Seperti Debu Ditiup Angin


September-Oktober 2018 adalah serakan aktivitas yang berantakan. Aku mengajar sekitar 14 SKS. Sebagian mata kuliah cukup kukuasai, sebagian adalah hal lama yang tidak kunikmati, dan ada pula yang diamanahkan tanpa kuduga sebelumnya. Jualan buku tersendat. Jualan ayam kuputuskan berhenti. Dan sekarang, aku diambang kick-off proyek pendidikan inklusif di Kuala Simpang. Oya, aku hampir lupa mengatakan bahwa hampir setiap hari aku menyempatkan diri untuk menyentuh beasiswa. Keinginan untuk berkuliah lagi masih besar sekali. Aku pun tidak juga ingin melewatkan kesempatan untuk mengikuti tes CPNS. Jika ada tawaran menerjemahkan dokumen, aku juga kemungkinan menerima. Di sisa-sisa waktu, aku menulis artikel untuk media massa, dan satu pun belum ada yang diterbitkan. Benar-benar menguras pikiran dan tenaga.

Aku selalu punya bayangan bisa memiliki sebuah pekerjaan yang memungkinkanku untuk fokus di satu hal itu saja. Berpindah-pindah kegiatan tidak hanya membuat lelah, tapi juga membuat seluruh kegiatan tidak maksimal kulakukan. Ini adalah salah satu hal yang tidak kusukai dari pekerjaan sebagai dosen luar biasa. Gaji yang satu semester sekali, membuatku mesti menguras otak untuk mencari berbagai sumber pemasukan.

Menulis harian seperti ini adalah sebuah usaha menjaga akal sehat. Terkadang aku tidak bisa menduga ke mana aku akan pergi. Seperti sebuah perjalanan tanpa ujung. Aku membayangkan diri bisa berhenti dari hiruk-pikuk kegiatan ini, dan mendesain ulang semuanya dengan lebih rapi. Sekarang aku tidak tahu sedang mengikuti rencana siapa. Mungkin aku sekarang adalah debu yang terbang bersama angin yang tidak jelas alurnya ke mana.

Tuesday, October 2, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Leave a Reply