dapat di situ.

Kalau benar “yang satu”, teranglah “yang lain” ngawur. Kalau benar “yang lain” teranglah “yang satu” ngelindur.

Tetapi sekali lagi kita tanyakan, di manakah rakyat dalam rundingan itu?

Si tani bodoh, tak dapat bersekolah.
Si pintar yang bersekolah tak pandai tani.
Si tukang yang bodoh tak dapat bersekolah.
Si pintar yang bersekolah tak pandai bertukang.
Si pedagang pasar yang bodoh, tak dapat bersekolah.
Si pintar yang bersekolah tak pandai berdagang pasar.

Dalam pada itu kawan-kawan dalam Volksraad merundingkan pengajaran cara Barat, yang tak boleh dikurangkan.

Pengajaran tinggi yang tak boleh susut.

Sekolah subsidi yang perlu ditambah.

Dan diterangkan, bahwa dalam negeri Islam ini satu perserikatan besar seperti MD payah (orang) hidupnya satu Normaal School dengan internaat! Maka dimintakan kelapangan peraturan subsidi, yang tentu kelak menambah lapang pula jalan zending dan missie memurtadkan bangsa Islam.

Berebut bahasa Belanda dan kultur Barat.

Berebut uang kas negeri.

Jika rakyat Indonesia tidak menggulung lengan baju mengurus sendiri pengajarannya pada jalan keperluannya sendiri, niscayalah untungnya akan berkekalan menjadi bangsa hamba orang.

Dan jika terus-menerus orang Islam tidak hendak belajar dan mengusahakan pengajarannya sendiri dan menolong kuatkan peraturan subsidi, niscayalah pengajaran Kristen yang sudah menang langkah, akan mesti bertambah-tambah menjalar. Terutama karena pengajaran netral cara Barat tak lain pula dari pengajaran Kristen dengan tidak bergereja. Sebagaimana telah terbukti pada anak Indonesia yang netral agama, yang umumnya mengharamkan (yang diharamkan, ed.) Kristen dan menghalalkan yang dihalalkan Kristen.***

Harian Mustika, 24 Juli 1931

foto: https://heroans.wordpress.com/
*Agus Salim lahir di Koto Gadang, Minangkabau, pada tanggal 8 Oktober 1884. Terlahir dengan nama Masyudul Haq yang berarti pembela kebenaran, dalam usia muda Agus Salim telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing, yaitu bahasa Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman. Pada tahun 1906-1911, ia bekerja sebagai penerjemah di Konsulat Belanda di Jeddah. Saat itulah ia berkesempatan memperdalam ilmu agama Islam pada Sjech Ahmad Chatib, imam Masjidil Haram yang adalah pamannya sendiri, serta mempelajari seluk beluk diplomasi dalam hubungan internasional. Pahlawan Pergerakan Nasional dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ini pernah menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri (Kabinet Syahrir I dan II) dan Menteri Luar Negeri (Kabinet Hatta). Lelaki yang dijuluki The Grand Old Man ini meninggal dunia pada tanggal 4 November 1954 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Sumber: Haji Agus Salim, Buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996 (Disalin dari Horison Esai Indonesia, 2003)

Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berkunjung :)

Saturday, November 29, 2014 by Muhammad Haekal
Categories: , , Leave a comment

Leave a Reply