Milisi-milisi Kota Baghdad

Warga Sadr City menenteng senjata. Mereka adalah bagian dari milisi yang mempertahankan kota Baghdad. (14-07-2014). | Ayman Oghanna/ The New York Times/ Redux
Oleh Janine di Giovanni | Newsweek.com

Saya bertemu Sheikh Raad al-Khafaji di jalanan kecil Karrada, sebuah distrik di kota Baghdad. Dia adalah mantan tentara Irak dari divisi artileri yang sempat ikut dalam perang Iran-Irak. Dia juga merupakan pimpinan suku Al-Khafaji dan komandan milisi Kata'ib Hezbollah, salah satu milisi Syiah yang berperang melawan ISIS di garis depan Irak.

Setelah kota Mosul jatuh ke tangan ISIS musim panas ini, Ayatollah Ali al-Sistani memfatwakan kepada rakyat Irak untuk mempertahankan negaranya, rakyatnya, dan kehormatan dari tempat-tempat suci mereka. Mereka harus turut serta mempertahankan agama mereka dalam perang suci ini.

Sheikh Raad mengatakan, ketika fatwa tersebut keluar, para pria datang ke kantornya untuk mendaftarkan diri berperang. Di antara mereka bahkan ada yang berumur sekitar 60 tahun, mereka memohon agar diizinkan bertempur melawan ISIS dan para pemberontak pimpinan Sunni.

Menurut Penasihat Deputi Keamanan Nasional Irak, Safa Hussein al-Sheikh, milisi Kata'ib Hezbollah didirikan pada tahun 2003 ketika invasi Amerika Serikat. Mereka terkenal dengan struktur yang ramping, namun lebih terorganisasi daripada milisi Syiah yang lain—serta dianggap tertutup dan cerdik, bahkan oleh standar intelijen Irak sendiri.

"Dulu, mereka fokus menargetkan Amerika. Mereka melakukannya dengan piawai, mematikan, dan tak terdeteksi oleh intelijen Amerika maupun Irak," kata al-Sheikh.

Dari wilayah Ajana, Pasukan Keamanan Irak dan milisi Syiah bergerak menuju Amerli. (01-09-2014) | Reuters
Ketika saya berkunjung, Sheikh Raad yang telah berumur 58 tahun sedang duduk dengan letih di kantornya. Ia mengenakan seragam perang dan cincin permata merah dan pirus. Di sebelahnya, istri keempatnya duduk. Yang mengejutkan, rambut gelapnya yang modis tidak ditutupi jilbab. Perempuan itu mengenakan celana panjang ketat dan sepatu hak tinggi. Dia ingin merekam percakapan suaminya melalui telepon genggamnya.

Sheikh tidak merasakan ironi dan fakta bahwa penyokong utama keuangannya sekarang adalah Iran, seteru mematikan negaranya di masa lampau. "(Dalam perang Iran-Irak) Saddam berperang melawan bangsa Syiah yang berada di kedua negara itu," katanya. "Jadi itu kesalahan Saddam, bukan kesalahan Iran."

Dia melanjutkan bahwa Kata'ib Hezbollah memiliki sekitar 4.000 prajurit (sumber intelijen Irak menyebut angka 1000 orang) yang tidak hanya berpengalaman berperang di Amerli dan Samarra, tetapi juga dalam pertarungan bersama Hezbollah di Suriah.

Dia kembali ke Suriah untuk menjaga situs-situs suci Syiah, antara lain Sayyidah Zaynab, sebuah situs yang terletak di pinggiran kota dengan nama yang sama, sebelah selatan Damaskus.

Sheikh berkata, sebagian prajuritnya digaji sekitar $700 per hari oleh Iran untuk bertarung di Suriah, namun di Irak, mereka dibayar lebih murah. Iran juga mempersenjatai pasukannya dengan AK-47, senjata mesin 12.7 mm (yang sering dipasang di belakang truk), PKC, lighter, dan senjata mesin 7.62 mm yang banyak digunakan di negara bekas Uni Soviet dan Timur Tengah.

"Di sini, kami bertarung untuk keadilan—untuk agama kami—bukan untuk uang," Sheikh Raad menekankan. "Dan jangan lupa, Hezbollah Iran dan Hezbollah Irak memiliki perbedaan besar. Secara filosofis, kami memiliki musuh yang sama—Daish (sebutan Pemerintah Irak untuk ISIS,. penj) dan Israel—namun kami di sini berperang untuk keadilan.

Salah satu prajuritnya, Wissam (34 tahun), masuk ke dalam kantor, dan menunjukkan beberapa foto bahan peledak yang dia dapatkan di Amerli, sebuah kota sebelah selatan Irak, tempat berlangsungnya perang dahsyat dan diperkirakan akan menjadi titik balik dalam pertempuran melawan ISIS.

Wissam dulunya adalah penjual sayur dari Sadr City. Ia telah bertempur selama Juli dan Agustus di Amerli, sibuk bergerilya di dalam perkampungan itu.

Dia tidak pernah mempertanyakan keputusannya bertempur di Amerli dan meninggalkan pekerjaan serta kehidupannya di Baghdad. "Setelah mendengar fatwa (dari Sistani), saya bersama beberapa teman langsung mengemudi ke utara Irak," katanya. "Tidak ada istilah pangkat dalam kesatuan kami, semua orang diberikan senjata dan disuruh bertempur—oleh karena itu, kami semua setara. Untungnya, lanjut Wissam, dia pernah mengikuti latihan militer yang diselenggarakan oleh Pasukan Keamanan Irak (ISF), jadi dia ditempatkan pada bagian logistik dan persenjataan. Prajurit lain tidak begitu memiliki banyak pengalaman,” katanya.

"Saya beragama secara moderat, tidak ekstrim, tapi ketika saya mendengar fatwa, saya langsung pergi bertempur bahkan tanpa digaji. Ini bukan tentang uang. Ini tentang membela negara Anda," tegasnya.


Lelaki-lelaki Irak berbaris dalam pemeriksaan fisik di pusat perekrutan tentara di Baghdad. Mereka secara sukarela mendaftar untuk bertempur melawan pemberontak. (09-07-2014) | Karim Kadim/ AP
Untuk memahami kemunculan milisi Syiah di Irak hari ini, dan turun tangannya Iran dalam masalah tersebut, Anda harus kembali kepada sebuah rezim yang penuh dengan aroma kematian.

Dalam waktu singkat pasca jatuhnya Saddam Hussein—seorang Sunni yang secara sistematis menindas mayoritas Syiah selama beberapa dekade dengan menghancurkan partai politik dan pergerakan mereka, pekerja kemanusiaan dan investigator Amerika Serikat mulai menggali kuburan-kuburan tempat ribuan masyarakat Syiah dan etnis Kurdi ditanam.

Tidak jelas berapa banyak Syiah yang tewas ketika Saddam masih berkuasa, namun angkanya diperkirakan antara 400.000-700.000 orang. Sebuah kuburan di dekat Baghdad saja tercatat memuat 15.000 jenazah. Di tempat lain dekat kota Samawah, 72 jenazah ditemukan, kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak.

Di Baghdad sendiri, diperkirakan 60.000 Syiah hilang dan berakhir di kuburan. Beberapa tahun setelah Saddam meninggal dunia, para keluarga korban berdiri di kuburan-kuburan yang digali, berharap menemukan sesuatu yang dapat mengarahkan mereka untuk menemukan anggota keluarga yang dicari.

"Saya hanya berharap bisa merasakannya, menyentuhnya, dan melihatnya lagi," isak ibu dari Hilu Issa, yang hilang pada tahun 1980 di usia yang ke-25. (Saya berbicara padanya pada bulan Mei 2003, ketika Amerika Serikat memimpin invasi).

Potret anaknya itu membeku dalam waktu. "Saya hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi terhadapnya," katanya.

Tentara Saddam biasanya datang pada malam hari dan meringkus buruannya tanpa peringatan sama sekali. Ibu Issa itu tak pernah melihat anaknya lagi.

Pada hari ketika Saddam terguling dari kekuasaannya, kota ricuh. Saat itulah dimungkinkan untuk menyatukan kepingan teka-teki yang berserakan. Di kawasan al-Haakimiya, berdiri sebuah penjara terkenal pada masa Saddam yaitu penjara Mukhabarat (polisi khusus). Saya dan seorang teman berkebangsaan Irak menemukan alat-alat penyiksaan di sana: rantai pengikat, kain penutup mata, dan beberapa alat penyiksaan lain dengan bercak darah beku, sel seukuran bathub tempat lelaki putus asa mencorat-coret pesan terakhirnya kepada keluarga yang tidak akan pernah ditemuinya lagi.

"Untuk anakku tersayang," tulis sebuah tulisan di sana, mungkin ditulis dengan jemarinya karena dinding itu penuh darah, "Jangan pernah menyerah."

Setelah peperangan di Irak dan invasi Amerika Serikat usai, percaturan politik berbalik. Sekarang Syiah berada dalam tampuk kepemimpinan dan Sunni yang diburu.

Ketika Haider al-Abadi, seorang Syiah moderat, ditunjuk sebagai perdana menteri Agustus lalu, dia berjanji pemerintahannya akan bersifat inklusif dan menghancurkan roda dendam antara Syiah dan Sunni di Irak.

Namun, sangat sulit menemukan keluarga Syiah yang sama sekali tak disentuh oleh kebrutalan Saddam, dan bagaimanapun mereka masih memiliki rasa dendam atau setidaknya keinginan untuk memperoleh keadilan.

Januari lalu, perdana menteri ketika itu Nouri al-Maliki, seorang disiden Syiah ketika rezim Saddam, menginstruksikan pengeboman di Anbar, sebuah provinsi dengan populasi Sunni yang besar. Tujuannya adalah untuk mengusir ISIS.

Namun aktivis kemanusiaan menyebutkan bahwa bom tidak hanya jatuh di kawasan pemberontak, melainkan juga mengenai pemukiman penduduk dan rumah sakit. Mereka menganggap pengeboman di Anbar hanyalah perpanjangan dari konflik sekretarian yang belum kunjung usai. Ketika bom-bom mulai berjatuhan, nyata sekali bahwa tujuan ISF di sana bukan sekadar untuk memukul mundur ISIS.

Hal tersebut membuka ruang bagi para milisi Syiah.

"Yang terjadi selanjutnya adalah beberapa kelompok kecil Syiah mengajukan diri untuk bergabung dalam pertempuran," kata al-Sheikh di kantornya di Baghdad. "Itulah operasi pertama mereka. Ketika itu, hanya beberapa ratus milisi Syiah yang bertempur hingga Mosul jatuh. Namun sekarang, tujuan mereka sudah lain."

Ketika Mosul jatuh pada 10 Juni 2014, gelombang teror menyelubungi Baghdad. Rumor dan kebenaran bertebaran di pasar-pasar dan jalan-jalan: Prajurit ISIS hanya 12 mil lagi jaraknya dari kota; ISIS membunuh orang Syiah dan memperkosa perempuan mereka; ISIS datang untuk menghancurkan Syiah hingga ke akar-akarnya.

Lalu datang apa yang disebut oleh seorang kepala kamar mayat di Baghdad sebagai "paku besar" ketika menyebut jumlah orang Sunni yang hilang atau dibunuh di kota tersebut: sebuah tindakan pembalasan yang nyata atas pembunuhan yang dilakukan oleh ISIS. Di suatu pagi di bulan Juni, dia menunjukkan kepadaku dan para jurnalis lain foto-foto aksi para milisi Syiah: orang Sunni disiksa, dipukul, tewas, dan jenazah mereka yang sudah membengkak dan ungu dilemparkan ke lapangan.

"Ini sudah dimulai lagi," katanya. Ia meramalkan perang sipil pada tahun 2006 akan terulang kembali.

Dia juga mengatakan bahwa milisi Syiah telah kembali berkuasa sekarang—mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Pasukan Keamanan Irak (ISF)—namun saat ini mereka beraksi sebagai pelindung bangsanya, dengan kepercayaan yang besar dari pemerintah.

"Mereka menyebut diri sebagai jihadis, bukan milisi," kata al-Sheikh. "Mereka belajar dari pertempuran terdahulu melawan penjajah Amerika." (Para milisi Syiah juga percaya bahwa mereka memiliki andil besar dalam kematian banyak tentara Amerika ketika invasi saat itu.)

Hal tersebut membawa sebuah elemen lain ke Irak—meningkatnya pengaruh dan kepercayaan terhadap Iran, sebuah negara berpenduduk mayoritas Syiah. Sejak Revolusi Iran pada tahun 1979, pemerintah-pemerintah negara Arab maupun luar Arab mencemaskan bangkitnya fundamentalisme Syiah. Namun yang terjadi hari ini di Baghdad, orang-orang Syiah justru bangkit menyerbu ISIS di Mosul. Dan jelas sekali, di sana mereka memiliki agenda keagamaan di samping agenda militer.

Menurut sumber di Pemerintah Irak dan beberapa analis asing, dana operasional para milisi berasal dari Teheran, begitu juga dengan persenjataan dan pelatih militer. Kenangan pahit dalam perang Iraq-Iran tahun 1980-1988 yang menewaskan hampir satu juta orang, sepertinya mulai terlupakan.

Kebangkitan dari para milisi Syiah ini tak terlepas dari fatwa Ayatollah Ali al-Sistani.

Berbondong-bondongnya para lelaki Syiah dari berbagai jenjang usia—beberapa dari mereka berumur 60 tahunan dan juga ikut di perang Iran-Irak—untuk bergabung dalam pertempuran sangat mengejutkan. Mereka memenuhi tiga atau empat pusat perekrutan milisi di Baghdad untuk menjalani pemeriksaan, dan sekitar setengah dari mereka langsung diberangkatkan ke wilayah sekitar Baghdad. Para milisi itu kemudian ditempatkan di sepanjang titik-titik—yang telah ditinggalkan oleh para tentara ISF—untuk melawan ISIS.

Setelah lima bulan, bersamaan dengan operasi militer yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk meluluh-lantakkan ISIS, milisi Syiah telah menjadi tulang punggung dalam operasi militer Irak.

Selain karena terjun menghadang invasi Amerika Serikat terdahulu, pengalaman tempur para milisi juga semakin meningkat karena perang Suriah sekarang ini. Banyak dari mereka yang dikirim ke sana untuk melindungi situs-situs suci Syiah dari ancaman pasukan Sunni.

Sebagian warga Irak menekankan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dari kehadiran Iran di Irak saat ini. Mereka juga mengakui, dalam beberapa hal, telah tumbuh rasa kesetiaan mereka terhadap negara tetangganya itu. "Siapa yang datang ke mari untuk menyelamatkan kami tiga hari setelah Mosul jatuh?" tanya Mowaffak al-Rubaie, seorang anggota parlemen dan mantan penasihat keamanan nasional (dia terkenal karena menuntun Saddam ke tiang gantungan dan meminta para penjaga agar melonggarkan borgolnya).

"Bukan Amerika Serikat. Mereka hanya mengirimkan serangan udara mematikan setelah warga negaranya (jurnalis James Foley, Steven Sotloff, dan Peter "Abdul Rahman" Kassig) dipenggal. Sementara respon Iran dalam melindungi Baghdad dan Erbil hanya satu hari setelahnya."

Iran mengirim 88 jet Sukhoi buatan Rusia dalam hitungan minggu. Mereka juga mengirim pelatih-pelatih militer terbaik mereka untuk melatih dan memberikan masukan—untuk para anggota Garda Republik Irak. Mereka juga mengirim pilot, persenjataan, dan seragam perang.

Selain itu, Iran juga menugaskan Qassem Soleimani, seorang ahli strategi perang dan pemimpin dari Brigade al-Quds. Banyak pemimpin militer lain yang menganggap lelaki ini sebagai komandan yang ulung dan penuh siasat.

Soleimani sebenarnya cukup menutup diri, namun ia mempersilakan jurnalis mengambil fotonya saat pertempuran di Amerli September lalu. Jelas, ia sedang mengirimkan pesan kepada Barat bahwa Iran benar-benar hadir di Irak.

"Dia biasanya berada di Baghdad atau bagian utara Irak," kata salah seorang politisi Syiah terkemuka di Irak yang meminta agar identitasnya dirahasiakan. "Tentu Pemerintah Irak tahu tentang ini. Soleimani adalah pria yang cerdas. Dia juga sangat mencintai peperangan. Dia tahu dia sangat ahli soal itu."

Dengan segala masa lalu pahit dan korban yang berjatuhan, mengapa sekarang Irak bisa mempercayai Iran? Al-Rubaie mengangkat bahu. "Musuh kami sekarang adalah ISIS. Kau juga pasti akan menggunakan cara apapun untuk menghadapinya. Cara apapun."

Banyak orang Irak yang memandang keberadan para milisi penting adanya. Sajad Jiyad, seorang analis dari the Iraqi Institute for Economic Reform yang berbasis di London, menjelaskan: "Para milisi itu memiliki kekuatan yang hebat—namun setelah bulan Juni kekuatan mereka justru bertambah karena saat itu ada kevakuman (peperangan,. penj).

"Mereka memiliki sumber daya dan petarung yang baik," kata Jiyad. "Kebanyakan dari masyarakat Syiah yang menderita akibat serangan bom mobil dan bom bunuh diri senang dengan perlindungan yang diciptakan milisi."

Lalu bagaimana dengan fakta bahwa mereka disokong oleh Teheran? "Amerika Serikat harus melakukan rekonsiliasi dengan Iran," ujar al-Rubaie. "Dengan atau tanpa kata sepakat mengenai nuklir, rekonsiliasi antara Amerika Serikat dan Iran akan memberikan kontribusi besar terhadap stabilitas di wilayah ini."

Para milisi Syiah sedang berpatroli di kota Amerli. (03-09-2014) | Reuters
Salah satu kelompok milisi terbesar bernama Asaib Ahl al-Haq. Pemimpin dari kelompok ini sedang dipenjara atas tuduhan terorisme ketika Irak diduduki oleh Amerika Serikat. Asaib adalah kelompok milisi yang paling dibenci oleh masyarakat Sunni. Mereka dianggap sebagai kelompok yang mengancam keamanan karena banyak melakukan tindakan kriminal. Memang hal tersebut kadangkala terjadi, tapi tidak sering.

"Ketika sesuatu yang buruk terjadi di Baghdad, Asaib selalu disalahkan," kata al-Rubaie. Membuat para milisi terkesan sebagai anak sekolah nakal ketimbang pembunuh ulung.

Mereka juga ditenggarai bertanggung jawab dalam kasus-kasus penculikan pengusaha lokal, jumlahnya bahkan mencapai beberapa lusin setiap hari (salah seorang politisi Irak menyebutkan lebih dari 50 orang diculik).

"Masyarakat Sunni membenci para milisi karena mereka menargetkan orang Sunni tanpa berpikiran panjang, mereka langsung melakukan penangkapan dan intimidasi," kata Sajad. "Pemerintah pun sedang berada dalam posisi lemah untuk menekan para milisi, karena pada saat yang sama mereka sedang mengandalkan milisi untuk memukul mundur ISIS di beberapa wilayah."

Kelompok milisi besar lain bernama Brigade Badr, dibentuk pada tahun 1980-an ketika perang Iran-Irak berkecamuk. Dan satu kelompok lain yang tergolong besar adalah Kata'ib Hezbollah. Selain itu, ada pula kelompok-kelompok yang berasal dari pecahan ketiga kelompok besar itu. Mereka bermunculan di beberapa kawasan pemukiman Syiah di Baghdad.

Sebagai respon, Pemerintah Irak telah  mencoba mengambil alih kontrol. Walau sekarang para milisi Syiah merupakan bagian dari aparat militer mereka, namun pemerintah juga khawatir ada kebrutalan yang bisa lepas di sana.

Dengan bergulirnya fatwa dari Sistani yang melahirkan arus pejuang ke garis depan, pemerintah membentuk sebuah komite untuk mengendalikan para milisi. Komite tersebut berada di bawah payung bernama Hashd al-Sha'bi Forces (Pasukan Pengendalian Massa).

Di sisi lain, mengajak para milisi untuk bekerja sama (dengan pemerintah Irak,. penj), walau dengan kesamaan tujuan yakni menghancurkan ISIS, adalah sebuah hal yang menakutkan. Bahkan pejabat pemerintah seperti al-Rubaie mengakui, "Mereka belum bisa berbaur bersama."

Satu hal yang jelas adalah para milisi telah mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pasukan ISF, yang digambarkan sebagai kesatuan yang korup, nepotis, dan berdisiplin rendah di bawah pemerintahan al-Malaki.

Oleh karena itu, bukanlah sebuah hal yang mengejutkan—bahkan bagi pemerintah—ketika sebagian dari pasukan ISF merobek baju mereka dan lari ketika ISIS menginvasi Mosul.

"Moral mereka benar-benar jatuh," kata seorang pejabat militer Amerika Serikat yang bekerja secara ekstensif dengan ISF.

Pada Januari 2012, ketika tentara Amerika ditarik dari Irak, al-Rubaie meramalkan terjadinya bencana karena lemahnya infrastruktur militer di sana. Dia pun duduk, dan menulis catatan kepada al-Malaki.

"Keadaan pasukan keamanan sedang sekarat," tulisnya. "Mereka akan langsung tumbang jika ada pemberontakan."

Al-Rubaie mengirimkannya, namun al-Malaki tak membalasnya.

"Saya benci mengatakan bahwa dulu saya sudah memperingatkan," kata al-Rubaie hari ini. "Namun demikian, saya kembali mengirimkan catatan tersebut pada 16 Juni 2014, setelah Mosul jatuh."

Sebagai tanggapannya, pemerintah yang baru memecat 26 pejabat keamanan tingkat tinggi untuk meningkatkan kualitas. Namun seorang diplomat Barat komplain, "Ini pada dasarnya bukan sebuah awal. Pejabat-pejabat yang dipecat itu memang sudah waktunya pensiun. Ya memang sudah jatah mereka."

Oleh karena itu, yang sekarang diandalkan untuk bertempur melawan ISIS adalah para milisi Syiah yang disokong oleh Iran. Mereka pun berhasil memenangkan pertempuran sengit di wilayah Baiji, Amerli, dan Diyala. Sekarang mereka fokus untuk merebut kembali Tikrit, kampung halaman Saddam Hussein. Para milisi pun mulai bergerak meninggalkan Baghdad.

Beserta para milisi tersebut, pengaruh kuat Iran dari segi politik dan keagamaan ikut terbawa. Pertanyaannya adalah, apa yang akan terjadi pada Iran jika nantinya ISIS berhasil dihancurkan? (Yang diperhitungkan oleh al-Rubaie akan berlangsung selama tiga sampai lima tahun secara militer, tapi tujuh hingga sepuluh tahun secara ideologi).

Akankah Iran bersedia, setelah semua investasi yang mereka berikan, mengepak semua barang mereka dan pulang ke negaranya?

Mungkin tidak, kata al-Rubaie, namun lanjutnya itu akan menjadi waktu yang tepat bagi Barat untuk mengurangkan rasa "alerginya" terhadap Iran.

Bukan hal yang sulit untuk menemukan para milisi—mereka tersebar di seluruh Baghdad. Pejabat pemerintah mengatakan bahwa mereka sering terlihat memakai seragam ISF, tapi sebenarnya banyak yang tidak—mereka lebih memilih mengenakan seragam hitam klasik dan bendera Syiah di luar markas besar mereka.

Kebanyakan dari pemukiman Syiah memiliki kantor perekrutan lokal di mana para milisi dibariskan, sebelum dikirim ke markas utama untuk memulai pelatihan. Sering ketika senja tiba, mereka masih terlihat di jalan-jalan, berpatroli seperti prajurit tak resmi.

"Di Baghdad bagian timur, mereka memiliki beberapa markas besar di mana para penduduk lokal menyewa para milisi untuk menjaga keamanan daerah mereka. Para warga yang berasal dari kawasan Syiah biasanya lebih memilih milisi ketimbang polisi atau ISF," kata Sajad Jiyad. "Mereka kelihatannya lebih kompeten."

Ulama Syiah, Muqtada al-Sadr (kanan) sedang menghadiri pemakaman para prajurit Brigade As-Salam yang tewas akibat bom bunuh diri di Najaf, wilayah selatan Baghdad. (03-09-2014) | Alaa Al-Marjani/ Reuters
Bahkan ada sebagian kalangan Sunni yang mempercayakan keamanan mereka pada milisi Syiah.

Hikmat Sulayman, seorang Sunni dan anggota dewan dari Provinsi Anbar, mengatakan bahwa  para milisi Syiah telah memperoleh reputasi positif sejak awal November ketika Gazi Faisal, seorang pemimpin suku Sunni, datang menemui Muqtada al-Sadr, pemimpin pergerakan Sadrist yang mengomandoi Tentara Mahdi dan Saraya al-Salam, untuk meminta pertolongan.

Itu adalah sebuah tindakan yang berani dan mengesankan.

"Lebih dari 70 persen warga Anbar—Sunni—ingin melawan Daish (ISIS) dan takut jatuh ke tangan mereka," kata Sulayman. "Muqtada al-Sadr menyampaikan kepada Faisal bahwa ia akan menyediakan senjata dan dukungan untuk kami."

Di sebuah kawasan lain di Baghdad, dekat al-Jadriya, saya bertemu Sheikh Aws al-Khafaji, di kartu namanya tertulis bahwa ia adalah seorang Penasihat Rekonsiliasi Nasional di kantor perdana menteri Irak.

Dia juga merupakan komandan dari Brigade Abul Fadhl Abbas, dekat dengan milisi Asaib dan dia sebelumnya merupakan ulama di Sadrist yang memiliki kedekatan dengan al-Sadr.

Di pintu masuk kantor Sheikh Aws dipampang sebuah poster bertuliskan "PERTAHANKAN AGAMAMU" dalam bahasa Arab dan Inggris. Di samping poster itu, ada sebuah poster lain yang menampilkan jenazah dua milisi muda yang terbunuh dalam serangan bom mobil ISIS di selatan Bagdad. Sang Sheikh mengatakan padaku bahwa kedua milisi itu adalah teman, seorang adalah Sunni, dan yang seorang lagi Syiah. "Namun mereka sama-sama bertarung melawan ISIS," ujarnya.

Ketika saya tiba, Sheikh Aws sedang mengenakan jubah hitam tradisional Syiah dengan serban putih, namun kemudian dia cepat-cepat menggantinya dengan seragam perang klasik yang juga berwarna hitam. Di mejanya, ketimbang tempat pensil, ia menaruh serantai amunisi antitank di sebuah holder.

Sheikh Aws juga bertempur di Suriah—dia kembali ke Irak minggu ini untuk "mendiskusikan strategi".

"Saya punya koneksi yang kuat di sana," katanya.

Di medan peperangan, dia mengklaim, prajuritnya tergolong amat kompeten.

"Daish memang kuat," akunya. "Namun kami juga dalam posisi ingin menunjukkan keperkasaan prajurit kami. Hari ketika Mosul jatuh, tentara Irak berteriak: 'Kami tak bisa melindungi Baghdad! Kami tak bisa!', dan Sistani pun mengeluarkan fatwa. Saya adalah orang yang religius. Saya menganggap fatwa itu serius. Itu adalah sebuah titah, dan kami pun menyambutnya."

Lalu bagaimana semua ini akan berakhir? Ketakutan muncul akan kemungkinan hadirnya skenario perang sipil seperti di Libanon, dengan campur aduknya milisi dari berbagai sekte untuk membuat kekacauan. Atau tentang Syiah sekarang yang sedang berada di tampuk kekuasaan dan didukung penuh oleh Iran, akankah mereka berlaku adil kepada Sunni nanti ketika ISIS akhirnya hancur.

Bagi para diplomat Barat, semua bergantung dari bagaimana Syiah melihat masa depan.

"Apakah mereka bermimpi Irak nantinya akan  menjadi negara Syiah—di mana mereka menjalankan kekuasaannya di wilayah kecil itu?" tanya seorang diplomat.

Namun Jiyad bersikap lebih pragmatis.

"Sayangnya banyak publisitas berlebihan dan propaganda yang membuat para milisi terkesan lebih buruk dari ISIS, padahal nyatanya tidak," katanya. "ISIS bangga mempertontonkan kekejaman mereka. Sementara para milisi hanya mencoba mempertegas kembali kontrol Syiah terhadap Irak dan merespon ancaman ISIS untuk menghapus habis Syiah. Mereka percaya bahwa (tujuan mereka tadi lebih penting,. penj) daripada membunuh atau mengusir setiap Sunni dari Irak."

Sulayman, anggota dewan dari Provinsi Anbar, menyimpulkan jika kedamaian bisa dicapai di Suriah—utusan khusus PBB ke Suriah, Staffan de Mistura, baru-baru ini telah meluncurkan rencana baru untuk mencari warga lokal Suriah yang "membeku" dalam perang—maka akan ada harapan yang sama untuk Irak.

"Jika komunitas internasional memberikan tekanan yang cukup untuk Iran dan Arab Saudi agar mengakhiri perang di Suriah, maka akan ada harapan di sini," katanya. "Dan untuk ISIS, kehancuran bagi mereka akan datang ketika sumber pendanaan mereka diberangus."

Apapun peran mereka di masa depan nanti, untuk saat ini, para milisi takkan pergi ke mana-mana. Keberadaan mereka krusial untuk mengakhiri perlawanan ISIS. Salah seorang penasihat keamanan Barat di Baghdad berkata, para milisi Syiah itu "penting" untuk menyokong tentara Irak yang sedang merosot moralnya.

"Moral mereka lebih kuat, badan mereka lebih fit, dan mereka adalah petarung yang lebih baik," katanya. "Mereka telah menunjukkannya dengan merebut kembali beberapa wilayah kunci. Sekarang mereka menuju ke Tikrit dan kemungkinan mereka akan sampai di sana. Untuk saat ini, mereka adalah taruhan terbaik kita untuk menang melawan ISIS." Tapi, tambahnya, Teheran jelas memandang mereka sebagai tumpuannya di Irak.

"Faktanya adalah," ujar Safa Hussein al-Sheikh, seorang deputi penasihat keamanan nasional, "Mereka telah membuktikan diri lebih efektif daripada pasukan keamanan di banyak situasi. Mereka punya pengalaman bertempur melawan Amerika, dan dari perang di Suriah sekarang."

Dia berhenti sebentar, dan tidak terlihat senang ketika membuat kesimpulan. "Bertempur melawan Amerika benar-benar membuat mereka berpengalaman, benar-benar membuat mereka kuat."***

Diterjemahkan dari www.newsweek.com/2014/12/05/militias-baghdad-287142.html


Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berkunjung :)

Friday, December 12, 2014 by Muhammad Haekal
Categories: , Leave a comment

Leave a Reply