Februari, Suatu Hari


Saya terakhir bertemu dengannya Februari lalu. Penampilannya masih sama dengan waktu SMA: jins, kaos oblong, dan rambut yang tampak tidak disisir. Perbedaan kecilnya hanyalah kumis yang mulai ia pelihara.

"Gimana, wak?" Tanyanya sambil duduk dan meletakkan sebungkus Dji Sam Soe. Dia melambaikan tangan ke arah pelayan dan memesan secangkir kopi. Saya tidak tahu kapan dia menjadi perokok. Dulu kami pernah mencoba sekali-kali dan dia adalah salah satu teman saya yang cukup anti.

Semenjak dia wisuda, kami jadi lebih sering ngopi. Dulu sewaktu SMA, saya kerap berkunjung ke rumahnya sepulang sekolah untuk mendengar musik atau tidur-tiduran saja. Namun ketika kuliah, kami hanya sekali-kali saja bertemu. Dan memang, kali ini ada hal yang ingin ia ceritakan.

Setelah tamat kuliah ia dilanda kebingungan yang hebat. Dia bingung ingin bekerja atau menyambung kuliah. Memang terdengar biasa saja bagi yang belum mengenalnya. Namun ia adalah seseorang bertipe pemikir atau perenung. Ia tidak bisa serta-merta mengikuti arus dan menafikan kata hatinya sendiri. Belum lagi dengan fakta bahwa ia sudah wisuda, sangat tidak enak baginya masih bergantung kepada orangtua. Dia terlihat cukup tertekan ketika bertanya, "Sekarang aku harus bagaimana?"

Pertanyaan itu menunjukkan kebingungan. Saya yang agak terkejut hanya menjawab simpel, "Ya kerja saja sesuai jurusanmu. Atau sambung kuliah (S2) mungkin." Dia mengangguk tapi saya tahu masih ada hal yang mengganjal. Dia seperti tidak memiliki rencana. Dari caranya berbicara dan menghembuskan asap rokok, tampak ia sedang menderita.

Entah kenapa dari dulu saya terkejut dengan pemilihan jurusannya ketika kuliah. Dia memiliki bakat seni musik dan rupa yang hebat. Setiap hari dia berlatih gitar dan belajar arpeggio. Di dinding kamarnya ia melukis wajah seorang tokoh dunia dengan menggunakan arang. Dia juga menyukai bacaan-bacaan berat untuk ukuran anak SMA ketika itu. Saya ingat, suatu siang ia pernah mencuri buku Gulag karangan Aleksandr I. Solzhenitsyn dari pustaka. Dia bilang, "Buku seperti ini mana ada yang baca!" Saya pikir saat itu, orang seperti ini akan menjadi seniman atau filsuf. Namun pilihan jurusannya sama sekali lain: akuntansi. Seingat saya, dulu ia tidak pernah menyukai matematika. Kehidupan bagi sebagian orang adalah pilihan yang memaksa untuk mengikuti jalan pikiran orang lain. Entah siapa yang membisikinya mengambil jalan itu. Saya yakin, walau tidak benar-benar tahu, itu bukan maunya sendiri.

Hal tersebut mulai kelihatan di semester-semester awal. Dia mulai ragu dan beberapa kali berkata ingin pindah kuliah. Akhirnya itu terjadi. Dia pindah ke Hukum. Saya sendiri tidak benar-benar tahu apakah itu yang benar-benar ia inginkan. Saya teringat apa yang Ken Robinson katakan di bukunya, The Element (2009), bahwa sebagian institusi pendidikan memperlakukan kreativitas siswanya secara buruk, beberapa bahkan menghabisinya. Saya pikir inilah yang dialami teman saya. Sekolah dengan segala keterbatasannya hanya menganggapnya seorang anak biasa yang duduk di deretan paling belakang, padahal ia lebih dari itu. Mungkin itu salah satu faktor yang menerabas kepercayaan dirinya di kemudian hari untuk menjadi diri sendiri. Dan dari segala macam kepedihan di dunia, itu salah satu hal yang menyakitkan.

Sekarang dia berkata sedang berusaha melanjutkan kuliahnya dengan skema beasiswa. Saya bahagia mendengar ini untuk satu hal: dia tidak berhenti. Bagaimana pun akhirnya nanti, saya berharap ia menemukan apa yang ia inginkan dan menjadi dirinya sendiri—sebaik-baik bentuk dari dirinya sendiri.

Friday, September 2, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: , 6 comments

Comments (6)

  1. Kalimat pembuka paragraf pertamanya menarik. :)

  2. Alhamdulillah. Terima kasih :)

  3. Semoga ia menjadi sebaik-baik dirinya.
    :D

  4. Amiin, ya Allah.
    Makasih, bang.

  5. Tulisannya enak dibaca, ringan, membuat ingin membaca sampai selesai dan membuat ketagihan

  6. Alhamdulillah. Terima kasih.

Leave a Reply