Archive for 2018

Kelana


2018. Dan aku telah bersiap-siap untuk berkelana lagi. Kali ini tidak sendiri.

28 tahun akan menjadi sia-sia jika aku hanya menanam diri di sini. Aku memilih pergi dan melihat dunia yang luas ini.

Oktober. Dan waktu terus berlari. Koperku akan segera berisi lagi []

Monday, October 29, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: , 1 comment

Ekstrovert atau Introvert?

Bagaimana sebenarnya penjelasan konsep ekstrovert dan introvert? Mari kita menyimak video berikut ini.

Sumber video: Accidentally in Life

Tuesday, October 23, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: , , , , , , Leave a comment

Puisi Kampus


Sumber: Serambi Indonesia, 21 Oktober 2018

Saturday, October 20, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: , , , , Leave a comment

Akreditasi Kampus dan Kebohongan

(Sumber: Nathan Dumlao)

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.  Dalam praktiknya, ada beberapa poin yang dinilai. Mengutip artikel dari blogs.itb.ac.id, aspek-aspek tersebut antara lain:
  • Kurikulum dari setiap program pendidikan.
  • Jumlah tenaga pendidik.
  • Keadaan mahasiswa.
  • Koordinasi pelaksanaan pendidikan, termasuk persiapan sarana dan prasarana.
  • Kesiapan administrasi akademik, kepegawaian, keuangan dan rumah tangga dari perguruan tinggi.
Seyogianya, tidak ada yang keliru dari proses ini. Dengan melakukan akreditasi, kampus akan mengetahui seberapa tinggi kualitas yang mereka miliki, dan melakukan perbaikan di bidang-bidang yang masih memiliki kekurangan. Bagi pemerintah sebagai pemegang otoritas, akreditasi akan memberikan gambaran terkait apa saja yang perlu disuntikkan pada sebuah kampus agar bisa lebih baik di masa depan. Bagi calon mahasiswa, akreditasi berguna untuk menilai kualitas kampus sebelum mereka mendaftar. Selain itu, berbicara tentang dunia kerja, akreditasi akan memudahkan perusahaan untuk menjaring calon-calon pekerja sesuai standar yang mereka tetapkan.

Itulah letak permasalahannya.

Akreditasi yang notabene adalah alat ukur kualitas kampus, di beberapa kampus, justru dimanipulasi prosesnya untuk mendapatkan nilai terbaik (A). Alasan yang seringkali dipakai untuk menjustifikasi hal ini adalah: dengan akreditasi A, kampus akan berpeluang memperoleh lebih banyak mahasiswa baru; alumni akan berkesempatan bekerja di perusahaan/ instansi ternama. Semacam simbiosis mutualisme.


Memang tidak ada yang salah dengan target capaian seperti itu. Yang keliru adalah proses manipulasi atau fabrikasinya. Bagaimana mungkin kampus yang notabene berperan sebagai pencerah di tengah masyarakat, justru menetapkan standar moral yang begitu rendah hanya untuk memperoleh nilai A dalam akreditasi. Terlebih, dalam praktik ini, terkadang saya melihat, dosen atau staf di kampus ikut melibatkan mahasiswa. Sadar atau tidak, bukankah ini termasuk pendidikan korupsi?

Saya pikir, universitas perlu serius untuk berubah. Saya tahu sebagian akademisi tidak senang dengan praktik ini. Tinggal perlu keberanian untuk berbicara, mengubah hal yang telah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun. Ingatlah bahwa universitas adalah salah satu tempat di mana generasi muda belajar, dan setelah lulus mengisi posisi-posisi pengabdian di tengah masyarakat. Jika terus seperti ini, generasi seperti apa yang sedang kita coba lahirkan? []

|
|
|
*kalword.blogspot.com akan selalu menjadi situs gratis yang mengangkat isu-isu penting di sekitar kita. Untuk mendukung blog ini, silakan klik iklan yang terdapat di sebelah kiri layar. Terima kasih atas kunjungan dan perhatian teman-teman!

by Muhammad Haekal
Categories: , , , , Leave a comment

Generasi Tanpa Kantor di Aceh

(Sumber: Sebastiaan Stam)

Generasi tanpa kantor. Saya pertama kali membaca artikel tulisan Rakhmad H.P ini di situs Detik.com. Di sana, dia menulis bagaimana pengalamannya mengundurkan diri dari sebuah perusahaan, dan memilih bekerja di rumah. Keputusannya tersebut diiringi semprotan bosnya yang membandingkan antara generasi pekerja sekarang (milenial) cengeng, dan sebaliknya generasi si bos tersebut (boomers dan X) bermental lebih kuat.

Saya pribadi menganggap stereotip antar generasi ini perlu dikaji lagi lebih lanjut. Ketika seseorang memilih keluar dari sebuah perusahaan, hal ini tidak semata-mata karena dia tidak sanggup bekerja, apalagi karena dia berasal dari suatu generasi. Tapi lebih daripada itu, yang semestinya perlu dicermati adalah "kenapa" dia tidak memilih keluar. Apakah karena visi perusahaan tidak jelas, supervisinya terlalu ketat, ketidak-sesuaian antara deskripsi kerja di kontrak dengan realitas, durasi bekerja yang teramat panjang, ketiadaan unsur rekreasi di kantor, dsb. Lebih lanjut, pelabelan atas "generasi" tentu tidak adil mengingat setiap manusia itu unik. Isu akan beda kasus per kasus.


Tulisan ringan ini sendiri bukan hendak membahas problematika konsep generasi X, Y, Z, dst. Namun ingin menyinggung bahwa generasi tanpa kantor itu ada, dan mereka bisa hidup secara cukup dari pekerjaannya. Kali ini saya menulis dalam konteks Aceh, Indonesia. Artikel ini akan membahas sekelumit kasus yang bisa jadi tidak mewakili populasi pekerja tanpa kantor di provinsi paling barat Indonesia ini, namun paling tidak dapat memberikan gambaran kecil.

Saya mendefinisikan generasi tanpa kantor sebagai seseorang yang bekerja secara independen, durasi waktu fleksibel, tanpa terikat penuh waktu dengan sebuah perusahaan (atau terikat dengan perjanjian berbasis per satu kontrak pekerjaan). Mereka bisa 'berkantor' di mana pun, yang paling penting adalah pekerjaannya selesai tepat waktu. Definisi ini sangat mirip dengan konsep freelance. Sehingga menurut saya, generasi tanpa kantor bisa disamakan dengan freelance generation.

BPS Aceh (2018) menyebutkan, jumlah penganggur di Aceh pada Februari 2018 mencapai 154 ribu orang, sementara jumlah yang bekerja adalah 2,2 juta orang. Survei BPS Aceh ini sendiri memiliki kekurangan antara lain, ia tidak menjelaskan apa yang dimaksud sebagai pengangguran, dan mengapa seseorang menjadi pengangguran. Selain itu, survei ini hanya menyentuh sektor-sektor seperti pertanian, kontruksi, pertambangan, dsb. Artinya, ada sektor-sektor pekerjaan lain yang tidak disentuh oleh BPS. Walaupun demikian, setidaknya survei ini telah menyentuh aspek umum bahwa kuat dugaan, ada individu-individu yang tidak tersentuh oleh bidang pekerjaan arus utama di Aceh.

Lida (bukan nama sebenarnya), adalah seorang sarjana Ilmu Sosial dari sebuah kampus di Aceh. Namun berbeda dengan apa yang ia pelajari di kampus, ia justru memiliki minat dan bakat di bidang musik. Ia pernah berkata bahwa ia hampir tidak memiliki imajinasi untuk bekerja, katakanlah sebagai PNS di Aceh. Selain sulit mencari formasi sesuai dengan bakatnya, dia merasakan lebih nyaman bekerja secara independen. Dia pun terus mengasah bakatnya di bidang musik, dan sempat mengikuti kursus di Pulau Jawa. Saat ini, dia aktif memasarkan musiknya, kebanyakan adalah audio untuk keperluan perusahaan, di situs-situs, seperti Envato. Dia menghargai musiknya $8 - $45 tergantung  durasi dan tingkat kesulitannya. Konsumennya banyak berasal dari luar Indonesia. Dengan pendapatannya selama ini, dia bisa membangun studio musik pribadi di rumahnya. Sehari-hari dia bekerja di sana. Selain itu, dia juga mengaku bisa bekerja di mana pun. Yang penting dia membawa laptop.
(Sumber: Omar Prestwich)
Seorang teman lain, masih juga dalam bidang kreatif, bekerja mendesain huruf (font) dan format cetak (template) majalah. Dia juga memasarkan karyanya di situs-situs luar negeri. Ayah satu anak ini, berkata bahwa pekerjaannya itu cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi karena ia dibayar dengan Dollar Amerika. Untuk menambah penghasilan, ia turut mengerjakan pekerjaan desain spanduk dan brosur untuk pasar di Aceh.

Beberapa kenalan saya lain, mencari nafkah dengan membuat situs, menulis opini, dan menerjemahkan dokumen. Walaupun dari segi pendapatan relatif tidak pasti, namun sejauh ini, mereka mengaku hidup cukup dari pekerjaannya. Tiga aspek terpenting dari bekerja seperti ini adalah promosi, produktivitas, dan kualitas. Sepanjang mereka bisa memenuhi tiga poin tersebut, tawaran proyek terus berdatangan. Kebanyakan dari langganan.

Hampir semua dari mereka tidak memulai karir dengan mudah. Mereka melalui bulan demi bulan tanpa pemasukan. Lida menyebutkan, pada saat merintis dulu, dia sempat berkali-kali ditolak untuk mengunggah musiknya di sebuah situs.

"Kualitas musikku dulu masih di bawah standar pasar," katanya.

Seiring waktu, mereka terus meningkatkan kemampuan individu, dan perlahan memperbaiki kualitas produknya.

Aceh bagi saya, belum menjadi tempat bagi berkembangnya semua kemampuan. Berbicara dalam konteks yang lebih luas, di sini, kemampuan seperti membalap (racing), bermain games, bahkan sepakbola, belum dianggap serius. Alhasil, jika ada individu-individu yang menekuninya, tidak didukung maksimal, dan bahkan dipandang sebelah mata. Di kasus-kasus tertentu, orang-orang ini terpaksa bekerja di bidang yang tidak mereka sukai hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Fenomena generasi tanpa kantor, walaupun tidak menyelesaikan persoalan pekerjaan secara mengakar, namun menyediakan alternatif bagi orang-orang yang tidak terserap oleh pasar di level lokal.

Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian punya pendapat berbeda? Saya tunggu balasannya di kolom komentar []

|
|
|
*kalword.blogspot.com akan selalu menjadi situs gratis yang mengangkat isu-isu penting di sekitar kita. Untuk mendukung blog ini, silakan klik iklan yang terdapat di sebelah kiri layar. Terima kasih atas kunjungan dan perhatian teman-teman!

Friday, October 19, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: , , , , 2 comments

Salah Satu Cara Membantu Pemimpin


Menjadi pemimpin itu tidak mudah. Di dunia banyak hal yang mesti dia urus. Dalam ajaran Islam, bahkan nanti di akhirat pemimpin adalah salah seorang yang paling sulit melewati birokrasi malaikat jika selama hidupnya dia tidak beres menjaga amanah.

Setiap hari, paling tidak sekali saya menggerutu dengan jalan yang berlubang. Apalagi kalau sedang hujan, bisa-bisa jadi kubangan. Dan entah ada berapa kekesalan lain yang keluar misalnya ketika listrik mati, air PDAM macet/ keruh, dan lain-lain. Itu masih saya sendiri. Rakyat lain tentu memiliki keluhan mereka masing-masing. Saya yakin, walau tentu tidak sepenuhnya percaya diri karena tidak melihat, gerutuan saya ini sampai ke telinga malaikat. Di tahap ini, saya kasihan dengan pemimpin dan sebenarnya tidak habis pikir, mengapa mereka mau habis modal banyak untuk mendapatkan posisi itu.

Salah satu cara sederhana membantu pemimpin adalah dengan mengkritik. Rantai birokrasi yang panjang, bisa jadi menyulitkan beliau untuk melihat masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat.

"Ibu/ Bapak, jalan di kampung kami berlubang. Kami jadi susah ketika mengantar anak ke sekolah, belanja ke pasar, dan pergi ke rumah ibadah. Belum lagi sepeda motor kami jadi cepat rusak. Kalau begini terus, bukan saja aktivitas kami terhambat, ibu/ bapak, tapi kami juga jadi gampang marah dan emosian. Tolonglah perbaiki jalan ini segera!"

Kritik ini bisa disampaikan langsung. Di kampung saya misalnya, pemimpin (level bupati) sering diundang masyarakat kampung untuk menghadiri kenduri maulid.

Kritik bisa pula dikirim ke media massa melalui rubrik opini, misalnya.

Jika punya kemampuan, seseorang juga bisa membuat video sederhana lalu mengunggahnya di Youtube agar jadi bahan untuk dipikirkan bersama.

Jika tidak pandai berbicara, seseorang bisa menanam pohon di jalan yang rusak. Tentu pohon yang dipilih tidak usah besar-besar, seperti beringin atau trembesi, cukup tunas pohon pisang atau kelapa []

Wednesday, October 17, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Seorang Teman yang Berangkat


Suatu hari, seorang temanku berangkat menuju ibu kota. Aku menunggunya di bandara. Itu pertama kali dia naik pesawat.

Beberapa bulan lalu, dia mendapatkan surel pengumuman kelulusannya pada sebuah program beasiswa. Seingatku, dia paling tidak sudah lima kali melamar namun gagal. Usaha terbarunya juga merupakan percobaan terakhir, katanya dulu.

Mengenai kegagalannya di masa lalu, aku percaya hal itu terjadi bukan karena dia bodoh. Dia seringkali gugur di tahap wawancara. Bagiku, dia adalah tipe orang yang menggebu-gebu dalam menyampaikan pendapat. Jika orang belum mengenalnya, dia mungkin akan dianggap emosional dan intimidatif. Padahal, dia adalah orang yang terbuka untuk perbedaan. Walaupun misalnya dia dalam posisi tidak setuju, dia akan selalu memosisikan diri untuk berdiskusi, bukan berdebat. Di seleksi yang terakhir, kupikir dia berhasil berbicara lebih tenang.

Di akhir pekan, kami sering nonton bola di sebuah kedai nasi goreng yang relatif sepi. Nasi gorengnya enak, namun entah kenapa, banyak pembeli lebih memilih menyantapnya di rumah. Di sana siaran bola disorot ke layar menggunakan proyektor. Karena seringkali yang menonton cuma kami berdua, kami bebas memilih pertandingan apa yang ingin kami tonton. Dalam banyak kesempatan, kami memilih pertandingan Arsenal. Itu merupakan klub favorit teman saya. Pendukung klub ini terkenal setia, walau tahun demi tahun berlalu tanpa gelar juara liga.

Kami sering membicarakan apa saja tentang politik, pendidikan, dan isu-isu hangat lainnya. Berdiskusi bagiku adalah salah satu cara menjaga kewarasan dan mengurangi stres. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang enak diajak ngomong, apalagi kalau sudah menyentuh isu-isu sensitif. Sebagian orang cepat marah dan bisa menggebrak meja jika mendengar pendapat yang berbeda dari pikirannya.

Aku tidak lama menjabat tangannya di bandara. Dia datang agak terlambat, dan pesawat akan segera berangkat. Kepergian seorang teman, bagiku bukanlah hal yang mudah. Aku berdoa untuk keselamatan dan kesuksesannya di masa depan. Sampai jumpa lagi! []




Monday, October 15, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Belajar Berkata "Tidak"


Film Yes Man (2008) yang  diperankan oleh Jim Carrey sebagai aktor utama, dalam beberapa adegannya, menekankan pentingnya berkata "ya" terhadap segala sesuatu. "Ya" akan menuntunmu ke mana pun. Dan itu bisa berarti baik atau buruk.

Saya merasakan ketika hidup di Aceh, Indonesia, cukup sulit menolak permintaan seseorang. Apalagi ketika orang tersebut memiliki hubungan persaudaraan atau pertemanan yang karib. Saya misalnya, sering menerima tawaran pekerjaan hanya karena tidak enak menolaknya. Takut menyakiti hati. Efeknya, bukan hanya pekerjaan sehari-hari saya yang terganggu, tapi juga pekerjaan yang baru saya terima. Kata "ya" yang saya berikan sebagai jawaban, dalam hal ini tidak bermanfaat secara maksimal bagi penerima dan pemberi pekerjaan.

Saking seringnya berkata "ya," saya juga jadi punya kebiasaan "menerima dulu, menolak kemudian." Maksudnya, saya cenderung tidak pikir panjang ketika ditawari pekerjaan, namun baru merenung setelahnya. Buruk sekali.

Saya percaya, setiap orang perlu belajar berkata "tidak." Atau paling kurang, meminta tenggang beberapa hari sebelum menjawab sebuah tawaran. Jika cocok, terimalah. Jika tidak, tolaklah dan berterima kasih. Saya pikir hal ini lebih adil kepada diri sendiri, dan orang lain. Menolak tidak selamanya buruk, begitu pula sebaliknya []

Saturday, October 13, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Rehat


Aku memilih beristirahat sejenak. Merapikan lagi rencana yang berantakan di atas meja.

Suara-suara bermunculan. Sebagian bukan berasal dari hatiku sendiri.

Seperti semua hal ingin tampil dan diperjuangkan. Namun aku hanya memiliki 24 jam dan menit-menit yang sempit.




Tuesday, October 2, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Seperti Debu Ditiup Angin


September-Oktober 2018 adalah serakan aktivitas yang berantakan. Aku mengajar sekitar 14 SKS. Sebagian mata kuliah cukup kukuasai, sebagian adalah hal lama yang tidak kunikmati, dan ada pula yang diamanahkan tanpa kuduga sebelumnya. Jualan buku tersendat. Jualan ayam kuputuskan berhenti. Dan sekarang, aku diambang kick-off proyek pendidikan inklusif di Kuala Simpang. Oya, aku hampir lupa mengatakan bahwa hampir setiap hari aku menyempatkan diri untuk menyentuh beasiswa. Keinginan untuk berkuliah lagi masih besar sekali. Aku pun tidak juga ingin melewatkan kesempatan untuk mengikuti tes CPNS. Jika ada tawaran menerjemahkan dokumen, aku juga kemungkinan menerima. Di sisa-sisa waktu, aku menulis artikel untuk media massa, dan satu pun belum ada yang diterbitkan. Benar-benar menguras pikiran dan tenaga.

Aku selalu punya bayangan bisa memiliki sebuah pekerjaan yang memungkinkanku untuk fokus di satu hal itu saja. Berpindah-pindah kegiatan tidak hanya membuat lelah, tapi juga membuat seluruh kegiatan tidak maksimal kulakukan. Ini adalah salah satu hal yang tidak kusukai dari pekerjaan sebagai dosen luar biasa. Gaji yang satu semester sekali, membuatku mesti menguras otak untuk mencari berbagai sumber pemasukan.

Menulis harian seperti ini adalah sebuah usaha menjaga akal sehat. Terkadang aku tidak bisa menduga ke mana aku akan pergi. Seperti sebuah perjalanan tanpa ujung. Aku membayangkan diri bisa berhenti dari hiruk-pikuk kegiatan ini, dan mendesain ulang semuanya dengan lebih rapi. Sekarang aku tidak tahu sedang mengikuti rencana siapa. Mungkin aku sekarang adalah debu yang terbang bersama angin yang tidak jelas alurnya ke mana.

by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Penjual Buku

Hidup terus berlanjut. Walau masih penuh kekurangan sana-sini, aku perlu menyiasatinya. Pekerjaan yang kuharapkan belum kudapatkan. Namun paling tidak, walau aku melakukan hal yang sebelumnya belum pernah kupikirkan, hal ini adalah salah satu kegiatan yang kunikmati. Ya, bulan ini aku mulai berjualan buku.

Gramedia dan beberapa toko buku kecil memang ada di Banda Aceh. Namun secara pribadi, aku terkadang kesulitan menemukan buku yang 'menarik.' Dulu, di Aceh pernah ada toko buku Dokarim yang digagas Komunitas Tikar Pandan. Namun seiring waktu, ia perlahan surut dan sekarang setahuku, ia tidak lagi menghamparkan lapak. Kesulitan ini pun rasanya dirasakan oleh sebagian orang di Aceh. Inilah salah satu alasanku memilih menjual buku.

Aku kemudian cukup bersyukur bisa menjalin kerjasama dengan beberapa penerbit dan distributor, seperti Mojok, INSISTPress, Marjin Kiri, Pojok Cerpen, dan baNANA Publisher. Aku pun kemudian cukup berbahagia bisa menjual buku di Banda Aceh dengan harga yang tidak jauh berbeda--bahkan untuk beberapa judul bisa sama dengan harga di Pulau Jawa.

Usaha ini kemudian menjadi lebih menarik karena aku menjalaninya dengan istri sendiri. Ada kenikmatan tersendiri ketika membangun sesuatu dari awal (dan dari nol) bersama-sama dengan seseorang yang kusayangi dan kupercayai.

Seperti halnya bisnis lain, penjualan buku juga tidak selalu lancar. Adakalanya, pembeli seperti tidak berhenti, namun bisa jadi sebaliknya. Sejauh ini, buku "Kura-kura Berjanggut" karya Azhari Aiyub, masih menjadi pembelian favorit di toko kami, KaNal Buku. Secara pribadi, aku pun masih dalam taraf menebak-nebak selera buku pembaca di Aceh. Di samping itu, kami juga tidak lupa bahwa KaNal Buku tidak bisa menjual sembarang buku mentang-mentang ia judul favorit. Paling tidak, buku yang kami jual juga mesti sesuai dengan nilai-nilai yang kami percayai. Seperti halnya makanan yang mengandung nilai gizi tertentu, buku juga dapat mempengaruhi pembaca. Kami tidak ingin menjual racun-racun intoleransi dan ekstremisme.

Hidup terus berlanjut. Dan aku menemukan satu kepingan diriku di Juni 2018 ini: penjual buku []

Tuesday, June 26, 2018 by Muhammad Haekal
Leave a comment

28

28
Berencana lagi untuk kesekian kali
Pergi sementara, namun lebih lama
Di sini aku mengendap dan mulai keruh.

Thursday, May 31, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Harapan

Seorang teman pernah mengeluh: “Apakah orang-orang yang berpikir, mengkritik, dan menawarkan saran, tak punya tempat di masyarakat kita? Orang-orang seperti itu dibayar murah, bahkan seringkali tak diberikan imbalan apa-apa.”

Saya menggeleng tidak tahu. Itu juga menjadi pertanyaan bagi saya.

Dia kemudian bercerita tentang seorang temannya di kampung yang sukses berjualan parfum.

“Sekarang dia sudah punya ruko berpintu tiga. Jika aku pulang kampung, aku menghindari bertemu dengannya karena malu.”

Teman saya ini baru pulang studi di negara asing. Sekarang dia belum memiliki kerja tetap dan kerap ditekan keluarganya sendiri. Di sisi lain, dia kerap sakit melihat bagaimana ketidakadilan terus dibiakkan.

Saya sejenak ingat, ada sebuah negeri di dunia ini, ketika hampir semua orang memiliki tempat, setiap pekerjaan diperlakukan adil. Di sana, seorang penjual buah-buahan bisa membeli mobil hybrid, penyedia jasa pembersih bisa membeli rumah (bukan sekadar menyewa!), dan guru atau dosen mampu fokus mengajar dan meneliti—tanpa pusing memikirkan persoalan keuangan. Kebanyakan orang di sana bekerja dengan waktu yang masuk akal dan bayaran yang sesuai. Mereka juga memiliki waktu berkualitas dengan keluarga. Di sana, orang-orang memiliki kemerdekaan menjadi diri sendiri. Perbedaan pendapat ditempatkan dalam ruang diskusi. Permasalahan ditelaah dan dicarikan solusinya. Salah satu surga dunia.

Saya tidak tahu kapan Indonesia bisa mencapai keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Negara kita besar. Penduduknya padat dan majemuk. Sayangnya kita sedang dibelenggu dengan masalah yang kompleks dan berlapis-lapis. Sementara kebanyakan elit di negeri ini memilih menyelamatkan diri sendiri. Padahal mereka punya kekuatan untuk membuat kebijakan.

Orang-orang tertindas yang menyadari posisinya mesti bangkit. Bersuara dan berbuat sesuatu. Berorganisasi, tidak sendiri-sendiri. Belajar untuk memahami apa persoalan dan bagaimana pilihan solusinya. Kita memerlukan perubahan yang radikal: perubahan secara menyeluruh dan mendasar dari sistem []

Tuesday, May 29, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Beberapa Hal yang Mengecewakan di Kampus



Jika dihitung dari tanggal saya mengumpulkan tesis (31 Januari 2018), maka saya sudah berada di Aceh, Indonesia, hampir empat bulan. Saya menjalani hidup sekarang sebagai seorang dosen luar biasa, suami, dan di waktu senggang, saya menyempatkan diri menjadi sukarelawan di beberapa organisasi nirlaba.

Aceh memang memerlukan banyak perubahan di hampir semua lini. Dalam tulisan kali ini, saya akan membicarakan secara singkat salah satu di antaranya: pendidikan tinggi atau universitas.

Nepotisme

Beberapa waktu yang lalu, sebuah universitas di Aceh mengadakan perekrutan dosen tetap non-PNS. Salah seorang rekan saya yang mengikuti seleksi mengaku, sewaktu ia mengikuti seleksi tahap akhir (wawancara), penguji menyampaikan kepadanya bahwa seleksi ini hanya formalitas belaka. Nama peserta yang lulus sudah ada bahkan sebelum tes berlangsung. Memang kemudian, peserta yang lulus pada posisi tersebut adalah seseorang yang diketahui memiliki hubungan keluarga dengan seorang pejabat kampus. Peserta yang lulus ini menyingkirkan nama-nama kandidat dengan rekam jejak akademik jauh mengungguli dirinya.

Ada pula beberapa cerita mirip yang disampaikan oleh beberapa rekan. Artinya, untuk bekerja di sebagian universitas di Aceh, dibutuhkan koneksi yang kuat dengan pejabat kampus. Lalu apa artinya kampus membuka rekrutmen? Di mana letak harga diri civitas akademika, jika pada tingkat perekrutan dosen pun dilalui dengan praktik nepotisme yang vulgar. Di mana perwujudan visi kampus, misalnya pengintegrasian nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Jika internal kampus masih lekat dengan praktik haram seperti nepotisme, tidak perlu banyak berharap universitas dapat menyelesaikan problem-problem di masyarakat. Belum lagi jika kita berbicara tentang potensi kehilangan tenaga pengajar yang berkualitas. Bukan tidak mungkin, orang-orang yang merasa diperlakukan curang oleh sistem memilih berkarir di tempat yang lebih adil.

Akreditasi

Seorang mahasiswa di kelas saya protes. Dulu menjelang tamat SMA, dia mendapatkan brosur promosi kampus. Di dalamnya diterangkan bagaimana kampus tersebut memiliki kurikulum berkualitas, fasilitas lengkap, tenaga pengajar andal, dan lain sebagainya. Setelah kuliah selama dua semester di jurusan berakreditasi A, dia merasa semua itu hanya janji belaka.

Banyak orang silau melihat akreditasi, apalagi jika statusnya adalah "A", yang notabene merupakan nilai terbaik. Saya melihat sendiri proses akreditasi, di sebagian kampus, adalah omong kosong belaka. Pejabat kampus memoles sedemikian rupa kampusnya, termasuk ruang kelas, perpustakaan, arsip kegiatan, bahkan termasuk melakukan koordinasi (briefing) dengan mahasiswa. Intinya, bagaimana caranya agar saat petugas akreditasi datang, kampus dan segala isinya terlihat dalam kondisi yang luar biasa baik. Setelah proses akreditasi berakhir, kampus pun kembali ke kondisinya yang semula. Kebohongan macam ini membuat civitas akademika hidup dalam imajinasi bahwa institusinya adalah sebuah institusi pendidikan yang luar biasa kualitasnya. Di sisi lain, kecenderungan berbohong tersebut membuat tahun demi tahun berlalu tanpa perubahan ke arah yang lebih baik.

Salah Fokus

Saya pernah dipanggil oleh seorang pejabat kampus tempat saya bekerja. Beliau meminta saya mendata alumni kampus yang sedang melanjutkan studi pascasarjana. Sebelumnya, saya pikir beliau ingin melakukan semacam terobosan, seperti melakukan kerjasama penelitian antar kampus, diskusi mengenai manajemen perguruan tinggi, atau tukar pikiran mengenai apa yang perlu diperbaiki di institusi kami. Namun, saya terkejut ketika beliau hanya memerlukan data tersebut untuk promosi kampus. "Mudah-mudahan banyak yang tertarik kuliah di sini jika tahu ramai alumni kita yang studi di luar negeri," katanya. Jika kuliah di luar negeri hanya dilihat sebatas bahan promosi, saya pikir itu adalah cara yang amat dangkal dalam memanfaatkan lulusan yang telah memeras otak, waktu, dan tenaga untuk belajar.

Di sisi lain, saya juga tidak habis pikir bagaimana manajemen kampus bekerja. Untuk silabus mata kuliah saja, saya diberikan silabus tahun 2011. Jarak tujuh tahun tidak bisa dibilang baru. Ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan, misalnya yang sepatutnya menjadi bahan pertimbangan: mahasiswa bagaimana yang kampus layani pada tahun 2018; apa kebutuhan yang mereka miliki; bagaimana nantinya kampus mempersiapkan mereka menghadapi lapangan kerja, dan seterusnya. Belum lagi jika berbicara kecukupan bahan belajar, seperti buku. Saya tidak percaya kampus tidak mampu menyediakan buku yang cukup. Saya beranggapan, hal ini diabaikan karena pejabat kampus memang tidak berpikir tentang itu.

Pemantauan saya sejauh ini, walaupun masih perlu penelusuran lebih dalam lagi, sebagian kampus lebih memfokuskan diri memoles tampilan luarnya, dan tak begitu peduli dengan bagaimana mereka memperlakukan ilmu pengetahuan dan mahasiswa. Kampus-kampus tersebut memiliki gedung yang indah, namun manajemen yang hancur-hancuran.

Dosen Luar Biasa

Di beberapa kampus di Aceh, yang paling sengsara adalah dosen tidak tetap, atau lazim disebut dosen luar biasa. Perhitungan gaji mereka bergantung kepada jumlah mata kuliah yang mereka asuh, dan pembayaran honor diadakan setiap satu semester sekali. Pertama, dengan bayaran serendah itu dan waktu pembayaran yang lama, bagaimana dosen-dosen tersebut bisa hidup? Sebagian dosen yang saya kenal, berusaha hidup dengan berjualan kue dan koran. Sebagian yang bernasib lebih baik, mendapatkan proyek-proyek penelitian dari lembaga nonpemerintah atau pemerintah. Hal ini secara langsung berpengaruh terhadap konsentrasi mereka menyiapkan bahan ajar, mengajar, dan meneliti sesuai dengan kualifikasi keilmuannya. Selain mereka sendiri yang menjadi korban dari sistem yang menindas ini, mahasiswa pun secara langsung merasakan dampaknya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa sebagian dosen sering bermasalah dengan disiplin menghadiri perkuliahan.

Ketika saya membicarakan ini dengan para dosen, termasuk mereka yang tergolong dosen tetap (PNS ataupun non-PNS), mereka menganggap hal ini adalah kewajaran. Sebagian dari mereka pernah merasakan menjadi dosen luar biasa, dan merasa bahwa hal ini adalah siklus normal yang dilalui oleh semua orang. Kebanyakan dari mereka merasa tidak perlu berbuat apa-apa, dan nyaman untuk sekadar bersimpati.

Persoalan lainnya, barisan dosen luar biasa, seringkali berjalan sendiri-sendiri. Mereka tidak punya keinginan (atau mungkin belum ada yang memulai?) untuk membuat semacam serikat. Alhasil, permasalahan hanya bergulir dari mulut ke mulut secara informal. Tidak ada satu pergerakan untuk melakukan protes atau perlawanan secara terencana dan terorganisasi kepada pihak yang berkuasa. Tak heran, tahun demi tahun berlalu tanpa perubahan.

by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

Klub Stres

Kami kadang-kadang berkumpul di kedai kopi. Membicarakan kemungkinan perubahan yang kecil sekali. Di sela-sela waktu luang yang membentang, kami menginisiasi klub diskusi—kami sendiri sebenarnya belum begitu paham topik-topik pembahasan. Tapi walau hanya satu ayat, itu perlu dibagikan, bukan? Walau hanya menjangkau sedikit sekali orang, kami berharap hal kecil ini dapat membantu orang-orang berpikir jernih. Tidak terus hidup di dalam tempurung.

Beberapa dari kami pernah depresi. Sebagian terpaksa membuat janji dengan psikiater. “Satu-satunya yang belum kupikirkan hanya bunuh diri. Atau mungkin pernah, tapi bukan keinginan yang besar,” kata seorang teman. Sebagian lain memendam frustasinya dengan menertawakan diri sendiri, atau orang lain yang bernasib sama. Ada pula yang gencar bersuara di media—walau ia tahu hal tersebut tidak banyak membantu.

“Yang paling mudah adalah menjadi orang tak peduli,” kata seorang teman. Orang-orang bisa dengan mudah menutup mata dengan apa yang terjadi. Melanjutkan hidup tanpa merasa ada masalah yang terjadi. Orang-orang seperti ini cenderung selamat jiwanya. Namun tentu, mereka tidak bisa menyelamatkan masyarakatnya. Bagaimana ingin menyelamatkan, jika ada-tidaknya masalah saja mereka tidak peduli.

Orang-orang sibuk bekerja, tanpa sejenak berpikir sebenarnya apa yang sedang dialaminya. Terlalu lama hidup dalam ketidakberesan membuat hal-hal itu diterima sebagai peristiwa alamiah atau wajar. Sementara tidak sedikit orang-orang yang tahu, memilih diam. Takut bicara akan menjadi malapetaka yang mengancam isi dompet, asap dapur, reputasi, atau nyawa itu sendiri.

Zaman penuh masalah seperti ini, terlebih lagi hidup di sebuah wilayah yang pernah atau masih disebut sebagai “laboratorium sosial,” memerlukan kesehatan badan, mental, dan pikiran yang kuat. Menjadi waras kemudian adalah cara lain untuk menyebut diri menjadi terasing, kesepian—dan penuh tekanan. Ada kalanya kemudian, menjadi sendiri, bukan pilihan bijak. Selain mudah patah seperti batang lidi yang tunggal, hal tersebut juga tidak baik bagi kesehatan. Berkelompok kemudian menjadi pilihan masuk akal. Setidaknya, kita jadi punya teman bicara: mengeluarkan isi kepala, menenangkan hati, atau paling tidak merasa tidak sendiri []


Sunday, May 27, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment