Puasa Kaum Ghuraba'



Oleh: Emha Ainun Nadjib*

Jutaan hamba Allah yang berpuasa di muka bumi, jutaan Muslimin yang menyediakan diri untuk berprihatin selama Ramadhan, sesungguhnya diam-diam sedang melakukan proses penyembuhan atas sakitnya seluruh kehidupan di alam semesta ini.

Kita semua yang merelakan diri untuk berlapar dan berhaus sepanjang hari, yang berjuang menahan diri dari berbagai kenikmatan, serta yang menundukkan hati untuk membayarkan cinta kasih kepada Allah, pada hakikatnya sedang berperan mengurangi ketidakseimbangan kosmologis ketimpangan pergaulan nilai-nilai, serta mengutuhkan kembali bangunan ciptaan Allah yang selama berbulan-bulan sebelumnya kita rusak-rusak, kita retakkan-retakkan, dan kita gerogoti.

Aktivitas puasa adalah mengendalikan bagian-bagian dalam diri fisik kita untuk melakukan pengendapan, sublimasi, diam, tunduk, memasuki 'kosong', agar berjumpa dengan 'isi yang sejati'. Usus kita bermeditasi, urat saraf kita meraba bagian dirinya yang terlambat, perut kita bersabar, keseluruhan organ tubuh juga rohani kita mengerjakan proses peragian.

Orang-orang yang berpuasa, sebagaimana orang-orang yang mendirikan shalat, zakat, dan haji, pada hakikatnya sedang memperjuangkan keselamatan alam semesta dan kehidupan seluruh umat manusia. Zakat memacu distribusi kesejahteraan sosial, shalat mengembalikan kewajaran metabolisme kosmologis, sedangkan puasa menarik kembali kondisi dan harkat hidup umat manusia dari segala hal yang palsu dan tidak penting menuju nilai-nilai dan situasi hidup yang sejati dan berada dalam rangkuman Sunah Allah.

Kemudian ibadah haji adalah pesta rohani untuk merayakan keselamatan dan kemenangan itu. Ada beribu-ribu fungsi, kandungan nilai, makna, dan hikmat yang dimuat oleh ibadah di dalam Islam, juga puasa.

Makna dan fungsi ibadah tidak berlaku hanya pada diri pelakunya, tetapi juga bagi keseluruhan kehidupan ini. Seribu pemeluk agama Allah bisa mengembarai lautan makna ibadah berdasarkan pengamalan dan penghayatan serta perenungannya. Dan jika mereka tiba pada keterkaitan antara aktivitas shalat dan puasa massal yang berlangsung di seluruh permukaan bumi, mereka insya Allah akan menemukan betapa seluruh umat manusia seharusnya mengucapkan terima kasih kepada kaum Muslimin yang telah dengan setia menjalankan perintah ibadah, dan karena itu mereka turut memelihara keseimbangan kosmologis dan keselamatan hidup alam semesta ini.

Tetapi, siapakah yang mengetahui hal itu? Siapakah yang mengakui? Siapakah yang memiliki ilmu untuk sanggup memahami?

Kalau engkau melakukan shalat, engkau sesungguhnya sedang mengutuhkan lagi kembali realitas lingkaran dari bibir atas ke ubun-ubun sampai ke dubur dan ke bibir bawah, lingkaran kaffah fisiologismu. Kalau berjuta-juta Muslimin melakukan shalat massal dan simultan di seluruh permukaan bumi (bayangkan gerakan berjuta orang sujud dari timur ke barat sesuai dengan urutan waktu shalat dari satu garis di bumi ke garis berikutnya), sesungguhnya mereka sedang memelihara keseimbangan siklikal metabolisme alam semesta.

Kalau orang Islam di bumi ini berhenti shalat, alam ini runtuh. Tapi siapa yang percaya hal ini? Sama dengan siapa dan ilmuwan mana yang memiliki wawasan antropososiologis rentang abad agar ia mampu menemukan kebenaran "kenapa kita harus shalat dengan bahasa Al Quran?"

***

Tak ada orang tahu, tak ada orang paham, tak ada orang mengakui jasa kaum Muslimin atas kelestarian alam semesta dan sejarah peradaban umat manusia. Hampir tak ada ilmu, tak ada metodologi, tak ada peluang ilmiah yang memungkinkan penjelasan "rasional" tentang itu. Maka bada'al Islamu ghariban, wasaya'udu ghariban, Islam dimulai dari terasing demi keterasingannya yang baru di setiap era sejarah. Namun, kata Rasulullah, berbahagialah orang yang terasing, karena ia yang memiliki pengambilan jarak yang memungkinkan ia lebih jernih dan lebih sejati dalam menilai sesuatu.

Orang Islam menyelamatkan, tanpa orang tahu ia menyelamatkan. Orang Islam berpuasa dari pengetahuan orang lain tentang apa sebenarnya yang ia perankan. Orang-orang Islam adalah ghuraba', kaum marjinal. Orang terasing, disalahpahami, dikambinghitamkan. Sampai-sampai banyak orang Islam sendiri percaya bahwa ia memang benar-benar kambing hitam.

Di tengah cuaca sangat buruk, seharusnya pesawat itu jatuh, tapi Allah menyelamatkannya berkat wirid salah seorang penumpang dan kualitas pengabdian hidupnya selama ini. Tapi siapakah yang percaya bahwa pesawat itu selamat karena orang itu berwirid? Apakah Allah hanya akan menyelamatkan si pewirid dan menjatuhkan pesawat, sementara hanya si pewirid ini dengan kursinya yang landing di Juanda?

Tidak. Logika sunnatullah akan menerapkan keselamatan menyeluruh atas pesawat itu. Tapi siapa yang percaya bahwa sebenarnya pesawat itu tadi akan celaka? Satu-satunya jalan untuk membuktikan kecelakaan itu adalah membiarkannya jatuh. Tapi kalau ini tidak terjadi, tidak bisa diterapkan bahwa wirid orang itu bisa mengundang kasih sayang Allah untuk menyelamatkan pesawat.

Atau rumah di seberang itu akan terbakar. Engkau tahu itu dan cepat berlari mengambil sumbernya, yang ketika itu belum berupa api, melainkan berupa hal-hal lain yang beberapa menit kemudian akan menyebabkan berkobarnya api. Kalau engkau ambil api itu dan rumah jadi selamat, siapa yang percaya bahwa sesungguhnya kebakaran akan terjadi? Satu-satunya jalan itu untuk membuktikan bahwa engkau menyelamatkan adalah dengan membiarkannya terbakar. Tapi kalau itu terjadi, menjadi tidak terbukti bahwa engkau bisa menyelamatkan rumah itu dari kebakaran. Engkau merasa sepi. Terasing karena orang tidak memahamimu. Maka engkau menggumamkan surah Al-Ikhlas.

Aku yakin, di dalam pergaulan hidupmu, di dalam keterlibatan sosial, budaya, ekonomi, dan politikmu, engkau sering mengalami keterasingan semacam itu. Engkau menyelamatkan sesuatu, tapi engkau justru dimaki-maki. Dan itulah pelajaran terpahit namun membahagiakan tentang keikhlasan.

Dan hanya Al Quran yang memiliki konsep tentang ikhlas. Tidak ada sinonim pada bahasa lain, filsafat, atau kebudayaan lain. []

Sumber: Emha Ainun Nadjib, Tuhan Pun “Berpuasa”, Penerbit Buku Kompas, 2014.

foto: AP Photo/Trisnadi

* Muhammad (Emha) Ainun Nadjib atau akrab dipanggil Cak Nun, lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Seniman dan budayawan yang produktif dan rajin berdialog dengan masyarakat pelosok-pelosok desa tanah air, dengan kelompok Kiai Kanjengnya, terhitung dari tahun 1998 hingga 2006 telah mengunjungi lebih dari 22 provinsi, 376 kabupaten, 1430 kecamatan, dan 1850 desa di seluruh pelosok Nusantara. Belakangan, Cak Nun dan Kiai Kanjeng juga diundang ke berbagai belahan dunia, di antaranya Mesir, Malaysia, Brunei Darussalam, Inggris, Jerman, Skotlandia, Italia, dan Finlandia. Dalam hal menulis, Cak Nun berprinsip menulis bukanlah untuk menempuh karier sebagai penulis, melainkan keperluan-keperluan sosial. Dengan prinsip itu, ia justru telah menghasilkan sangat banyak tulisan, mulai dari puisi, esai, artikel naskah drama, cerpen, makalah hingga buku. Karya-karya dari murid Umbu Landu Paranggi dan alumnus International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat (1981) ini antara lain Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1978); 99 Untuk Tuhanku (1980); Nyanyian Gelandangan (1982); Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (1983); Suluk Pesisiran (1988); Dari Pojok Sejarah Renungan PerjalananSastra yang Membebaskan (1985); Cahaya Maha Cahaya (1991); Syair Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya Tahajud Cinta Seorang Hamba (1990); Slilit Sang Kiai (1991); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Tuhan pun “Berpuasa” (1997), Kafir Liberal (2005); Istriku Seribu: Polimonogami Monopoligami (2007); dan Orang Maiyah (2007).

Bersama istri (Novia Kolopaking) dan empat orang putranya (Sabrang, Hayya, Jembar, dan Rampak), Cak Nun bertempat tinggal di Yogyakarta, tepatnya di Jalan Barokah 287, Kadipiro, di sebuah rumah yang sekaligus berfungsi sebagai pusat kesekretariatan Cak Nun dan Kiai Kanjeng.

Friday, June 19, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , , , , Leave a comment

Leave a Reply