Hukuman bagi Kekasih



Oleh Emha Ainun Nadjib*

Kehidupan semua Nabi dan Rasul Allah penuh dengan kisah-kisah tentang puasa. Baik puasa dalam arti harfiah langsung maupun puasa dalam pemaknaannya yang lebih luas. Bukankah segala perkara yang kita alami bersama selama beratus-ratus abad di muka bumi ini dimulai dan disebabkan oleh baginda Adam As, yang mokel, seharusnya menahan diri tak makan buah larangan itu tetapi beliau memakannya?

Seandainya Allah mengonsep suatu takdir yang lain, di mana Adam bersetia tidak menyentuh larangan, maka apakah sekarang ini kita perlu repot dengan kacaunya negara, dengan penggusuran tanah di bulan Ramadhan.

Kita tentu sudah adem ayem tentrem di surga Jannatun-Na’im, tanpa perang dan kecemburuan, tanpa pergaulan yang menjadi kacau oleh kejahatan dan kebodohan yang tak pernah disadari sebagai kejahatan dan kebodohan, tanpa pembengkakan problem-problem sosial yang tak habis-habisnya.

Tetapi, memang salah satu metode dialektika untuk menciptakan dinamika kehidupan manusia yang dirancang oleh Alah adalah fenomena laku puasa. Allah sendiri bersifat sangat “romantik” terhadap puasa dan dalam berbagai kisah menunjukkan betapa Ia amat sangat menyediakan cinta kasih yang khusus kepada hamba-Nya yang sedang berpuasa. Para pelaku puasa seakan-akan selalu dipeluk-Nya, didekap, dan selalu disayang-sayang oleh-Nya. Kemudian, kalau ada orang lain yang menganggunya, Allah sangat bersegera membela dengan penuh melintasi. Anda kenal seorang pengembara yang bernama Zamyal?

Ia berjalan dari padang ke padang, dari benua ke benua, dari cakrawala ke cakrawala, meskipun tak banyak orang lain yang mengetahui bahwa ia senantiasa mengembara. Di dalam pengembaraannya ia senantiasa berpuasa, meskipun orang tak memahami bahwa ia sedang berpuasa. Bahkan, seorang Nabi besar yang alim saleh, Ya’cub namanya, pun terjebak; tak memahami dan tak memercayainya.

Pada suatu sore menjelang maghrib, Zamyal sahabat kita ini menghampiri rumah Ya’cub dan mengetuk pintunya:

“Ya ashabul bait! Berilah orang asing yang lapar ini makanan sekadarnya yang berasal dari sisa makanan kalian!”

Berkali-kali ia mengucapkan kalimat itu dengan wajah yang dibuatnya tampak menderita, padahal jiwanya sangat bahagia di depan Allah karena laku puasanya. Namun, Ya’cub dan keluarnya tak acuh terhadapnya, tidak memedulikan permintaannya dan membiarkannya berlalu dengan perut kosong. Zamyal kemudian melewati seluruh malam dalam lapar dan menjalani pagi hari berikutnya dalam lapar, sementara keluarga Nabi besar itu berbuka puasa dengan penuh kenikmatan, kemudian masih menyisakan makanan hingga pagi harinya.

Tak ada saat-saat nikmat melebihi situasi lapar, asing, dan sepi di hadapan Allah. Tidak ada kebahagiaan dunia melebihi mengucurnya air mata ketika seseorang meratapkan duka deritanya di hadapan Allah. Zamyal tidak pernah menangis di depan manusia, tetapi ia menumpahkan segala kecengengannya di depan lutut Allah. Sungguh-sungguh tak ada anugerah yang kenyamanannya melebihi keadaan diri terbuang dan terkutuk oleh manusia, tetapi ditangiskan kehadirat-Nya.

Maka demi mendengar Zamyal madul kepada-Nya, Allah langsung bagkit dan menggertakkan amarah-Nya kepada Ya’cub.

“Kenapa wahai Ya’cub engkau tidak mengasihi hamba-Ku yang kehidupan sehari-harinya bersahaja terhadap nikmat dunia? Ia terusir oleh ketidakacuhanmu, kemudian pergi dan mengadukan derita hatinya kepada-Ku. Tahukah engkau Ya’cub bahwa hukuman bagi kekasih-Ku lebih cepat datangnya dibanding hukuman bagi musuh-musuh-Ku? Tahukah bahwa hal itu Kusengaja karena besarnya penghormatan-Ku kepada kekasih-kekasih-Ku, sementara musuh-musuh-Ku, Kuabaikan terhanyut oleh lautan dosa-dosanya yang tak mereka ketahui bahwa itu dosa?”

Beberapa tahun kemudian Ya’cub kehilangan Yusuf, putra yang amat disayanginya. Dan sejak itu berlangsunglah kisah-kisah legendaris tentang sumur dan pedagang, tentang penjara dan ramalan mimpi, tentang menteri keuangan dan Zulaikha, dan sebagainya.

Ujung kisah-kisah itu berua happy end: sejak awal hukuman itu Ya’cub menginsafi kesalahan hidupnya, tetapi tetap harus menempuh waktu yang panjang untuk akhirnya menemukan ketentraman kembali bersama Yusuf yang besar dan anggun.

Itulah yang saya sebut dialektika dinamik. Adegan-adegan spektakuler Yusuf menyangkut seluruh kerajaan di mana mereka hidup, yang berhubungan dengan proses penghayatan nilai-nilai puasa, kesetiaan dan kesantunan sosial, dimulai oleh sebuah adegan yang sederhana—di mana “figuran” yang bernama Zamyal berjalan tersaruk-saruk menuju pintu rumah Ya’cub. Karena semua itu dialektika, hukuman pada akhirnya bisa bermakna bukan hukuman, sesudah ia melampaui relativitas waktu, serta sesudah pihak yang terhukum mengerti bagaimana bersikap dan menghikmahinya. Hukuman, apalagi dari Allah, justru bisa menjadi jalan menuju kemuliaan baru, sebagaimana Ya’cub. Apalagi kalau yang dihukum adalah kekasih-Nya.

Itulah memang “jenis adegan kehidupan” yang dikendaki oleh Allah. Bukannya suatu tema dan lakon kehidupan di mana Adam dan anak cucunya hidup tenteram namun monoton di surga sejak hari pertama hingga hari terakhir takdir kehidupan.

Dan akhirnya ingatlah, kalau Allah menghukum, Ia jua yang kemudian mengampuni dan mengasihi. Kalau Allah yang menghukum, Ia jugalah yang mengusap air mata penyesalanmu. Hukuman itu justru membuktikan kekekalan cinta-Nya. Bukankah tahap pertama hukuman terhadap Ya’cub justru berupa impian indah Yusuf terhadap rembulan, matahari, dan bintang-gemintang? Bukankah dengan demikian hukuman Allah bagi kekasih-Nya itu sesungguhnya sebuah kemesraan juga? []

Sumber: Emha Ainun Nadjib, Tuhan Pun “Berpuasa”, Penerbit Buku Kompas, 2014.
foto: caknun.com

* Muhammad (Emha) Ainun Nadjib atau akrab dipanggil Cak Nun, lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Seniman dan budayawan yang produktif dan rajin berdialog dengan masyarakat pelosok-pelosok desa tanah air, dengan kelompok Kiai Kanjengnya, terhitung dari tahun 1998 hingga 2006 telah mengunjungi lebih dari 22 provinsi, 376 kabupaten, 1430 kecamatan, dan 1850 desa di seluruh pelosok Nusantara. Belakangan, Cak Nun dan Kiai Kanjeng juga diundang ke berbagai belahan dunia, di antaranya Mesir, Malaysia, Brunei Darussalam, Inggris, Jerman, Skotlandia, Italia, dan Finlandia. Dalam hal menulis, Cak Nun berprinsip menulis bukanlah untuk menempuh karier sebagai penulis, melainkan keperluan-keperluan sosial. Dengan prinsip itu, ia justru telah menghasilkan sangat banyak tulisan, mulai dari puisi, esai, artikel naskah drama, cerpen, makalah hingga buku. Karya-karya dari murid Umbu Landu Paranggi dan alumnus International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat (1981) ini antara lain Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1978); 99 Untuk Tuhanku (1980); Nyanyian Gelandangan (1982); Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (1983); Suluk Pesisiran (1988); Dari Pojok Sejarah Renungan Perjalanan; Sastra yang Membebaskan (1985); Cahaya Maha Cahaya (1991); Syair Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya Tahajud Cinta Seorang Hamba (1990); Slilit Sang Kiai (1991); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Tuhan pun “Berpuasa” (1997), Kafir Liberal (2005); Istriku Seribu: Polimonogami Monopoligami (2007); dan Orang Maiyah (2007).

Bersama istri (Novia Kolopaking) dan empat orang putranya (Sabrang, Hayya, Jembar, dan Rampak), Cak Nun bertempat tinggal di Yogyakarta, tepatnya di Jalan Barokah 287, Kadipiro, di sebuah rumah yang sekaligus berfungsi sebagai pusat kesekretariatan Cak Nun dan Kiai Kanjeng. 

Friday, May 8, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , 3 comments

Comments (3)

  1. Sumbernya darimana bro?

  2. Buku "Tuhan Pun Berpuasa". Terbitan Kompas (2014)

  3. gan boleh aku ambil sedikit materi dari sini untuk tugas prensentasi ku ditempat saya belajar. jilbab tangan

Leave a Reply