Archive for September 2016
Kehilangan
Wednesday, September 28, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Kolom
4 comments
Lin dan Detik-detik yang Dimilikinya
***
Tuesday, September 27, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Kolom
1 comment
Desember untuk Yu
Yu sudah tiba di Queen Victoria Market (QVM) sekitar pukul 10.00 pagi. Hira dan Zati masih dalam perjalanan dari Burwood. Sementara saya harus meminta maaf dua kali karena kelamaan mencuci pakaian (sehingga terlambat berangkat) dan setelah sampai di Stasiun Clayton rupanya rel sedang mengalami perbaikan. Saya pun harus menumpang bus ke Caulfied dan menyambung lagi dengan kereta tujuan kota.
***
Pernikahan juga rumit karena bukan hanya tentang dua individu, tapi dua keluarga. "Rawan sekali ribut mengenai hal-hal sepele, seperti jenis suvenir atau bentuk pelaminan," kata Zati. Untuk hal ini ia menyarankan agar tetap tenang, jangan ingin menang sendiri atau memaksanakan kehendak. Bagaimana pun, pernikahan berarti "pernikahan", bukan tentang hal-hal kecil yang sifatnya dekoratif atau hiasan.
Selain memberikan tekanan bagi calon pengantin, pernikahan juga menggoyang mental orang tua. Zati ingat sekali bagaimana ayahnya sempat silap mengingat nama abang iparnya. "Saat itu pernikahan kakak. Ayah sempat dua kali salah menyebut nama menantunya. Pertama, beliau menyebut nama sebuah kecamatan di Aceh Besar (karena memang mirip). Kedua, beliau tanpa sadar menyebut nama ayah si menantu ketika ijab." Walau momen tersebut memecahkan tawa hadirin, tapi dia tak ingin ayahnya mengulangi hal yang sama. Ia pun menulis besar-besar nama lengkap Hira di depan pintu kamar orang tuanya. "Alhamdulillah, proses ijab-kabul kami lancar."
Pernikahan juga rasanya seperti mimpi. Paling tidak begitulah yang Hira rasakan sesaat setelah ijab-kabul. Dia seakan belum percaya ia sudah sampai di tahap itu. Dia pun sempat bengong, melihat kiri-kanan, ketika staf KUA menyampaikan nasihat pernikahan. Sejenak pikirannya melayang entah ke mana sebelum deheman seorang tokoh masyarakat mengembalikannya ke alam nyata.
Setelah resmi menjadi suami-istri dan mulai menjalani kehidupan berumah tangga, banyak perubahan yang mereka rasakan. Salah satu di antaranya, mereka jadi mengenal satu sama lain secara lebih jelas. "Semuanya seperti tidak ada rahasia lagi. Kita menjadi apa adanya. Aku bahkan terkejut melihat istriku (dia memberi beberapa contoh). Ketika berpacaran dulu, aku tidak mengenalnya seperti itu," kata Hira. Hal yang senada juga diakui Zati. Realitas yang kemudian muncul tersebut bisa disukai atau justru sebaliknya. Yang paling penting menurut mereka adalah penerimaan bahwa mereka sama-sama manusia.
Pernikahan juga menuntut rasa pengertian yang hebat. Zati bertanggung jawab di dapur, tetapi ketika ia sedang sibuk mengerjakan tugas akhir, Hira dengan senang hati akan menggantikannya. Hira mengetahui pula jika Zati adalah orang yang pencemburu. Oleh karenanya dia akan sebisa mungkin menjaga perasaan istrinya itu. Menurut mereka, bagaimana pun masalah yang muncul di rumah tangga, jika kedua belah pihak bisa saling memahami, bersedia mengalah sesekali, dan menjaga kualitas komunikasi, insya Allah semuanya akan berakhir baik. Mereka juga menambahkan, di balik segala macam logika yang manusia produksi, ada hal-hal lain di luar itu yang terjadi, seperti bertambahnya rezeki, ketenangan hati, dan lain-lain. "Intinya, Allah pasti membantu," kata mereka kompak.
***
Setelah menuntaskan rindu kampung halaman dengan makan di Ayam Penyet Ria di kawasan Clarendon, kami memutuskan menghabiskan sore di pantai St Kilda, Port Phillip.
Kami masih di dalam tram ketika garis pantai mulai mengintip dari deretan perumahan. Aroma laut mulai tercium tipis. Senyum menyungging di bibir kami. Matahari sudah tidak panas lagi.
Berbeda dengan di Aceh, pantai di Australia berada dekat dengan kawasan perkotaan. Jika kita berdiri di pantai St Kilda, barisan gedung akan terlihat seperti memagarinya. Pantai ini sendiri terdiri dari kawasan berpasir sekitar 700 meter. Di tepinya, terdapat sebuah jembatan yang mengarah ke tumpukan bebatuan, di sela-selanya dapat ditemui beberapa ekor penguin yang sepertinya masih baru lahir. Jembatan ini juga memiliki cabang yang membawa pengunjung ke barisan yacht yang parkir rapi.
Pantai sedang ramai. Sebuah keluarga terlihat sedang mengambil foto bersama. Beberapa anak saling berteriak ketika menemukan pokemon. Seorang lelaki fokus membidik penguin di sela-sela batu dengan kameranya. Ada yang duduk saja termenung bersama anjing di tepi jembatan. Sementara beberapa pemancing sibuk berkonsentrasi dengan buruannya. Debur ombak dan camar yang berterbangan memunculkan rindu di hati saya untuk sejenak saja pulang. Suasananya mengingatkan saya akan kawasan Ulee Lheue. Bedanya di sini tidak ada yang menjual jagung bakar atau bakso goreng.
Ketika Hira dan Zati sedang ke toilet, saya dan Yu berjalan-jalan menyusuri jembatan tempat yacht bersandar.
"Selesai kuliah kamu mau ke mana?" Yu bertanya.
"Aku tidak tahu. Terlalu banyak kemungkinan," jawab saya.
Saya menjelaskan tentang rencana saya mencari posisi mengajar. Prioritasnya mencari kontrak jangka panjang di kampus kabupaten, seperti Gajah Putih (Gayo) atau Teuku Umar (Aceh Barat). Jika belum ada, saya berencana mengajar beberapa mata kuliah di UIN Ar-Raniry. Insya Allah. Yu sendiri memiliki rencana yang relatif sama. Selain kembali ke almamater kami, ia juga ingin melanjutkan mengajar sebagai tentor di sebuah bimbel.
Kami berdua tertawa ketika mengingat-ingat pengalaman mengajar dulu, sebelum berangkat kuliah. Menjadi dosen di Indonesia, apalagi jika bukan pegawai tetap, harus bertahan dengan kondisi yang tidak masuk akal. Gaji sedikit, cairnya entah kapan. Makanya kalau bicara pendapatan, masih lebih baik mengajar les saja, atau berbisnis jika bisa. Kami menyimpulkan menjadi akademisi, dengan sistem seperti saat ini, adalah pertarungan hebat antara idealisme dan realitas bertahan hidup.
Suhu turun. Angin mulai terasa dingin.
Yu secara pelan dan agak hati-hati bertanya, ada apa dengan saya. Lebih tepatnya, apa yang terjadi dengan hubungan saya dengan seseorang baru-baru ini. Yu mengetahui itu karena orang itu juga merupakan temannya.
Saya tidak pernah bercerita secara detail selama ini kepada siapapun. Saya hampir tidak punya orang yang bisa saya percayai. Selama ini, jika ada sesuatu, saya hanya menceritakannya kulitnya saja kepada orang yang bertanya. Sore itu saya bersyukur bisa menceritakan dengan lebih dalam kepada Yu. Saya sendiri tidak tahu apa dia orang yang bisa saya percayai. Namun paling tidak beban yang selama ini rasanya saya tanggung sendiri, mulai bisa saya urai sebagiannya. Sekalipun di ujung cerita dia berkata pelan, "Sepertinya itu salahmu." Saya mengangguk dan tidak membantah. Itu memang salah saya.
Saya juga berkata kepada Yu jika saat ini saya sedang capek dan agak muak dengan hubungan percintaan. Ada satu ruang di diri saya yang mual jika mendengar orang lain menggoda-goda saya dengan seseorang. Walau saya akui juga, ada sebuah ruang lain yang begitu memerlukan teman, sosok pendamping hidup. "Paling jauh, jikapun berhubungan dengan seseorang saat ini, cuma sampai batas 'teman baik' saja. Aku pusing dan sedang tidak stabil," kata saya. Saya juga merasa kehilangan rasa percaya diri karena gagal berkali-kali. Saya takut menyakiti orang lagi. Saya berharap bisa fokus berpikir ke arah sana setelah saya menyelesaikan kuliah. Mudah-mudahan juga "calon" tersebut bisa saya temukan dari sekarang. Jadi harapannya tidak memakan waktu lama lagi. Insya Allah. Mendengar itu, Yu hanya tersenyum.
***
Yu dan Fadh akan menikah di akhir Desember. Insya Allah. Kami bertanya apakah dia akan menyediakan tiket pulang kalau kami datang. Dengan wajah merengut, ia menggeleng. Belum nikah masak sudah diperas! Kami meledak dalam tawa.
Saya berdoa restu Allah Swt menyelimuti mereka. Desember biasanya musim hujan dan semoga rintik-rintik itu membawa kebahagiaan []
Sunday, September 25, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Kolom
Leave a comment
Harapan di 26
Orang tua mulai berharap agar anaknya segera menikah. Sebagian terang-terangan bertanya, sebagian lain menunjukkannya dengan kode menggelitik: menggendong bayi dengan ekspresi wajah yang perempuan lajang mana pun akan tahu itu isyarat "mama minta cucu". Ada pula yang terlalu malu sehingga memilih mencari tahu melalui para kenalan (atau sebut saja mata-mata) tentang informasi percintaan anaknya.
Tekanan juga datang dari lingkungan. Satu per satu teman menikah. Ketika itu, menghadiri resepsi tidak sepenuhnya tentang perayaan dan kegembiraan. Ada rasa sendu di dalam hati. Belum lagi beberapa kenalan yang kurang sensitif bertanya (atau bercanda), "Kamu kapan? Kenapa belum menikah? Kamu sih terlalu milih-milih!". Oleh karena itu, di setiap foto resepsi, orang yang paling ikhlas tersenyum barangkali hanyalah pengantin itu sendiri.
26 juga menjadi angka ketika ketakutan terus hidup melajang muncul. Maksudnya perasaan tidak aman kalau-kalau lelaki yang dinantikan itu takkan pernah datang. Di samping itu, ada pula kekhawatiran jika terlalu lama sendirian, pada akhirnya mereka tidak memiliki terlalu banyak pilihan. Bahasa teman saya: geli kalau nanti yang datang om-om. Dari dalam diri juga mulai muncul kebutuhan untuk memiliki pendamping hidup. Hidup mandiri bisa, tapi akan lebih sempurna jika itu dilakukan bersama lelaki yang dicinta.
Lalu kalau menurut lelaki bagaimana? Berhubung saya adalah satu-satunya lelaki di grup tersebut, jadi saya hanya berbicara menurut diri saya sendiri. Bisa jadi ada yang punya pengalaman sama, atau ya sebaliknya.
Tekanan dari orang tua hampir tidak ada. Bahkan lucunya beberapa kali saya minta malah tidak direstui. Saya masih terlalu anak-anak katanya. Pertanyaan tentang pernikahan saja, baru muncul beberapa waktu lalu dari mamak saya. Maksud saya yang benar-benar muncul tanpa saya pancing. Beliau bertanya apakah saya sedang berhubungan dengan seseorang. Saya menggeleng dan pura-pura santai: "Itu gampanglah. Nanti-nanti saja!" Mengenai hal ini, teman-teman di grup bercanda: "Sebenarnya ibumu hanya ingin memastikan: kamu gay atau bukan!" Kami semua terbahak.
Selain bully yang kerap muncul di kala ngopi, tak ada tekanan berarti dari lingkungan. Teman-teman menikah, ya mantap. Mantan menikah, ya selamat (dengan tanda seru)! Saya bahagia dan makan dengan lahap ketika resepsi, apalagi jika ada kakap goreng tepung plus saus asam-manis.
Bagi saya, tekanan yang lumayan berarti justru muncul dari diri sendiri. Saya merasa butuh pendamping. Ada masa ketika seseorang keluar dari rumah dan hidup benar-benar di atas kakinya sendiri. Saya butuh teman untuk menemani saya melewati proses ini. Sendiri sebenarnya bisa, tapi barangkali berdua lebih baik. Saling berbagi, mendukung, menguatkan, dan melengkapi.
Untuk yang sedang mencari, menanti, atau apapun itu, semoga Allah Swt memberikan akhir yang terbaik bagimu.
Thursday, September 22, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Kolom
3 comments
3 Puisi
Beberapa hari lalu, saya iseng membaca dan merekam tiga puisi lama. Seorang teman saya yang baik hati menambahkan latar suaranya. Silakan didengar dan mudah-mudahan bisa dinikmati. Insya Allah. Maafkan beberapa kali saya terselip lidah!
"Mendustai Dingin"
"Membacamu"
"Setelah Badai Usai"
Salam.
Monday, September 19, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Kata-kata
2 comments
Rahasia
Friday, September 16, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Kolom
3 comments
Masak
Friday, September 9, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Cerita
6 comments
Film
P.S: Siapa suruh punya masa lalu? Ya sudah. Mari ngopi biar tidak gila!
Wednesday, September 7, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Kolom
4 comments
Orang-orang Tiro*
--------------------------------------------------------
Di ruang tamu berkumpul sejumlah pria. Mereka duduk bersila di lantai. Sebelum kaki saya melangkah ke sana, Fatimah binti Ali buru-buru berbisik, "Pakai kerudung, pakai kerudung. Di situ ada orangtua." Fatimah dan beberapa perempuan tengah bercakap-cakap dan bersenda gurau di ruang makan. Semula saya bergabung dengan mereka.
Monday, September 5, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Features,
Linda Christanty
2 comments
Merayakan Kenyataan
Masih di SMA. Ketika itu ada sebuah program pelatihan menulis yang diselenggarakan oleh Tikar Pandan. Saya hampir tidak pernah absen satu hari pun. Puncak kebahagiaan saya terjadi ketika komunitas tersebut mengadakan proyek buku bertema gender. Saya yang ketika itu mengangkat topik mengenai waria merasakan kebahagiaan yang lekat manakala esai itu rampung. Ada perasaan haru karena berhasil menjadi pita suara bagi mereka yang bungkam. Mulai saat itu, saya tidak bisa jauh-jauh dari dunia penulisan. Walau tentu saat ini, saya masih menghujat diri sendiri karena hanya mampu menulis puisi atau kolom pribadi yang manfaatnya tidak begitu kentara bagi orang lain. Coba saja baca kumpulan puisi saya ini, apa yang kamu rasakan? Paling-paling depresi atau minimal sesak napas, bukan?
Tahun 2008, saya akhirnya kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris dan Ekonomi Manajemen (tidak selesai). Kedua-duanya saya pilih dengan alasan yang tidak kuat. Yang pertama karena "keren aja" yang kedua karena "penasaran". Saya sendiri pada prosesnya merasa tersesat. Sempat malas-malasan dan ingin pindah jurusan. Ketika alhamdulillah wisuda, saya masih belum benar-benar tahu apa yang ingin saya lakukan. Alhasil saya mencoba berbagai hal seperti mendirikan lembaga bimbingan belajar (gulung tikar), menjadi guru bahasa Inggris dan terakhir wartawan (keduanya berakhir dengan surat pengunduran diri).
Teman-teman saya paling bosan kalau saya membicarakan tema ini. Bagi saya menarik sih seperti gorengan. Tapi kalau dimakan setiap hari apakah tidak berbahaya bagi kesehatan? Terlebih ketika sekarang saya menyadari bahwa seluruh proses itu, sedikit-banyaknya, berperan membentuk diri saya yang sekarang. Saya kemudian ingat sebuah perkataan yang, jika tidak salah, dikemukakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib, "Jika aku berdoa dan Allah mengabulkannya, aku senang sekali saja. Jika aku berdoa dan Allah tidak mengabulkannya, aku akan bahagia berkali-kali. Sebab yang pertama adalah pilihanku, sementara yang kedua adalah pilihan Allah."
Di kehidupan ini, saya berkali-kali gagal dalam urusan pekerjaan, percintaan, dan mengenal diri sendiri. Namun kenyataan bahwa saya alhamdulillah masih diberikan kesempatan untuk belajar dan memulai lagi membuat hati ini lapang—sekalipun masih ada rasa takut mengulangi kesalahan.
Waktu terus berjalan dan saya berharap bisa terus fokus untuk hidup di masa sekarang (present), merayakan kenyataan, dan berbahagia dengan apa yang saya miliki. Insya Allah. Bagi saya, pertanyaan di paragraf pembuka itu sudah jelas jawabannya: tidak.
Mari ngopi.
Sunday, September 4, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Kolom
6 comments
Februari, Suatu Hari
Friday, September 2, 2016
by Muhammad Haekal
Categories:
Kolom,
Teman-teman
6 comments