Ramadan di Kampung


Kampung adalah rindu. Saya sendiri memiliki tiga rindu yaitu Lamreung, Kuta Blang, dan Kuala Simpang.
 
Lamreung adalah rumah orang tua saya.

Seperti kelaziman di Aceh, Ramadan diawali oleh perasaan sejuk dan lapang di dalam hati karena bulan ini merupakan liburan panjang khususnya bagi pelajar dan mahasiswa. Ada pula kesenangan tersendiri melihat masjid yang mulai ramai, jalanan yang dipenuhi penjual penganan, dan di rumah saya sendiri, awal Ramadan biasa ditandai dengan dibelinya sekotak kurma dan beberapa botol sirup cap patung.

Keluarga kami memiliki menu khas berbuka: nasi goreng, bakwan, dan teh manis. Barisan menu sederhana itu pula yang saya masak ketika Ramadan pertama di Australia. Saya berusaha menghadirkan sebagian kecil dari kampung saya tersebut lantaran rindu. Makanan terkadang bukan melulu persoalan rasa, tapi juga kenangan di dalamnya. Di Australia sendiri, jika ada acara buka bersama, yang jadi primadona justru makanan tradisional seperti gorengan, gado-gado, atau rendang.

Mencari penganan berbuka adalah kenikmatan lain. Bukan hal yang aneh ketika di rumah menginginkan sari tebu, namun ketika pulang justru membeli kue satu plastik, tahu potong Pagar Air, mie caluk, martabak, sate matang, kari bebek, atau ayam goreng tepung. Lapar mata. Apalagi di jalan, terkadang ada saja teman yang jualan. Minimal mampir, tapi tidak enak juga kalau tidak beli, dan tidak nyaman perasaan kalau dikasih gratis.

Namun di atas itu semua, bagi saya berbuka atau sahur bersama keluarga adalah hal yang paling berharga. Momen menunggu sirene berbuka, berkumpul di ruang makan yang merangkap ruang keluarga, adalah nikmat yang sulit untuk didustakan. Kerinduan tersebut sedemikian rupa saya tepis mengingat di sini saya biasanya berbuka sendiri. Di sinilah saya sadar makna take something for granted, sebuah idiom untuk menyebutkan suatu hal yang begitu seiring terjadi, menjadi kebiasaan, dan oleh karenanya cenderung lupa untuk disyukuri keberadaaannya. Dalam konteks saya, hal tersebut adalah Ramadan di kampung.

Menjelang Lebaran tiba, kami sekeluarga biasanya pulang ke Kuta Blang dan Kuala Simpang. Keduanya semakin memperkaya arti lebaran dengan berkumpulnya kami bersama saudara-saudara. Buka puasa juga menjadi semakin meriah ketika semua paman dan bibi membawa penganan buka puasa. Di Kuta Blang, yang paling saya sukai adalah sambai peugaga, sebuah racikan daun pegagan yang dirajang halus, dicampur dengan bawang, cabai, dan kelapa parut (saya suka kelapa segar yang tidak digongseng). Sate matang, sate kambing atau sapi dari kawasan Matang yang terdiri atas empat potong per tusuk (potongan keempat adalah daging berlemak) yang disiram dengan saus kacang tumbuk kasar, kuah soto lemak sapi, dan dimakan dengan nasi putih. Rujak Cot Buket, perkawinan sempurna antara buah-buahan segar dengan sambal gula merah yang kental. Dan rujak Ulee Tutu, irisan buah-buahan campur gula, garam, dan cabai, yang kemudian disulap menjadi minuman. Sementara di Kuala Simpang, yang khas adalah jongkong, kue manis berwarna hijau yang sedikit berkuah, yang dibungkus di dalam daun pisang (hanya di jual ketika Ramadan), dan bubur pedas, mirip bubur kanji rumbi tapi lebih kaya daun-daunannya.

***

Ramadan di sebuah sisi membangkitkan kerinduan yang parah dengan kampung halaman. Sebuah hal yang saya percaya dirasakan oleh semua orang yang sedang berada di perantauan. Oleh karenanya, kata "kampung" selalu memiliki teman karib bernama "pulang". Oh Ramadan.

Sunday, June 19, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

One Comment

  1. ahhh..merasakan hal yg sama sahur dan berbuka sendiri..
    tp "kampung" dan "pulang" nya ga terlalu jauh :D

Leave a Reply