Tentang Ucapan “Selamat Natal”

foto: dawn.com
Natal sudah dekat. Ada perbedaan pendapat para ulama mengenai boleh-tidaknya mengucapkan selamat. Dari sekian banyak pendapat, saya menyalin sebuah telaah yang ditulis oleh M. Quraish Shihab. Mudahan-mudahan semakin memperkaya referensi dan pengetahuan kita akan khazanah Islam. Insya Allah.

Mengucapkan “Selamat Natal”

Oleh: M. Quraish Shihab*

Ada hadits—antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim—yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.”

Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam buku Subul as-Salam karya Muhammad bin Ismail al-Kahlani (jilid IV, halaman 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syafi’i tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga membolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini juga merupakan pendapat sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbas. Al-Qadhi ‘Iayadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh ‘Alqamah dan al-Auza’i.

Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap bermusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhari dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu ‘Umar, yang menyampaikan sabda Nabi bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata “Assalamu’alaikum”, tetapi “Assamu’alaikum” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk Anda”.

Nah, jika demikian, wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “’Alaikum”, sehingga jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang mereka terima adalah “Bagi Andalah (kecelakaan itu)”.

Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan catatan khusus.

Sebenarnya, dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa: “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.

Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.

Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Qur’an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah” misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai kata ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlas.

Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan, tetapi “wujud Tuhan”.

Ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran Kristen yang keyakinannya terhadap ‘Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan Ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan.

Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan Isa, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).

Nah, salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa As., sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa As.? Bukankah Nabi Saw juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/ mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, melalui Ibnu ‘Abbas—lihat Majma’ al-Fawa’id, hadits ke-2981.

Bukankah “para nabi”, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, “bersaudara, hanya ibunya yang berbeda?” bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian halnya, apa salahnya mengucapkan “Selamat Natal” selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an sendiri yang telah mengabadikan “Selamat Natal” itu?

Itulah antara lain, alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.

Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan situasi dan kondisi di mana ia diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al-Qur’an dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula.

Sahabat Nabi, Anas bin Malik, menyampaikan bahwa seorang anak Abu Thalhah sedang sakit ketika Abu Thalhah harus keluar rumah. Saat kepergiannya itu, sang anak meninggal dunia. Ketika Abu Thalhah kembali dia bertanya kepada istrinya tentang keadaan sang anak. Istrinya (yang rupanya enggan kepada suaminya dengan berita sedih yang sifatnya dadakan) menjawab, “Dia dalam keadaan yang setenang-tenangnya.”

Tenteramlah hati suami mendengar hal itu, karena dia menduga bahwa anaknya sedang tidur nyenyak, padahal ketenangan yang dimaksud sang ibu adalah kematian. Bukankah kematian bagi anak yang sakit merupakan ketenangan? Ketika Abu Thalhah mengetahui keadaan sebenarnya, dia melaporkan kepada Nabi Saw. Beliau bertanya, “Apakah semalam kalian berhubungan badan?”

Pertanyaan ini diiyakan oleh Abu Thalhah. Nabi pun lalu mendoakan suami-istri itu. Begitu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (lihat Riyadh ash-Shalihin karya an-Nawawi, hadits ke-44).

Terlihat di atas, bagaimana Nabi membenarkan atau tidak menegur istri Abu Thalhah yang menggunakan istilah yang dipahami berbeda oleh pembicara dan mitranya.

Al-Qur’an juga memperkenalkan yang demikian. Salah satu contohnya adalah dalam QS. Saba’ [34]: 25, “Kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan ‘dosa besar’ yang telah kamu perbuat. Kami pun tidak mempertanggungjawabkan ‘apa yang kamu lakukan’”. Dalam redaksi ini, “dosa besar” dipahami sebagaimana apa adanya oleh lawan bicara, tetapi yang dimaksud oleh pembicara adalah kekeliruan-kekeliruan kecil. Sedangkan “apa yang kamu lakukan” dipahami juga oleh lawan bicara dengan “dosa-dosa kecil”, tetapi maksudnya oleh pembicara adalah kekufuran, kedurhakaan, dan dosa-dosa besar.

Demikian pandangan pakar tafsir az-Zamakhsyari dan dikutip oleh al-Qasimi.

Di sini, kalaupun non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkannya sesuai dengan penggarisan keyakinannya.

Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila larangan ini ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masih, maka sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau maupun dengan arti apapun. Demikian dikutip al-Biqa’i dalam tafsirnya ketika menjelaskan QS. Al-An’am [6]: 121, dari kita ar-Raudhah.

Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial. Demikian, wallahu a’lam.***

(Sumber: M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, Penerbit Lentera Hati, Tangerang, Januari, 2014)

foto: quraishshihab.com 
* Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA adalah seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu al-Qur’an dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998).

Ia dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944. Orang tua Quraish Shihab adalah Bapak Abdurrahman Shihab dan Ibu Asma Aburisyi. Quraish adalah putra keempat dari 12 bersaudara. Tiga kakaknya, Nur, Ali dan Umar serta dua adiknya, Wardah dan Alwi Shihab, juga lahir di Rappang. Tujuh adik lainnya yaitu Nina, Sida Nizar, Abdul Mutalib, Salwa dan adik kembar Ulfa dan Latifah, lahir di Kampung Buton.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, ia melanjutkan pendidikan tingkat menengah di Malang, yang ia lakukan sambil menyantri di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah.

Pada tahun 1958 Ia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits, Universitas Al Azhar. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di fakultas yang sama dan pada tahun 1969 dan meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al Qur’an dengan tesis berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’i li Al-Qur’an Al-Karim.

Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, Ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam lingkungan kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur, maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang, Ia juga sempat melakukan beberapa penelitian, antara lain penelitian dengan tema “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978).

Quraish Shihab menikah dengan Fatmawaty Assegaf pada 2 Februari 1975 di Solo. Mereka dikaruniai lima orang anak, Najelaa, Najwa, Nasywa, Ahmad dan Nahla. Najelaa menikah dengan Ahmad Fikri Assegaf dan memiliki tiga anak, Fathi, Nishrin dan Nihlah. Putri kedua, Najwa Shihab menikah dengan Ibrahim Syarief Assegaf dan memiliki dua orang anak, Izzat dan almarhumah Namiya. Putri ketiga Nasywa, menikah dengan Muhammad Riza Alaydrus, dan memiliki dua orang putri, Naziha dan Nuha. Ahmad Shihab, satu-satunya anak laki-laki dari Quraish Shihab, menikah dengan Sidah Al Hadad.

Tahun 1980 , Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di almamater lamanya. Tahun 1982 Ia meraih doktornya dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dengan disertasi yang berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah. Ia lulus dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma`a martabat al-syaraf al-’ula).

Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984 Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, Ia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashbih Al Qur’an Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989).

Quraish Shihab juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi professional, di antaranya Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari`ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Saat ini, Quraish Shihab aktif menulis artikel, buku dan karya-karyanya diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Tafsir al-Mishbah, yaitu tafsir lengkap yang terdiri dari 15 volume dan telah diterbitkan sejak 2003.

Selain sebagai penulis, sehari-hari Quraish Shihab memimpin Pusat Studi al-Qur’an, lembaga nonprofit yang bertujuan untuk membumikan al-Qur’an kepada masyarakat yang pluralistik dan menciptakan kader mufasir (ahli tafsir) al-Qur’an yang profesional. (sumber biografi: quraishshihab.com)

Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berkunjung :)

Sunday, December 21, 2014 by Muhammad Haekal
Categories: , 8 comments

Comments (8)

  1. setelah membaca ini bagaimana pandangan qe kal? mengenai pengucapan selamat natal?

  2. kalau kita yakin bisa mempertahankan kemurnian akidah saat mengucapkan selamat, boleh aja.
    kalau belum yakin, lebih baik tahan dulu.
    yg plg penting kita saling respect aja
    :D

  3. Hmm... Berusaha untuk nggak mengucapkan. Doakan aku, ya!
    (pake gaya peserta Benteng Takeshi)

  4. Wah pembahasanya ini dalem banget, menyangkut aqidah yah? saya undur diri deh hehe...

  5. hmm.. ciba kt kaji lagi tentang tanggal 25 desember. benarkah itu hari nabi isa? coba baca juga buku muallaf Hj. Irena Handono tentang "NATAL 25 DESEMBER ANTARA DOGMA DAN TOLERANSI", vn bacanya dulu waktu SMA, sekarang buku itu sudah direvisi kalau gak salah dengan judul "TIPUAN POHON NATAL". menurut kajiannya, Bibel saja tidak mendukung adanya perayaan tsb. Memang terkdang sulit, tp aqidah dan toleransi jelas berbeda. Seorang yang menyembah Allah tentunya tidak akan mendukung adanya Tuhan lain, walaupun menurut kita Isa adalah seorang Nabi, tapi yg mereka rayakan adalah sang Tuhan, bukan Nabi. Wallahu'alam, kita semua punya sudut pandang yang berbeda :) namun tetaplah toleransi tetap dijaga, selama tidak merusak aqidah. krn Allah berfirman dlm Al-Qur`an surat Mumtahanah ayat 8 :
    ”Allah tidak malarang kamu ( umat Islam ) untuk berbuat baik dan berlaku terhadap orang – orang (beragama Lain) yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang – orang yang berlaku adil.”

    sukses ADS nya bro ^^

  6. @khaira: sip, sista!

    @iqrozen: :D

    @syarfina: wah. thanks infonya vina. bs menambah referensi :)
    yop. amiin, ya Allah.

  7. wahhh,,pembahasan panjang dan dalam..
    pengalaman klo d kntr,,biasanya salaman aja ga ngucapin apa2 klo mrk mau cuti buat natalan :)

    terima kasih sharenya kal..

  8. wah. iya kak. untuk nambah referensi kita. yang penting kehidupan kita ini saling rukun aja :)

Leave a Reply