Archive for June 2016

Di Sudut Gelap


Malam itu saya mendapatkan giliran menjadi petugas parkir shalat tarawih. Angin dingin berhembus menembus sweater, suhu saat itu tercatat enam derajat celcius. Langit cukup terang walaupun di sebagian sisinya disesaki kumpulan awan. Memang beberapa jam sebelumnya hujan rintik-rintik turun.

Petugas parkir terbagi dua kelompok. Satu menjaga bagian depan masjid yang berhadapan langsung dengan jalan raya, dan bagian satunya lagi bertugas di belakang masjid, meminjam lapangan parkir sebuah sekolah.

Saya selalu memilih berada di kelompok kedua untuk sebuah alasan sederhana: karena sudah biasa. Selain itu, lapangan parkir yang relatif luas, kira-kira setengah lapangan bola, memudahkan saya untuk mengarahkan kenderaan.

Memarkirkan kenderaan terkadang bukan pekerjaan yang mudah untuk ibu-ibu. Begitu juga malam itu, seorang ibu dengan anak-anaknya susah sekali memarkirkan mobilnya dengan rapi. Saya berinisiatif mengarahkan ibu-ibu itu ke sebuah sudut kosong, dekat dengan pohon dan semak-semak, persis di depan pintu masuk. Maksudnya agar mereka nanti bisa mudah keluar. Semuanya berjalan lancar hingga anak perempuan ibu itu membuka kaca mobilnya dan berkata, "Maaf, kami tidak bisa parkir di sana. Di situ ada seorang perempuan."

Saya melihat ke tempat yang dimaksud, di sana tidak ada siapa-siapa. Kosong.

Seperti membaca kebingungan saya, si ibu kemudian menjelaskan.

"Maaf, dik. Anak saya punya kemampuan 'melihat' (indigo)."

Bulu kuduk saya berdiri. Saya pun mengangguk dan mengarahkan mereka ke lokasi parkir lain. Sempat terpikir bukannya ini bulan puasa? Ketika menceritakan ini dengan seorang teman, ia bilang barangkali itu jin, bukan setan. Jadi ya ia tidak dibelenggu. Entahlah. Teman saya yang lain, dengan tanpa berdosa, menebak itu adalah sosok Valak. Sial. Alhasil saya pun parno semalaman.

Monday, June 27, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

Beberapa Pemahaman Sederhana


Saya memahami Islam dari banyak sumber. Semuanya berputar-putar di otak saya dan saya tidak ingin mengklaim kebenaran apapun dari pemahaman saya ini.

Hal yang saya sampaikan di bawah ini adalah pemahaman keilmuan terbatas saya ketika mendengarkan pengajian, membaca buku, atau menyaksikan langsung peristiwa sehari-hari. Beberapa masih saya ingat sumbernya dari mana, tapi lebih banyak yang terlupakan. Saya masih lemah dalam dokumentasi.

Secara umum, saya mengikuti pendapat Cak Nun bahwa Islam adalah tafsir. Manusia boleh memilih tafsir apapun namun pada akhirnya, tafsir yang paling benar adalah milik Allah Swt. Manusia lahir dengan keterbatasan ilmu dan manusiawinya. Oleh karenanya, saya cenderung percaya bahwa manusia hanya bisa mendekat kepada hal yang dianggapnya sebagai kebenaran. Di akhir proses tersebut, Tuhanlah yang maha tahu apakah ia benar-benar mencapai kebenaran itu sendiri.

Setiap manusia bisa menuju ke jalan yang dianggapnya "jalur kanan", namun tidak bisa menyamakan caranya melaju dengan manusia yang lain. Setiap orang punya perspektif dan kepercayaan sendiri terkait apa yang dimaksud oleh Tuhan melalui Rasulullah Saw. Bagi saya, sepanjang seseorang memiliki syahadat yang sama, ia adalah saudara. Terlepas bagaimana dirinya mempersepsikan dan mengaktualisasikan Islam. Namun demikian, saya cenderung kontra dengan sebagian orang yang gemar mengklaim seakan-akan surga dan kebenaran adalah milik kelompoknya sendiri. Apalagi jika mereka memaksakan pemahaman itu dengan jalan darah dan kekerasan.

***

Ibadah adalah sebuah proses yang tidak berhenti di ranah ritual, tapi sebuah pelajaran bersikap untuk manusia itu sendiri.

Shalat misalnya. Seseorang yang ingin shalat mesti berwudhu untuk mensucikan batinnya. Di luar shalat, proses pensucian batin itu pula yang selayaknya dilakukan oleh manusia sebelum melakukan apapun. Suci batin ini dapat berarti melepaskan diri dari belenggu penyakit hati dan meluruskan niat bahwa yang dilakukan adalah semata-mata untuk memohon ridha Allah Swt.

Proses shalat yang dari awal hingga akhirnya terdiri dari penyebutan nama Allah Swt dalam berdiri, rukuk, sujud, dan duduk, adalah sebuah anjuran bahwa dalam kondisi apapun di kehidupan ini, setiap manusia mesti mengingat Allah. Entah di saat ia sedang dalam kondisi baik, penuh kemenangan, atau dalam posisi jatuh ditimpa kesusahan. Allah adalah tempat manusia pulang, mengadukan persoalan, bertanya berbagai jawaban, dan mengutarakan segala permohonan.

Menghadapnya manusia ke satu kiblat, bermakna setiap muslim pada dasarnya sedang menuju ke arah yang sama, menyembah Tuhan yang sama, dan dalam dimensi yang luas, seakan-akan manusia diingatkan: pikiran, pandangan, dan tafsiran kalian memang berbeda, dan ketika semuanya begitu sulit disatukan, ingatlah satu hal bahwa kalian adalah saudara yang memiliki kiblat yang sama.

Tunduknya pandangan seseorang yang sedang shalat dapat berarti tidak layaknya kita dalam kehidupan ini untuk angkuh, seakan-akan setiap kesuksesan yang kita peroleh adalah mutlak karena kehebatan kita sendiri dan meniadakan peran Tuhan. Secara sederhana, tunduknya pandangan juga bisa berarti anjuran menjaga mata untuk tidak memandang yang bukan haknya.

Anjuran shalat berjamaah dapat dimaknai sebagai alarm sosial bahwa dalam kehidupan ini manusia tidak hidup sendirian, tetapi saling bergantung dan melengkapi. Namun di samping itu, ada pula shalat yang lebih utama dilakukan sendiri sebagai pengingat bahwa ketika dunia rasanya begitu hitam dan orang-orang tampaknya tidak begitu pengertian, manusia masih bisa kembali kepada Tuhan.

Tentunya, banyak sekali hikmah dalam ibadah yang jika seseorang menghubungkannya dengan kehidupan sosialnya, insya Allah dirinya akan menjadi manusia yang lebih baik. Mengenai ini, saya jadi mengingat puasa. Secara ringkas, puasa mengajarkan manusia agar tidak berlebihan dalam melakukan sesuatu, bahkan untuk yang berada dalam konteks halal sekalipun. Puasa melatih manusia untuk menjaga pandangan, omongan, serta pikiran. Puasa dalam hal ini menyentuh perbaikan individu yang diharapkan memberi sumbangsih bagi perbaikan umat, khususnya apabila kita bisa menerapkan puasa di setiap segi kehidupan kita, sepanjang masa. Dalam perspektif Ramadan, tiga puluh hari adalah waktu yang sebenarnya cukup bagi setiap orang untuk menanamkan kebiasaan baik di dalam diri mereka. Oleh karena itu, sungguh rugi apabila setelah selesai Ramadan, seseorang tidak berubah sedikit pun.

***

Saya berpendapat, jika Islam diterapkan secara luas di kehidupan dan tidak hanya berhenti di ranah ritual, insya Allah manusia dapat hidup dengan lebih baik. Terlepas kemudian manusia harus bergelut lagi untuk menentukan tafsir siapa yang dipakai dan dipedomani--sebuah proses yang memerlukan banyak tenaga dan kelapangan hati.

by Muhammad Haekal
Leave a comment

Bahasa Arab


Saya pernah begitu kesal ketika sebagian mahasiswa matrikulasi bahasa Inggris masih terbata-bata dalam memperkenalkan diri dan kerap kali mengucapkan kata dengan keliru. Mereka mengaku tidak belajar dengan baik di sekolah, tidak menganggap bahasa Inggris penting, dan saya pun bingung bagaimana mereka bisa lulus seleksi ujian masuk.

Saya berkata jujur kepada mereka bahwa semester ini mereka akan bekerja keras di mata kuliah ini. Tidak mungkin belajar bahasa Inggris dengan modul level mahasiswa tanpa penguasaan dasar sama sekali.

Kisah ini terulang kembali di benak saya ketika di umur 25 tahun ini pemahaman saya terhadap Islam begitu kurang. Saya merasa melakukan kelalaian yang sama seperti sebagian mahasiswa saya dulu: tidak paham bahasa Arab. Saya merasa menjadi pelajar nakal yang bertahun-tahun mengambil mata pelajaran Islam, tapi selama itu pula abai untuk menguasai bahasa pengantarnya.

Memang di sisi lain, pengajaran yang memakai bahasa selain Arab tersebar luas. Tapi mengingat bahasa Arab dipakai pula di hampir seluruh prosesi ibadah, rasanya janggal sekali jika seorang Muslim tidak memahaminya. Ketidakcapakan berbahasa ini pula yang menurut saya menjadi salah satu faktor utama absennya kekhusyukan dan pemahaman mendalam terhadap agama itu sendiri.

Oleh karena itu, jika ada sebuah hal yang wajib dipelajari oleh seorang Muslim, saya percaya bahasa Arab adalah salah satunya. Paling minimal mengerti apa yang diucapkan ketika shalat dan diaminkan pada saat berdoa.

Sunday, June 26, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Memulai Lagi


Saya sadar saya lebih kuat sekarang. Saya pernah jatuh, kecewa, ditolak, dan gagal. Semua nestapa itu membantu saya tumbuh lebih kuat, walau saya juga kerap meringis ketika kadang-kadang terpeleset mengulangi kesalahan yang sama. Dalam hal ini, saya mulai mengerti bahwa kesalahan secara luas merupakan proses yang positif jika dengannya manusia bisa belajar. Secara khusus, jika kesalahan itu adalah bentuk pengulangan, ia lebih kepada ketololan atau kebebalan pelakunya. Dan akhirnya, ia akan menghadapi seperti yang dikatakan George Santayana, "seseorang yang tidak mengambil pelajaran dari apa yang telah ia lalui akan dikutuk untuk mengalaminya lagi."

Berkaitan dengan keterpurukan yang saya alami, saya tidak membencinya. Saya merangkul mereka sebagai pengalaman hidup yang berharga. Saya tidak menyesal sekalipun terkadang merasa sedih apabila kesalahan yang saya lakukan itu melibatkan orang lain. Saya meyakini, rasa sakit lebih mudah diterima sendirian. Menularkannya pada orang lain hanya menimbulkan rasa bersalah. Namun demikian, jika pun terjadi, saya memaksa diri untuk tidak larut di dalamnya. Yang sudah berlalu, ya sudahlah.

Memulai sesuatu yang baru adalah hal yang menurut saya menyenangkan, apalagi jika seseorang lihai melihat terbuka luasnya harapan dan kesempatan. Kehidupan memiliki banyak lorong untuk membuat manusia bersedih, namun ia lebih memiliki banyak jalan untuk membuat manusia bahagia. Semua tergantung dari cara seseorang melihat dan menyikapi apapun yang dialaminya.

Tidak perlu larut dalam kesedihan yang panjang untuk beberapa rencana yang gagal. Mungkin bukan itu yang terbaik. Barangkali ada hal lain di masa depan yang akan memberikan kebahagiaan. Pada akhirnya, kepada Tuhan yang maha bijaksanalah berpulang segala simpul-simpul harapan. Manusia hanya perlu sering-sering melihat ke depan. Di belakang hanya ada pelajaran, bukan kehidupan.

Monday, June 20, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Ramadan di Kampung


Kampung adalah rindu. Saya sendiri memiliki tiga rindu yaitu Lamreung, Kuta Blang, dan Kuala Simpang.
 
Lamreung adalah rumah orang tua saya.

Seperti kelaziman di Aceh, Ramadan diawali oleh perasaan sejuk dan lapang di dalam hati karena bulan ini merupakan liburan panjang khususnya bagi pelajar dan mahasiswa. Ada pula kesenangan tersendiri melihat masjid yang mulai ramai, jalanan yang dipenuhi penjual penganan, dan di rumah saya sendiri, awal Ramadan biasa ditandai dengan dibelinya sekotak kurma dan beberapa botol sirup cap patung.

Keluarga kami memiliki menu khas berbuka: nasi goreng, bakwan, dan teh manis. Barisan menu sederhana itu pula yang saya masak ketika Ramadan pertama di Australia. Saya berusaha menghadirkan sebagian kecil dari kampung saya tersebut lantaran rindu. Makanan terkadang bukan melulu persoalan rasa, tapi juga kenangan di dalamnya. Di Australia sendiri, jika ada acara buka bersama, yang jadi primadona justru makanan tradisional seperti gorengan, gado-gado, atau rendang.

Mencari penganan berbuka adalah kenikmatan lain. Bukan hal yang aneh ketika di rumah menginginkan sari tebu, namun ketika pulang justru membeli kue satu plastik, tahu potong Pagar Air, mie caluk, martabak, sate matang, kari bebek, atau ayam goreng tepung. Lapar mata. Apalagi di jalan, terkadang ada saja teman yang jualan. Minimal mampir, tapi tidak enak juga kalau tidak beli, dan tidak nyaman perasaan kalau dikasih gratis.

Namun di atas itu semua, bagi saya berbuka atau sahur bersama keluarga adalah hal yang paling berharga. Momen menunggu sirene berbuka, berkumpul di ruang makan yang merangkap ruang keluarga, adalah nikmat yang sulit untuk didustakan. Kerinduan tersebut sedemikian rupa saya tepis mengingat di sini saya biasanya berbuka sendiri. Di sinilah saya sadar makna take something for granted, sebuah idiom untuk menyebutkan suatu hal yang begitu seiring terjadi, menjadi kebiasaan, dan oleh karenanya cenderung lupa untuk disyukuri keberadaaannya. Dalam konteks saya, hal tersebut adalah Ramadan di kampung.

Menjelang Lebaran tiba, kami sekeluarga biasanya pulang ke Kuta Blang dan Kuala Simpang. Keduanya semakin memperkaya arti lebaran dengan berkumpulnya kami bersama saudara-saudara. Buka puasa juga menjadi semakin meriah ketika semua paman dan bibi membawa penganan buka puasa. Di Kuta Blang, yang paling saya sukai adalah sambai peugaga, sebuah racikan daun pegagan yang dirajang halus, dicampur dengan bawang, cabai, dan kelapa parut (saya suka kelapa segar yang tidak digongseng). Sate matang, sate kambing atau sapi dari kawasan Matang yang terdiri atas empat potong per tusuk (potongan keempat adalah daging berlemak) yang disiram dengan saus kacang tumbuk kasar, kuah soto lemak sapi, dan dimakan dengan nasi putih. Rujak Cot Buket, perkawinan sempurna antara buah-buahan segar dengan sambal gula merah yang kental. Dan rujak Ulee Tutu, irisan buah-buahan campur gula, garam, dan cabai, yang kemudian disulap menjadi minuman. Sementara di Kuala Simpang, yang khas adalah jongkong, kue manis berwarna hijau yang sedikit berkuah, yang dibungkus di dalam daun pisang (hanya di jual ketika Ramadan), dan bubur pedas, mirip bubur kanji rumbi tapi lebih kaya daun-daunannya.

***

Ramadan di sebuah sisi membangkitkan kerinduan yang parah dengan kampung halaman. Sebuah hal yang saya percaya dirasakan oleh semua orang yang sedang berada di perantauan. Oleh karenanya, kata "kampung" selalu memiliki teman karib bernama "pulang". Oh Ramadan.

Sunday, June 19, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment