Masak


Saya adalah dua bersaudara. Adik laki-laki saya, Apau, adalah pelajar kelas dua SMP. Usia kami terpaut 12 tahun. Berhubung tidak ada perempuan di rumah selain mamak, kami biasa menyapu, mencuci piring, dan mengerjakan pekerjaan rumah lain, termasuk memasak.

20 tahun lalu, ketika Cik Bulat, kakak kandung mamak saya masih hidup, saya dan mamak kerap berkunjung ke rumahnya di Lieue. Biasanya ketika kami tiba, dia sedang mengayun anaknya, Rizki, yang saat itu masih bayi dan gemar sekali memakan bagian buntut pisang goreng yang lunak. Saya ingat di sanalah saya mulai berani memegang pisau. Menggunakannya untuk merajang bawang yang kemudian saya berikan kepada Fajar, kakaknya Rizki, untuk dicampur ke adonan telur dadar.

Saya mulai diizinkan menyalakan kompor ketika berumur delapan tahun. Ketika itu saya sering sekali menggoreng telur dadar, namun jika satu bagiannya sudah matang, mamak masih membantu saya membalikannya. Saya juga suka membuat nasi goreng sederhana, dengan irisan bawang dan kecap asin, yang rasanya sulit untuk dikatakan menyenangkan. Linda, mahasiswi kos yang tinggal di sebelah rumah saya, kerap tertawa dengan rasa makanan yang buat. "Tapi paling tidak, kamu selalu memakan sampai habis apapun yang kamu masak sendiri," katanya. Kata-kata itu terus terngiang di benak saya  sampai sekarang. Sehingga saya paling jarang menyisakan makanan apapun, khususnya yang saya racik sendiri. Sekacau apapun hasilnya.

Di rumah, saya paling sering berputar-putar di dapur, membuka tudung saji di meja makan, dan melongok ke dalam kulkas. Saya gampang sekali lapar. Terkadang hal itu menjadi kebiasaan sehingga mamak saya kerap berkata, "Tidak ada yang berubah di situ. Masakannya masih itu-itu aja." Saya juga hampir setiap hari berdiri di samping mamak ketika beliau sedang memasak. Saya suka dengan aroma bumbu yang ditumis. Mamak sendiri, seperti ibu-ibu rumah tangga kebanyakan, bisa memasak banyak sekali jenis menu. Namun yang terenak bagi saya adalah balado ikan tongkol. Sampai sekarang, balado mamak itu yang sudah sekali saya tiru rasanya.

Memasak adalah salah satu pereda stress bagi saya. Dari belanja, meracik bumbu, dan memasaknya adalah proses yang panjang. Saya alhamdulillah bisa mengolah berbagai macam gulai (kebanyakan khas Aceh), panggangan, sambal, dan gorengan semacam bala-bala, tahu isi, atau pisang goreng. Melihat orang lain memakan hasil masakan saya juga menjadi kebahagiaan tersendiri. Tempat kos juga merupakan 'laboratorium' belajar yang baik. Saya tidak pernah kehabisan mulut untuk diberi makan. Terlebih mahasiswa biasanya gampang sekali lapar. Tidak dipersilakan juga mereka santai saja mengambil sendiri! Haha.

Saya tinggal dengan dua orang mahasiswa. Aji, bapak satu anak asal Sunda. Riki, mahasiswa dari Aceh. Aji gemar juga memasak. Di antara sekian menu yang bisa dibuatnya, kami paling suka dengan bala-bala dan tahu isi. Riki sering bercanda bahwa orang Sunda dilahirkan dengan keahlian memasak gorengan. Dia sendiri curiga jika Aji dulunya bekerja sebagai penjual batagor.

Oleh karena kesenangan memasak itu, saya jarang makan di luar kecuali untuk mencoba menu-menu asing. Beberapa minggu lalu misalnya, saya pergi ke Springavale khusus mencoba mie Pho Vietnam. Itu salah satu mie kuah terbaik yang pernah saya makan. Alhamdulillah. Di kawasan itu pula, saya menyempatkan singgah di kedai kopi Vietnam yang entah kenapa sedang begitu sendu dengan iringan piano An Coong. Saya pun menikmati kopi sambil banyak terdiam dan merenung. Oh Tuhan.

Friday, September 9, 2016 by Muhammad Haekal
Categories: 6 comments

Comments (6)

  1. yaudah sih kal balik aceh buka warung makan aja nanti :)

  2. Wouww,,keren sekali tuh

  3. Alhamdulillah. Terima kasih.

Leave a Reply