Man Monis


Jujur, saya masih awam mengenai Islam. Bahasa Arab saya buruk, pemahaman saya belum mendalam, dan aplikasi saya biasa-biasa saja.

Namun ketika melihat penyanderaan di Martin Place, Sydney (15/12), hati saya sangat terganggu. Aksi itu keji. Yang semakin memperparah semuanya, Man Monis, sang pelaku, membawa-bawa bendera berlafazkan syahadat. Seakan-akan di kafe itu, dia mewakili umat Islam di seluruh dunia. Jika Anda dan saya adalah Muslim, kita berhak protes. Kenapa dia menggunakan bendera itu? Saya pribadi tak pernah merasa terwakili dengan tindakan itu, dan tak pernah ingin.

Warga Australia yang berasal dari Iran itu mengklaim dirinya sebagai "pemimpin spritual", namun ia memiliki catatan kriminal yang hitam. Tahun lalu, dia didakwa membunuh mantan istrinya. Satu dekade lalu, dia juga menghadapi tuduhan kekerasan seksual sebanyak lima puluh kasus, sebut Sydney Morning Herald (SMH).

Dikutip dari BBC News, Keysar Trad, pendiri Islamic Friendship Association of Australia, mengatakan bahwa Man Monis adalah ulama yang "individual". Di komunitas Islam sendiri, dia ditolak oleh kalangan Sunni dan Syiah di Sydney Muslim Community.

Dari sumber yang sama, Manny Conditsis, mantan pengacara Man Monis, menyebut kliennya itu berada dalam kondisi psikologis yang tidak stabil. Dia juga berada menjadi 'buta' sejak usahanya melobi pemerintah Australia agar tidak mengirim tentara ke medan perang.

Pada tahun 2013, Monis dihukum lantaran mengirim surat berbau penghinaan terhadap keluarga dari tentara Australia yang tewas saat berperang di Afghanistan (tahun 2007 dan 2008) serta bom di JW Marriot Hotel, Jakarta (2007). Dia dihukum melaksanakan pengabdian masyarakat selama 300 jam dan kewajiban tidak melanggar hukum selama dua tahun.

Dalam sebuah video terkait aksinya sebelumnya, dia memang mengatakan bahwa semuanya dilakukan semata-mata untuk kedamaian dunia, khususnya Australia. "Kami mau kedamaian, bukan perang!" teriaknya.

Anne Davies, jurnalis SMH yang pernah mewawancarai Monis, mengatakan bahwa lelaki itu sempat berujar bahwa ceramah atau pidato yang dia sampaikan (terkait dengan isu-isu yang dia perjuangkan) tidak akan cukup—oleh karena itu, barangkali harus ada 'tindakan lain'.

Lelah

Semua orang sedang lelah dengan kekerasan. Khusus bagi kalangan Muslim, deretan aksi terorisme yang selama ini mengatasnamakan Islam semakin menambah daftar panjang penderitaan.

Saya yang awam memandang begini: seorang Muslim sebaiknya menempatkan diri dengan baik sesuai dengan kondisi yang terjadi. Jika negara sedang perang dan kita dituntut untuk membela agama dan bangsa, maka berperanglah. Jika kondisi sedang damai, namun ada sesuatu hal yang tidak kita setujui, gunakanlah alat-alat yang sesuai dengan garis batas kedamaian itu: diskusi, tulisan, ceramah, debat, atau cara-cara lain yang tidak menggunakan senjata.

Ini hanya dugaan saya: Monis melakukan semua itu karena dia ingin membuat publik Australia (atau Barat) merasakan langsung bagaimana pahitnya perang (katakanlah) di Afghanistan.

Lalu jika benar demikian, apa yang terjadi? Apakah pesan itu benar-benar sampai? Sekarang yang terdengar hanya terorisme dan terorisme. Jika sudah begitu, siapa yang rugi?

Masyarakat saat ini sudah lebih cerdas dan bijak. Sekarang, selembar foto saja bisa mengetuk hati jutaan manusia untuk bergerak di satu jalan bernama kemanusiaan. Intinya, ada cara-cara lain yang bisa kita lakukan untuk menyampaikan pesan, dan itu bukanlah kekerasan.

Syukurlah pula, warga Australia sana tidak memandang tindakan Monis sebagai tindakan yang merepresentasikan Islam. Pascapenyanderaan, ada ketakutan besar bagi kalangan Muslim di Australia terhadap bangkitnya lagi islamophobia—barangkali kita masih mengingat apa yang dialami oleh Muslim Amerika pascatragedi 9/11. Dilansir oleh BBC News, seorang warga Australia, Rachael Jacobs, pascakejadian melihat seorang perempuan yang ia asumsikan sebagai Muslimah, secara diam-diam melepas hijabnya di dalam kereta. Saat mereka telah tiba di stasiun, Rachael menghampiri perempuan itu, dan berkata: "Pakai lagi hijabmu. Aku akan menemanimu berjalan." Mendengar itu, perempuan itu pun menangis dan memeluk Rachael.

Kisah tersebut menjadi viral dan menginspirasi Tessa Kum, seorang pengguna Twitter, untuk melanjutkan dukungan kepada warga Muslim Australia dengan tagar #illridewithyou. Aksinya sederhana: jika Anda adalah seorang Muslim dan merasa tidak aman berjalan sendirian, Anda boleh minta ditemani oleh seseorang. Ribuan warga tercatat ikut ambil bagian. Twitter resmi milik klub bola Sydney FC juga ikut serta. Mereka bahkan menegaskan agar para pengguna serius terhadap tweet-nya: "Please, if you're going to use #illridewithyou, include journeys and times, make it genuinely useful not just a trendy thing to tweet," cuit Sydney FC.

Kejadian di Lindt Chocolat Cafe memang berakhir tragis: dua sandera tewas. Namun dari peristiwa ini, tampak pula bahwa manusia sebenarnya masih memiliki akal sehat dan nurani. Kita masih dapat merasakan, mana yang tepat, mana yang tidak. Mana yang patut, mana yang melenceng. Mana yang teman, mana yang lawan.

Akhirnya, agama barangkali membuat kita hidup dengan perbedaan. Namun, walaupun ada yang menjadi air dan minyak, bukankah kita masih dapat hidup berdampingan dalam satu mangkuk mie bernama "kemanusiaan?"

Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu berkunjung.

Wednesday, December 17, 2014 by Muhammad Haekal
Categories: , 4 comments

Comments (4)

  1. oh, baru tau kalo asal mula taggar #Illridewithyou itu karena ini. hehe. Menarik bang ulasannya.

  2. @desy: wah. alhamdulillah :) thanks desi

    @dentrisaaa:sip!

  3. tulisannya selalu wajib utk di baca..

Leave a Reply