Politisi

Sejak dulu, politisi bisa menggunakan apa saja sebagai kenderaannya.

Di zaman Orde Baru, mereka karib dengan militer. Apapun bisa mudah jika bisa menjilat militer, berteman dengan militer, atau di tingkat yang paling licik, menyamar sebagai militer, pura-pura memakai baju loreng. Kini, militer masih menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan, memaksakan kebijakan. Maka tak heran, dari dulu militer sulit mewujudkan rasa aman di hati masyarakat. Apakah kau merasa tenang jika bertemu dengan oknum militer di tepi jalan? Bagaimana rasa kopimu jika tiba-tiba oknum militer masuk ke kedai?

Di zaman ini, politisi menggunakan jubah agama. Kopiah dipercaya bisa menambah jumlah suara. Ayat-ayat suci dipakai menjadi ayat-ayat politik. Para ulama, yang taat namun lugu dan menghindari berburuk sangka, dipengaruhi untuk diajak berkampanye, mengtepung-tawari calon-calon penguasa, menggerakkan jamaahnya ke bilik-bilik suara. Pemilu disamakan dengan perang suci. Para politisi calon penguasa dianggap nabi yang harus dibela dengan cara memenangkannya di pemilihan, bagaimanapun caranya. Di luar politik, tren memakai jubah agama juga bisa dilihat misalnya di pengadilan. Berapa banyak tersangka yang tiba-tiba memakai peci dan kerudung di depan hakim? Mereka berharap aksesoris tersebut bisa meluruhkan dosa pidana, mengurangi jumlah hukuman.

Politisi adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab menjadikan agama seakan-akan perkara simbol dan ritual semata, nirmakna dan nirlogika. Alhasil, sebagian orang menjadi religius namun lugu. Agama dijadikan alasan untuk tidak perlu banyak berpikir dan bertanya, padahal ilmu selalu bersanding dengan amal. Ketika saringan bernama otak itu tidak lagi dipakai, fakta dan fiksi bercampur tak menentu. Orang-orang menjadi mudah dipengaruhi dengan berita yang tak jelas pijakan jurnalistiknya. Informasi yang disukai diterima, yang masuk akal disebut konspirasi. Post-truth.

Di zaman ketika politik menjadi sesuatu yang menjijikkan, banyak orang menjadi apatis. Aku termasuk salah satunya. Namun suka atau tidak, politik dan politisi akan selalu menjadi aspek penting dari sebuah negara. Gie (1983) menyebut bahwa politik adalah kubang lumpur, dan ada satu masa ketika kita harus memasukinya []

Saturday, July 15, 2017 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Leave a Reply