Beberapa Pemahaman Sederhana


Saya memahami Islam dari banyak sumber. Semuanya berputar-putar di otak saya dan saya tidak ingin mengklaim kebenaran apapun dari pemahaman saya ini.

Hal yang saya sampaikan di bawah ini adalah pemahaman keilmuan terbatas saya ketika mendengarkan pengajian, membaca buku, atau menyaksikan langsung peristiwa sehari-hari. Beberapa masih saya ingat sumbernya dari mana, tapi lebih banyak yang terlupakan. Saya masih lemah dalam dokumentasi.

Secara umum, saya mengikuti pendapat Cak Nun bahwa Islam adalah tafsir. Manusia boleh memilih tafsir apapun namun pada akhirnya, tafsir yang paling benar adalah milik Allah Swt. Manusia lahir dengan keterbatasan ilmu dan manusiawinya. Oleh karenanya, saya cenderung percaya bahwa manusia hanya bisa mendekat kepada hal yang dianggapnya sebagai kebenaran. Di akhir proses tersebut, Tuhanlah yang maha tahu apakah ia benar-benar mencapai kebenaran itu sendiri.

Setiap manusia bisa menuju ke jalan yang dianggapnya "jalur kanan", namun tidak bisa menyamakan caranya melaju dengan manusia yang lain. Setiap orang punya perspektif dan kepercayaan sendiri terkait apa yang dimaksud oleh Tuhan melalui Rasulullah Saw. Bagi saya, sepanjang seseorang memiliki syahadat yang sama, ia adalah saudara. Terlepas bagaimana dirinya mempersepsikan dan mengaktualisasikan Islam. Namun demikian, saya cenderung kontra dengan sebagian orang yang gemar mengklaim seakan-akan surga dan kebenaran adalah milik kelompoknya sendiri. Apalagi jika mereka memaksakan pemahaman itu dengan jalan darah dan kekerasan.

***

Ibadah adalah sebuah proses yang tidak berhenti di ranah ritual, tapi sebuah pelajaran bersikap untuk manusia itu sendiri.

Shalat misalnya. Seseorang yang ingin shalat mesti berwudhu untuk mensucikan batinnya. Di luar shalat, proses pensucian batin itu pula yang selayaknya dilakukan oleh manusia sebelum melakukan apapun. Suci batin ini dapat berarti melepaskan diri dari belenggu penyakit hati dan meluruskan niat bahwa yang dilakukan adalah semata-mata untuk memohon ridha Allah Swt.

Proses shalat yang dari awal hingga akhirnya terdiri dari penyebutan nama Allah Swt dalam berdiri, rukuk, sujud, dan duduk, adalah sebuah anjuran bahwa dalam kondisi apapun di kehidupan ini, setiap manusia mesti mengingat Allah. Entah di saat ia sedang dalam kondisi baik, penuh kemenangan, atau dalam posisi jatuh ditimpa kesusahan. Allah adalah tempat manusia pulang, mengadukan persoalan, bertanya berbagai jawaban, dan mengutarakan segala permohonan.

Menghadapnya manusia ke satu kiblat, bermakna setiap muslim pada dasarnya sedang menuju ke arah yang sama, menyembah Tuhan yang sama, dan dalam dimensi yang luas, seakan-akan manusia diingatkan: pikiran, pandangan, dan tafsiran kalian memang berbeda, dan ketika semuanya begitu sulit disatukan, ingatlah satu hal bahwa kalian adalah saudara yang memiliki kiblat yang sama.

Tunduknya pandangan seseorang yang sedang shalat dapat berarti tidak layaknya kita dalam kehidupan ini untuk angkuh, seakan-akan setiap kesuksesan yang kita peroleh adalah mutlak karena kehebatan kita sendiri dan meniadakan peran Tuhan. Secara sederhana, tunduknya pandangan juga bisa berarti anjuran menjaga mata untuk tidak memandang yang bukan haknya.

Anjuran shalat berjamaah dapat dimaknai sebagai alarm sosial bahwa dalam kehidupan ini manusia tidak hidup sendirian, tetapi saling bergantung dan melengkapi. Namun di samping itu, ada pula shalat yang lebih utama dilakukan sendiri sebagai pengingat bahwa ketika dunia rasanya begitu hitam dan orang-orang tampaknya tidak begitu pengertian, manusia masih bisa kembali kepada Tuhan.

Tentunya, banyak sekali hikmah dalam ibadah yang jika seseorang menghubungkannya dengan kehidupan sosialnya, insya Allah dirinya akan menjadi manusia yang lebih baik. Mengenai ini, saya jadi mengingat puasa. Secara ringkas, puasa mengajarkan manusia agar tidak berlebihan dalam melakukan sesuatu, bahkan untuk yang berada dalam konteks halal sekalipun. Puasa melatih manusia untuk menjaga pandangan, omongan, serta pikiran. Puasa dalam hal ini menyentuh perbaikan individu yang diharapkan memberi sumbangsih bagi perbaikan umat, khususnya apabila kita bisa menerapkan puasa di setiap segi kehidupan kita, sepanjang masa. Dalam perspektif Ramadan, tiga puluh hari adalah waktu yang sebenarnya cukup bagi setiap orang untuk menanamkan kebiasaan baik di dalam diri mereka. Oleh karena itu, sungguh rugi apabila setelah selesai Ramadan, seseorang tidak berubah sedikit pun.

***

Saya berpendapat, jika Islam diterapkan secara luas di kehidupan dan tidak hanya berhenti di ranah ritual, insya Allah manusia dapat hidup dengan lebih baik. Terlepas kemudian manusia harus bergelut lagi untuk menentukan tafsir siapa yang dipakai dan dipedomani--sebuah proses yang memerlukan banyak tenaga dan kelapangan hati.

Monday, June 27, 2016 by Muhammad Haekal
Leave a comment

Leave a Reply