Saya pernah kesurupan. Siang-siang pergi ke optik. Kemudian membeli sebuah kacamata original dengan harga yang mahal. Tanpa tawar. Tanpa basa-basi. Dan yang membuat ini semakin gila adalah mata saya sedang tidak bermasalah sama sekali. Lalu buat apa saya beli kacamata?
Kawan-kawan saya pun tidak habis pikir. Ketimbang kacamata dengan lensa normal yang tidak begitu banyak manfaatnya, saya lebih baik membeli sunglasses saja, begitu keluh mereka. Toh uangnya cukup. Minimal walau tidak saban kali saya perlukan, suatu hari nanti pasti bisa digunakan. Apakah semua ini hanya untuk bergaya?
Saya seperti kehilangan logika dan kecerdasan. Mungkin karena kepala saya baru dicukur botak. Entahlah. Tapi di luar itu, saya merasa semua terjadi karena saya kena ‘sihir’. Customer service di optik itu ramah sekali. Bicaranya sopan. Tindakannya perhatian. Wajahnya sedap dipandang. Aih, siapa yang bisa menolak untuk membeli?
Walau kemudian ketika pulang dari optik itu, saya berbaring di ranjang dan berpikir: ya memang wajar perempuan itu demikian. Bukankah ia seorang sales yang bertugas membuat barang dagangan laku? Jadi sudah semestinya dia bersikap ‘manis’.
Halah. Apapun itu, tanpa sadar saya sudah terpesona.
Esensi
Namun tentu saja dalam tulisan kali ini, saya tidak akan berpanjang-panjang tentang si sales manis tadi. Toh saya hanya berjumpa dengannya sebanyak dua kali dan hubungan kami hanya berhenti di status “penjual dan pembeli”. Peristiwa konyol itu hanya membuat saya terpikir tentang “esensi”. Kenapa kita melakukan sesuatu? Kenapa kita membeli smartphone yang mahacanggih jika keperluan kita hanya menelepon, mengirim pesan, dan online FB? Kenapa kita membeli sepeda motor baru jika yang lama mesinnya masih bagus dan bodinya mulus? Kenapa membeli jam tangan baru jika waktu akan terus berputar dalam hitungan angka yang sama? Dan bermacam-ragam pertanyaan “kenapa” lain. Intinya, khusus persoalan membeli, apa yang menjadi hakikat bagi kita untuk melakukannya? Kebutuhan, keinginan, tren, atau ada alasan yang lain?
Bagi saya, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah satu kata: cukup.
“Cukup” artinya tidak kurang, tidak pula lebih. Pas. Cukup juga bermakna apa kita butuhkan ada. Bisa diperoleh atau telah kita miliki. Cukup itu bukan lapar tapi kenyang, walau bukan kekenyangan. Cukup itu memenuhi kebutuhan. Bermakna bahwa ketika ia ada, benda-benda lain hanya berfungsi untuk mengisi fungsi yang sama. Mirip seperti Whatsapp dan BBM. Dua-duanya berfungsi sebagai media chat. Jika saya dan seorang teman sama-sama memiliki salah satunya, kami tidak perlu meng-install dua-duanya. Mubazir.
Oleh karena itu, mulai saat ini, ada baiknya kita merenung tentang apa yang kita butuhkan dan kita miliki. Bisa jadi kehidupan kita sebenarnya sudah begitu sempurna dengan segala kecukupan yang ada. Jangan sampai kita menjadi susah gara-gara sibuk mencari hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Dan sekarang, jika tempo hari saya (yang kesurupan) pergi ke optik untuk membeli kacamata, maka hari ini saya (yang penuh kesadaran) akan ke sana untuk melakukan sesuatu yang memang saya butuhkan: berkenalan dengan si sales manis*.
*mimpi.