Lin dan Detik-detik yang Dimilikinya


Lin, mahasiswi berdarah Padang itu, pernah marah sekali dengan saya. Ketika dia baru tiba di Australia, saya termasuk orang yang menurutnya susah dihubungi. Percakapan terakhir pun berlangsung tidak baik. Ketika itu bulan puasa, kuliah sedang libur, dan saya bekerja paruh waktu di sebuah perusahan jasa kebersihan (cleaning service). Dia mengirimkan pesan singkat yang saya balas satu-dua kata karena sedang bekerja. Dia kemudian bertanya mengapa saya membalas pesan dengan sepele sekali, apa saya tidak suka ia hubungi? Saya yang sedang capek tidak lagi membalas pesan itu. Mulai hari itu, dia mengaku sangat malas menghubungi saya.

Semalam, di sebuah grup Whatsapp yang beranggotakan mahasiwa asal Aceh (Lin berdomisili di Gayo, Aceh Tengah), dia mengaku sakit. Dokter mendiagnosanya gagal ginjal dan bulan depan ia akan menjalani operasi. Setelah bernegosiasi panjang dengan pihak pemerintah Australia sebagai pemberi beasiswa, alhamdulillah mereka bersedia menanggung semua biaya medis yang jika saya tidak salah, berjumlah $17000.

Saya menghubunginya malam itu. Bertanya sekali lagi tentang penyakitnya dan apakah dia ada waktu ngopi besok. Dia mengiyakan dan secara bercanda bertanya apakah saya bersedia mendonasikan satu ginjal saya untuknya? Saya menjawab tidak. "Aku sudah memberikan hatiku untuk orang lain, masak mau kasih ginjal lagi," saya balik bercanda.

Dia berkuliah di sebuah universitas yang terletak di Bundoora. Ini kali pertama saya berkunjung ke kampus itu. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam empat puluh menit. Saya menumpang bus dari Clayton pukul 07.15. Suhu pagi itu sekitar delapan derajat celcius, namun matahari bersinar sangat cerah. Saya dengan percaya diri memakai kaos tipis yang berpadu dengan kemeja lengan panjang. Uap udara terlihat jelas ketika saya bernafas.

Genangan hujan semalam masih membekas di aspal ketika saya tiba di Stasiun Oakleigh. Dari sana saya naik kereta ke Stasiun Parliament dan menyambung perjalanan dengan tram ke Bundoora. Saya mengutuk diri sendiri karena buru-buru mengejar tram, alih-alih singgah dulu di toilet stasiun. Menahan kencing di dalam moda transportasi yang hanya melaju 16 kilometer per jam bukan hal yang menyenangkan.

Melbourne, ibukota dari negara bagian Victoria, terkenal dengan sebutan "kota yang memiliki empat musim dalam satu hari". Perubahannya terkadang begitu labil. Pagi itu saya menyesal tidak membawa sweater dan payung. Hujan mulai merintik dan angin dingin berhembus menembus kemeja.

Lin adalah perempuan yang ceria. Setidaknya begitulah yang saya nilai dari beberapa kali pertemuan dengannya. Begitu pula pagi ini. Saya kemudian ingat bahwa di balik sebuah keceriaan, terkadang ada kesedihan yang dikubur dalam. Setelah berbasa-basi dan menertawakan rambut cepak saya serta dua garis 'metal' di sisinya, kami berdua berjalan ke sebuah kedai minuman yang dikelola warga Tiongkok.

***

Segelas latte dan cappucino telah dihidangkan di meja kami. Lin sejenak bangun, berjalan ke pelayan dan memintanya menghangatkan sebuah muffin.

"Jadi kenapa rupanya dengan kalian?" Lin bertanya sambil tertawa. Saya sudah menduga dia akan bertanya soal hubungan saya yang berakhir prematur. Saya bilang kalau dia menginterogasi soal ini, lebih baik saya pulang saja. Tapi tentu saja dia tidak berhenti. Setelah berputar-putar ke topik lain, dia masih kembali ke pertanyaan semula. Saya merengut karena tidak punya pilihan. Kami pun menghabiskan waktu setengah jam hanya untuk membicarakan ini. "Kalian berdua sepertinya salah," simpulnya.

Setelah sesi ice-breaking tentang saya, Lin membetulkan kacamata dan mulai bercerita tentang dirinya.

Sejak 2010 ginjalnya sudah bermasalah. Salah satu penyebabnya karena sistem autoimun yang menyerang sel-sel sehat tubuhnya sendiri. Penyakit ini membuatnya melemah dan cepat lelah. Semuanya semakin terasa ketika di saat yang sama ia harus menyelesaikan pendidikan sarjana. Kondisi kesehatan yang buruk ditambah dengan beban kuliah tak jarang membuatnya begitu tertekan dan melampiaskannya dalam tangisan.

Penyakit ini sendiri adalah antitesis dari diri Lin. Dia adalah seorang yang aktif dan gemar berorganisasi. Kondisi tubuhnya yang terus memburuk membuatnya terbatas. Ini barangkali salah satu alasan yang membuatnya kembali ke Gayo selama dua tahun pasca kuliah S1. Namun bagaimana pun, saat ini ia mensyukuri momen itu. "Paling tidak, aku bisa menghabiskan waktu bersama ibu," kenangnya. Sesuatu yang teramat ia rindukan saat ini.

Ibunda Lin juga hampir pasti tidak bisa menemani anaknya menjalani operasi. Tiket pesawat mahal. Hal ini cukup membuatnya kesepian, walau beberapa teman sudah menawarkan diri untuk menemaninya ke rumah sakit bulan depan. Lin bercerita sambil menahan air mata.

Hujan semakin menderas di langit Bundoora. Kumpulan gagak hinggap di cabang sebuah pohon seakan menantang cuaca. Beberapa mahasiswa terlihat berjalan cepat.

"Jadi sekarang sedang dekat sama siapa?" tanya Lin tanpa dosa.

Saya menepuk kepala. "Ada seorang perempuan dari daerahmu. Ya belum gimana-gimana, masih teman saja," jawab saya pelan.

"Hah?! Siapa namanya?"

Tentu saya tidak katakan.

Namun hidup ini kadang-kadang aneh. Satu pesan singkat masuk ke ponsel saya yang sedang berada dekat dengan jangkauan mata Lin. Dia membaca nama pengirimnya dan tertawa keras-keras. Adakalanya rahasia menunjukkan wajahnya tanpa diminta.

"Tapi ingat, kali ini harus pelan-pelan, jangan buru-buru, jangan ulangi lagi kesalahanmu dulu," katanya serius.

*** 

Di belakang kampus Lin terhampar cagar alam seluas 28 hektar. Dia mengajak saya ke sana. Katanya ingin sekali melihat kangguru dan binatang endemis Australia lainnya.

Lin berjalan agak kepayahan. Dia bertanya kepada petugas di sana apakah boleh menitipkan tasnya yang berat. Sayang sekali loker hanya diperuntukkan bagi para staf. Saya pun menawarkan agar tasnya saya panggul. Kebetulan ransel saya juga tidak berat.

Pintu masuk hutan terbuat dari besi. Hujan mulai reda ketika kami memasukinya. Aroma daun mulai terasa.

Baru dua ratus meter berjalan, empat kangguru terlihat sedang melahap tumbuhan. Salah satunya memperhatikan kami yang mendekat, lalu kembali makan. Lin ingin sekali berfoto bersama mereka, tapi sayangnya binatang itu sedang tidak ingin diganggu.

Kami terus berjalan memasuki hutan. Ada dua kelompok anak taman kanak-kanak yang sedang memperhatikan tumbuhan di bawah pengawasan gurunya. Langit mendung lagi. Hujan kembali merintik. Lin mengambil payung dari tasnya dan memberikannya kepada saya.

Lin bercerita bahwa dia suka sekali jalan-jalan, khususnya ke tempat yang belum pernah ia kunjungi. Ia jarang mengunjungi tempat yang sama berkali-kali. Kondisinya yang terus menurun membuatnya tidak bisa sering lagi melakukan itu. "Suatu hari aku ingin sekali jalan-jalan sebuah tempat di kota. Kuajak seorang teman. Sampai di sana, aku malah banyak duduk karena gak sanggup jalan. Temanku marah-marah," katanya sambil tertawa.

Di hutan ini dia juga sudah beberapa kali minta istirahat. Sialnya, kami beberapa kali salah menebak arah pulang. Dalam hati, saya khawatir jika kami tersesat di tempat seluas ini. Warna langit juga semakin kelabu. Rinai hujan berubah lebat. Saya bercanda dengan pura-pura membaca berita tentang dua orang mahasiswa yang tersesat di hutan kampus dan terpaksa dijemput tim SAR.

Kami berhenti lagi di sebuah batang kayu yang telah mati. Lin merasa capek sekali dan dia ingin duduk beberapa menit di situ.

"Andai aku punya kesehatan sepertimu, aku mau melakukan banyak hal," kata Lin. Dia ingin mencoba berbagai olahraga ekstrem dan berpetualang antar negara. Dengan kondisinya sekarang memang itu tidak mungkin, tapi ia menyukuri satu hal. "Sekarang aku menjalani hari dengan sepenuhnya. Kalau aku fit sedikit aja, aku mau maksimal melakukan banyak hal selagi masih bisa. Dengan penyakit ini, aku bisa lebih menghargai setiap detik yang kumiliki. Tak lagi take for granted."

Hujan semakin deras.

"Kamu pernah dengar lagu ini?" Lin mengeluarkan ponselnya, membuka Youtube, dan memutar lagu OneRepubic berjudul I Lived.

Saya tahu kenapa ia menyukai lagu itu. Orang yang diceritakan lagu tersebut mirip seperti dirinya.

***

Lin mengantar saya sampai ke halte bus kampus. Katanya saya harus naik bus nomor 350 jurusan kota dan turun di Jalan Spring. Bus yang kami tunggu datang sepuluh menit kemudian.

Insya Allah pertengahan Oktober Lin akan menjalani operasi. Saya lupa jenis gagal ginjal apa yang ia derita, tapi jika saya tidak salah tangkap, ia harus melakukan cuci darah setiap hari di rumah pasca pembedahan. Alatnya akan dipinjamkan rumah sakit dan ia akan diajari cara pemakaiannya.

Semoga semuanya berjalan lancar untuknya. Insya Allah.

Mohon doakan Lin, teman saya []

Tuesday, September 27, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

One Comment

  1. La basaa Thohurun insya Allah Lin :)

Leave a Reply