Archive for August 2015

Jadilah Tenang



Jadilah tenang.

Pertama kali saya mendengar kalimat itu di sebuah iklan parfum. Walaupun iklan itu gagal membuat saya membeli produk tersebut, tapi saya mulai memahami bahwa nasihat itu ada benarnya.

Mengapa kita harus tenang?

Dunia pada sebuah dimensinya adalah keriuhan. Tempat orang-orang sibuk bertahan hidup, mengejar impian, atau menuntaskan rencana. Ketenangan diperlukan agar kita tidak terbawa arus kehidupan orang lain. Mengejar karir yang sebenarnya bukan diri kita. Melakukan sesuatu yang pada dasarnya tidak kita perlukan. Bahwa sesungguhnya dalam setiap pilihan dan tindakan yang kita ambil, setiap orang memiliki ruang untuk berpikir dan bertanya: mengapa kita melakukannya? Adakah manfaatnya? Apakah itu benar atau salah?

Dengan memilih menjadi tenang, kita sesungguhnya sedang mempertajam akurasi kehidupan. Setiap orang telah dihadiahkan kado berisi jumlah waktu yang ia miliki, walau sayangnya jumlah tersebut akan selalu menjadi misteri. Oleh karena itu, kita memerlukan ketenangan agar bisa menjauhkan diri dari keputusan yang tergesa-gesa dan tindakan yang sia-sia, untuk kemudian menjadi pribadi yang lebih berguna. Walau ya kadang-kadang, dihadapan seorang bidadari ketenangan akan sirna sama sekali. Saya paham itu.

sumber gambar: hdwallpapers360.com

Thursday, August 20, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Perasaan, Logika, dan Palang Merah Indonesia


Pada akhirnya saya menyadari bahwa untuk mengambil keputusan saya tidak bisa semata-mata menggunakan perasaan, termasuk soal percintaan. Hubungan dengan seseorang pernah kandas justru di tahap ketika semuanya ingin dibawa ke jenjang pernikahan. Saya (dan barangkali dia) hidup dengan memandang satu sama lain dengan proyeksi yang muncul dari perasaan masing-masing, bukan kebenaran. Sederhananya begini. Ketika saya melihat atau menilai dia, saya sesungguhnya tanpa sadar meletakkan karakteristik perempuan idaman saya pada dirinya. Perasaan yang meluap-luap membuat saya alpa dari melihat dirinya sebagai dirinya sendiri. Ini mungkin juga dirasakannya kepada saya sehingga ketika kami masuk ke ranah logika, mencocokkan lagi prinsip hidup, sifat (yang paling mendasar), serta visi dan misi ke depan, eh kenapa tiba-tiba semuanya jadi begitu berbeda. Kami seperti saling bertanya: apakah itu benar-benar kamu? Dan saya (mungkin juga dia) mulai menyadari bahwa selama ini kami tidak pernah benar-benar mengenal satu sama lain. Larut dalam ilusi-ilusi indah kami sendiri.

Butuh waktu untuk membersihkan debu yang telah menempel lama di atas kaca. Begitu juga ketika kebersamaan yang telah berlangsung bertahun-tahun harus diakhiri. Saya memerlukan waktu mengenal diri saya lagi dan menyiapkan hati untuk memulai sesuatu yang baru. Setelah kejadian itu saya melihat perempuan seperti melihat kayu. Sulit sekali benar-benar tertarik walaupun mereka sangat menarik. Hal ini saya rasa berakhir di suatu pagi di Palang Merah Indonesia (PMI).

PMI adalah salah satu tempat favorit saya ketika sedang frustasi dan merasa kurang berguna bagi kehidupan ini. Ada saat-saat ketika saya merasa diri seperti sampah dan satu-satunya yang masih berguna untuk orang lain dari saya adalah darah. Sialnya sejak terakhir kali donor di bulan Januari 2015, saya sekitar tiga kali ditolak karena kadar hemoglobin (Hb) yang tidak sampai 12,5. Beberapa bulan kemudian saya masih tidak bisa donor karena sakit dan sedang minum obat. Ketika sudah sehat 18 Agustus lalu, saya memutuskan pergi ke PMI pagi-pagi (biasanya saya lebih suka malam). Dan momen-momen selanjutnya membuat saya secara otomatis berucap “oh Tuhan”.

Perempuan itu adalah seorang staf magang. Saya belum pernah melihatnya karena baru dua minggu dia bekerja. Dia duduk di meja administrasi. Temannya bertugas mengecek kadar Hb sementara dia mendata calon pendonor. Seperti biasa saya menyerahkan kartu dan bilang ingin mendonor sukarela. Dia memberikan selembar kertas isian dan pulpen. Sementara saya mengisi, dia mengecek data saya di komputer. Dia tertawa kecil. Mengomentari tanggal dan bulan lahir saya yang sama dan juga menyebut bahwa kami hanya berbeda dua tahun. Saya tersenyum tipis. Setelah dites kadar Hb, saya pun dipersilakan masuk ke ruang donor.

Saya ditangani oleh temannya yang tadi mengecek Hb. Sebelumnya dia mengambil alat tensi darah, membebat lengan atas saya, memompa hingga tekanannya menjadi sekitar 100 cc, menurunkan, dan menyatakan tekanan darah saya oke. Dia kemudian memompa lagi untuk mencari pembuluh darah saya, namun entah mengapa dia lupa atau terlalu lama menurunkan tensinya. Saya tidak begitu sadar karena lengan kanan saya memang agak kebas hingga perempuan yang bertugas memasukkan data pendonor itu datang dengan tergopoh-gopoh untuk menurunkan tensi. Dia meminta maaf (atas kelalaian temannya) karena telah membuat tangan saya pucat. Dia tetap berdiri di situ sambil melihat temannya menusukkan jarum ke pembuluh darah saya yang entah karena gugup menimbulkan lebam di sekitar lokasi penusukan. Jarum dicabut lagi, kali ini oleh staf senior di sana. Dia lalu memutuskan untuk menusukkan lubang baru di lengan kiri.

Selesai mendonor, perempuan itu masih duduk di meja admin. Saya memilih berbicara sebentar dan berterima kasih. Ada beberapa detik momen diam, uncomfortable silence bahasa di film Pulp Fiction. Tapi itu sebuah keheningan yang saya nikmati. Saya lalu pergi dan menyimpan harapan bisa mengenalnya lebih dalam lagi.

Saya terlalu senang barangkali hingga cerita itu saya ceritakan ke beberapa orang teman. Salah seorang dari mereka adalah orang Amerika yang sedang berlibur beberapa hari di Aceh. Atas ide gila saya sendiri, keesokan harinya kami sudah sampai di PMI. Teman saya yang bule itu mau mendonorkan darah, saya mau bertemu dia. Sayangnya dia tidak sedang berjaga, jadwalnya sore. Lalu entah bagaimana caranya teman saya itu menggiring ke sebuah pembicaraan dengan staf-staf lain di sana. Mereka tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataannya dan segala bumbu-bumbu lain bahwa saya ke sana khusus untuk bertemu dengannya. Muka saya merah ketika salah seorang staf di sana menyuruh saya menitipkan nomor telepon saya sendiri di sana.

Sore harinya dia mengirim pesan singkat kepada saya. Isinya singkat dan sopan. Dia menyambut ajakan kenalan saya. Tapi kemudian saya merasa ada yang tidak benar dengan hal ini. Euforia, kecepatan, dan tindakan saya sepertinya terlalu buru-buru dan vulgar. Saya jadi terkenang hubungan saya yang terdahulu yang juga diawali oleh hal yang tiba-tiba seperti ini. Mendadak saya merasa bersalah dan menilai perlu menjumpai seorang teman perempuan yang saya anggap lebih dewasa cara berpikirnya dari saya.

Ada beberapa kesimpulan yang muncul dari pembicaraan kami. Pertama, saya sepertinya terlalu lama sendiri, meminjam judul lagu Kunto Aji. Jadi ketika ada perhatian ringan yang saya dapatkan, pikiran saya bersepakat untuk melebih-lebihkan. Bisa jadi memang dia memberikan perhatian itu, tapi ada kemungkinan juga itu merupakan prosedur standar operasional ketika seorang tenaga medis melihat kekeliruan yang dilakukan oleh rekannya. Kedua, saya bersikap seperti orang yang sedang membutuhkan kekasih sekarang, saat ini juga, dan saya dalam posisi siap membangun rumah tangga. Kenyataannya saya bahkan belum selesai dengan diri saya sendiri dan ditakutkan semua hal yang saya lakukan itu hanya didasari oleh euforia dan obsesi belaka. Ketiga, saya disarankan menjelaskan posisi saya yang sebenarnya kepadanya bahwa saat ini saya hanya ingin berkenalan saja. Hal ini dilakukan agar tidak ada ekspektasi yang berlebihan.

Malam harinya, saya diskusi lagi dengan beberapa teman lelaki. Salah seorang dari mereka mempunyai perspektif menarik. Dia bilang saya termasuk orang yang susah sekali suka atau tertarik dengan perempuan. Jadi kesempatan ini jangan dibuang begitu saja. Coba dijalani dulu. Berusaha saling mengenal. Kalau cocok bisa dilanjutkan ke tahap yang lebih serius, kalau tidak ya cukup berada di garis pertemanan saja.

Pada akhirnya saya memilih memadukan saran-saran mereka. Saya menghubungi dia dan menjelaskan singkat bahwa saya ingin mengenalnya lebih jauh dan itu dilakukan (saat ini) dalam ruang pertemanan saja. Kali ini saya menahan diri untuk tidak terburu-buru, gerasah-gerusuh, dan terlalu memperturutkan perasaan. Saya harus berhitung dengan cermat dan memakai logika yang masuk akal. Saya tidak mau kejadian yang dulu terulang. Capek.

Untuk mulai bercinta kita memang butuh perasaan, tapi ketika perasaan itu menjadi terlalu dominan, ia bisa menghilangkan akal sehat (logika) kita. Akhirnya, kita tidak lagi bisa melihat seseorang itu sebagaimana adanya, melainkan hanya imaji-imaji palsu yang diciptakan pikiran kita sendiri—lalu terkejut ketika menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.

Huft. Saya merasa telah merepotkan banyak teman, terutama untuk masalah-masalah perasaan saya sendiri. Mulut mereka sudah berbusa menasihati saya dan itu, sampai ada yang rela-relain donor darah segala. Bro & Sis terima kasih banyak. Sudah mau susah-susahin diri untuk meladeni orang yang aneh, ribet, dan tak tahu diri ini.

Wednesday, August 19, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: 8 comments