Archive for February 2013

Kamarku



Aku adalah kamar yang terkunci
Tak perlu kau ketuk
Aku akan keluar sendiri.


Sunday, February 24, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Rianisme



Ria adalah suatu kondisi saat seorang manusia merasa kehebatan, prestasi, atau segala hal baik yang ia lakukan harus diperlihatkan kepada orang lain.

Untuk orang lain (yang melihat), ada dua dampak yang akan terjadi: ia bisa jadi iri atau sebaliknya malah termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Bagi sang pelaku keriaan, ia juga bisa jadi termotivasi untuk berbuat lebih banyak kebaikan atau malah menjadi lapar akan pujian.

Saya – entah sadar atau tidak – menjalankan paham rianisme belakangan ini. Ya, kita sebut saja demikian. Toh, setahu saya belum ada istilah itu. Tapi, bagaimana bisa?

Kalian tahu, bahwa saya suka menulis. Dulu, saya menulis pure untuk diri saya sendiri. Maksudnya, saya menulis tanpa ada tekanan. Saya menulis, ya karena saya ingin menulis. Saya begitu merasa bersalah jika ide datang ke dalam kepala lalu hanya dibiarkan saja di sana tanpa dipadatkan menjadi kata-kata. Mubazir. Ya, ide yang tidak dituliskan, lambat-laun akan hilang dari kepala. Sayang, bukan? Makanya saya menulis.

Saya menulis puisi, cerpen, opini, atau (yang paling sering) catatan harian. Kemudian saya mengetahui, bahwa ternyata tulisan bisa dikirim ke media massa untuk diterbitkan. Oh, bagus juga! Daripada tulisan hanya saya simpan sendiri, lebih baik jika orang lain bisa membacanya. Maka mulailah saya mengirim. Kiriman pertama tidak dimuat. Kiriman kedua mengalami nasib yang sama. Lalu entah hingga kiriman ke berapa tulisan saya masih belum diterbitkan. Sejak itu, saya mulai rajin membaca tips, bertanya saran kepada para senior, terus memoles tulisan. Hingga pada akhirnya tulisan pertama saya terbit di media! Alhamdulillah. Walau terkadang jengkel saat tulisan yang saya kirim di kemudian hari masih dijangkiti penolakan, tapi saat itu saya menikmati proses menulis. Saya masih menulis untuk diri saya sendiri. Tidak ada beban sama sekali.

Waktu berlalu cepat. Saya tiba di masa ketika tulisan saya begitu mudah menembus media. Kirim hari ini, besok terbit. Kirim lagi, terbit lagi. Terus begitu. Hingga kemudian landasan saya menulis menjadi tidak benar: saya menulis agar tulisan saya terbit. Saya haus pujian. Rianisme. Apakah ada bedanya? Ya, ketika memakai paham itu, saya menjadi sangat kecewa ketika tulisan saya tidak dimuat. Tidak ada kesenangan dalam menulis kecuali jika tulisan itu diterbitkan. Efeknya, kualitas tulisan saya menjadi hancur-hancuran. Yang ada di dalam kepala hanya “terbitkan dan terbitkan!”

Mudah

Belakangan rianisme begitu mudah dilakukan. Keberadaan media sosial seperti Facebook dan Twitter membuat kita memiliki kebiasaan untuk meng-update berbagai informasi.

Lagi makan bakso | Shalat dulu, ah! | Sedekah 5 ribu | Malam Jumat. Yasinan yuk! | Dingiinnn | Kamu gak pernah ngerti aku! |Lagi tahajud | Bosaaaannn |…… dan berbagai status lain yang intinya bahwa kita ingin orang lain tahu apa yang sedang kita lakukan atau pikirkan.

Seperti di awal tulisan, bagi orang lain, rianisme tidak melulu buruk. Mereka bisa saja termotivasi dan ikut melakukan hal yang sama. Tapi bagi kita, sang pelaku rianisme, hal ini juga tidak melulu baik: kita bisa menjadi haus pujian.

Saya tidak ingin menghakimi bahwa semua orang yang membeberkan informasi tentang kebaikan dirinya sedang ria. Apapun ceritanya, yang mengetahui apakah kita bermaksud ria hanya Allah dan diri kita sendiri. Tidak ada salahnya meng-update berbagai kebaikan atau prestasi, yang perlu kita luruskan adalah apa niat kita untuk melakukan itu.

Untuk melakukan sesuatu dengan baik, minimal diri kita sendiri harus mencintai hal itu. Dalam konteks melakukan suatu perbuatan, keikhlasan dan kebahagiaan diri sendiri harus menjadi hal yang utama. Bukan berarti kesenangan orang lain dinafikan. Jika kesenangan diri sendiri adalah hal yang utama, maka segala macam pujian yang muncul tidak akan menjadi tujuan. Kita melakukan sesuatu, ya karena kita senang melakukan itu. Dengan demikian, insya Allah kualitas karya yang kita hasilkan menjadi lebih keren. Gak ribet dipahami, kan? Mudah-mudahan tidak. Hahaha!

Akhirnya, terima kasih ya telah berkunjung. Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di tulisan berikutnya! Insya Allah.

by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

I Love Aceh: Ngutip Kopi

I Love Aceh
Ke mana sih biasanya kamu menghabiskan liburan? Pergi ke pantai? Atau cuci mata di pusat perbelanjaan? Itu sih biasa. Jika kamu berkunjung ke Aceh, kamu akan mendapatkan pengalaman yang berbeda!

Kali ini saya akan mengajak kamu jalan-jalan ke kawasan Bener Meriah. Sebelum dimekarkan, dulunya kabupaten ini bergabung dengan wilayah Aceh Tengah (ibukota Takengon). Bener Meriah sendiri bersuhu dingin. 

Di samping tersohor dengan budaya tari dan pacuan kuda, kabupaten ini terkenal dengan kopinya: kopi Gayo. Selain bisa menikmati kekayaan rasa dan aroma kopi arabika dan robusta, kamu juga bisa mengikuti kegiatan yang takkan terlupakan: ngutip kopi. Apa itu ngutip? Ikuti perjalanan saya.


Menuju Bener Meriah


Untuk bisa menuju Bener Meriah, kamu bisa naik pesawat menuju Banda Aceh. Dari sana, kamu tinggal menyewa bus atau minibus L-300 untuk menuju ke lokasi. Biayanya terjangkau. Kamu cukup merogoh kocek 85 ribu rupiah saja. Perjalanan akan memakan waktu sekitar 6 jam. Tapi tidak perlu kuatir. Sepanjang perjalanan, dijamin mata kamu akan dimanjakan dengan panorama alam Aceh yang luar biasa! Atau sebagai alternatif, kamu juga bisa langsung berangkat dengan bus dari Medan.

Setelah tiba di Bener Meriah, tubuhmu akan sedikit dikejutkan dengan suhu yang dingin! Malah jika tiba di waktu subuh, udara yang keluar dari mulut akan berbentuk asap! Cool!


Di Bener Meriah, kamu bisa menginap di Mess Pemda yang berada di Komplek Perkantoran Bener Meriah, 
Serule Kayu - Redelong. Atau jika kamu ingin sedikit tantangan, kamu bisa langsung pergi ke suatu kampung, menemui Pak Keuchiek (kepala desa), dan menyampaikan maksud kedatangan. “Pak, saya turis. Saya ingin mengenal budaya dan menikmati alam Gayo.” Insya Allah izin menumpang akan diberikan. Masyarakat di sana ramah-ramah, lho.

It’s Show Time!

September hingga Mei adalah bulan paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Bener Meriah. Pada bulan-bulan tersebut, deretan pohon kopi yang sebelumnya berbunga, kini mulai berbuah. Tidak tanggung-tanggung, sebuah kebun kopi yang produktif bisa menghasilkan buah kopi segar atau biasa disebut gelondongan seberat 1,5 ton dalam sekali panen. Dalam sebulan, kopi bisa dipanen sebanyak dua kali. 

Buah kopi yang siap petik adalah yang berwarna merah. Jika tidak segera dipetik, buah itu akan jatuh. Memang masih bisa diolah, tapi akan mengurangi kualitas. Alhasil, dibutuhkan banyak tenaga pemanen. Nah, prosesi pemanenan itulah yang disebut ngutip.

Kebun kopi berada di setiap kecamatan di Bener Meriah. Foto-foto yang ditampilkan kali ini, berlokasi di Kampung Bener Kelipah Utara, Kecamatan Bener Kelipah.


Kebanyakan kebun kopi, berada di perbukitan. Jalan menuju ke lokasi cukup terjal dan licin. Biasanya, setengah perjalanan bisa ditempuh dengan sepeda motor, sedangkan sisanya harus berjalan kaki. Minimal kamu perlu memakai sandal gunung agar tidak tergelincir.

Karena pekebun di sini tidak hanya menanam kopi di tempat yang datar, tapi di tanah yang miring dan bergelombang, kamu harus hati-hati. Namun tidak perlu khawatir, pohon kopi bertekstur keras dan kuat. Cabang-cabangnya menjulang panjang. Kamu bisa menggunakannya sebagai pegangan.

Sekarang kita mulai ngutip! Peralatan yang kamu butuhkan cukup sederhana: sebuah tas selempang dari goni plastik. Gunanya untuk menampung buah kopi yang kamu petik. Para pekebun akan sukarela meminjamkannya untukmu. Apalagi yang kamu lakukan sebenarnya sangat membantu meringankan beban kerja mereka.

Cara ngutip sangat mudah. Kamu cukup memetik buah yang berwarna merah dan memasukkannya ke dalam selempang. Beres!

Selain bisa menikmati pemandangan dan sensasi ngutip, kegiatan ini juga akan memberikan pemahaman baru bagi setiap orang yang melakukannya. Kita bisa mengerti bagimana perjuangan para pekebun kopi. Menanam kopi bukan perkara mudah, tanah pegunungan tidak selalu datar. Merawatnya juga tidak gampang, pekebun harus rajin membersihkan lahan dari semak sembari melakukan pemupukan. Setelah dipanen pun, buah kopi tidak bisa langsung dikonsumsi. Ia harus melewati proses pengupasan, penjemuran, penggongsengan, dan penumbukan/ penggilingan. Baru kemudian bisa kita nikmati di rumah atau kedai-kedai. Perjuangan para pekebun mungkin cocok dengan rasa kopi yang pahit bercampur manis.


Mm, bagaimana? Apakah kamu tertarik? Kami menanti kunjungannya :)
follow Twitter @iloveaceh untuk mendapatkan berbagai informasi menarik mengenai Aceh

*Pengalaman ngutip adalah satu dari sekian banyak cerita lain yang menghiasi kegiatan saya dan teman-teman di Kabupaten Bener Meriah. Kami adalah mahasiswa utusan IAIN Ar-Raniry yang bergabung dalam Kuliah Pengabdian Masyarakat ( disingkat KPM – di beberapa universitas disebut KKN). Selain terkesan dengan keramahan dan adat istiadat masyarakatnya, kegiatan ini juga memberikan kami pencerahan tentang betapa hebatnya potensi daerah Aceh.

Allah SWT telah menganugerahkan ini semua. Kita hanya tinggal memanfaatkannya.

foto: dokumen pribadi

Saturday, February 16, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 8 comments

Are You Okay?



“Are you okay?” adalah salah satu pertanyaan yang sering menghampiri saya setelah saya menggunduli kepala. Jelas saja, beberapa teman mengira saya sedang stres atau ditimpa kanker. Mm, tapi sangkaan yang pertama cukup dekat juga. Hahaha!

Selama saya sadar, saya secara sengaja menggunduli kepala sebanyak tiga kali: kelas II SD, semester  IV kuliah, dan sekarang.  Saat SD, seingat saya alasannya adalah karena cuaca yang panas. Sewaktu semester IV, alasannya karena galau! Saat itu, saya sedang sibuk-sibuknya kuliah dan ada banyak tekanan batin lain yang mengguncang. Lalu, bagaimana dengan sekarang?

Pertama, karena saat sedang menulis skripsi, saya berjanji dengan seorang teman untuk sama-sama menggunduli rambut ketika skripsi selesai (bro, ingat janji bro!). Kedua, karena saya ie cah (bahasa Aceh yang kira-kira berarti kesal atau marah) dengan seseorang yang menghubungi saya – dengan menutupi jati dirinya – tengah malam, dini hari, pagi-pagi, untuk bertanya kabar dan hebatnya menyampaikan rasa rindu kepada saya. Oh, siapapun dirimu, nak! Bertobatlah! Aku sudah botak! (nah lho??). Dan alhamdulillah, setelah saya botak, dia tidak pernah menghubungi saya lagi. Mungkin ia terkena ephemera. Alasan terakhir, saya sedang susah memikirkan apa langkah selanjutnya dalam kehidupan saya. Begitu banyak opsi. Saya pun galau dalam memilih. Dan saya pun membotaki kepala dengan harapan bisa berpikir lebih jernih. Hasilnya, saya malah tambah galau! Hahaha!

Rasanya Botak

Botak licin sepertinya bukanlah tren rambut 2013. Itu terbukti, saat saya ngopi sehari pasca botak. Di kedai kopi, yang botak hanya saya sendiri. Di masjid pun demikian, malah beberapa jemaah terpergok memperhatikan kepala saya lebih dari 5 detik! Hahaha! Bisa disimpulkan, rasio pria botak adalah 1000 : 1.

Seperti bagian tubuh yang jarang disentuh, kulit kepala yang gundul menjadi amat sensitif. Ketika mengguyur kepala saat mandi, saya langsung teringat dinginnya air di Tanah Gayo. Rambut-rambut kecil yang tumbuh setelah dicukur (rambut manusia tumbuh 0,3 mm setiap hari), juga begitu lucu. Bagaimana tidak, karena kasar, bila saya melintasi pintu, kepala saya nyangkut di kain gorden! Kepala juga tertahan saat memakai baju atau peci. Hahaha!

Selain itu, dengan kepala botak, entah kenapa saya jadi teringat dengan seorang figuran botak (saya lupa namanya) dalam film 30 Hari Mencari Cinta. Sialnya, dia begitu mesum di film itu! Dan saya pun mendadak merasa demikian! Hahaha!

Hikmah Botak

Apakah botak memiliki hikmah? Tentu saja. Setiap hal di dunia ini ada hikmahnya. (serius).

Dengan membotaki kepala, kita akan menjadi orang yang apa adanya. Tidak ada kesempatan untuk sombong. Dan jika berjalan selalu dalam keadaan menunduk. (serius).

Dengan membotaki kepala, kita menjadi ujian bagi orang-orang yang mencintai kita. Apakah dia hanya mencintai kita saat kita keren? Atau malah berpaling saat kita botak? (serius)

Ya, begitulah kira-kira. Intinya, menggunduli rambut asik juga! Bagian kalian yang belum pernah botak, saya rekomendasikan untuk mencobanya! Biaya pangkas saya tanggung, deh!

Okelah. Ini saja. Semoga bermanfaat ya. insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca. Pesan terakhir saya: botaklah sebelum botak itu dilarang. Salam.


sumber foto: koleksi pribadi

Monday, February 11, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 13 comments

A Break

Dear friends and readers. Saya jeda sejenak dalam menulis blog. Saya sedang meluangkan waktu untuk beristirahat, berpikir, dan menata ulang rencana untuk ke depan.

See you soon! Insya Allah :)

Saturday, February 9, 2013 by Muhammad Haekal
Leave a comment

Koper


Koper-koper  terbungkus rapi
Sebagian malah masih menyisakan bau baru dibeli
Tak akan ke mana bulan ini
Belum akan

Pagi bangun
Mandi
Sujud
Ngopi
Begitu terus hingga 30 hari

Koper-koper mulai berdebu
Berlaba-laba
Tersudut di pojok lemari
Entah kapan akan disentuh lagi

Keberanian hilang
Bahkan untuk melangkahkan kaki
Takut tak menentu
Manusia
Atau bahkan lebih buruk lagi

Koper-koper menggerutu
Kehilangan semangat
Hati tak menentu
Lambaian jari padam
Di tengah segala janji kehidupan

Kala berlari bukan jawaban
Kala berdiam bukanlah titik aman
Kala bergerak ditakutkan
Kala segalanya dijadikan kambing hitam

Aku
Yang sekarang
Bukan aku
Yang sebenarnya.

Tuesday, February 5, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 5 comments

Kita dan Waktu



Dedi (sebut saja namanya begitu) ingin mencetak makalah, tapi printer mendadak macet. Lalu ia terburu-buru pergi ke rental, di tengah jalan ban motornya bocor. Setelah selesai ditempel dan ingin membayar ternyata ia lupa membawa dompet. Di tengah rentetan musibah itu, kawannya menelepon, “Gimana? Tugas kelompok kita udah siap di-print? 30 menit lagi kita tampil.”

Saat itu, selain tercetus keinginan untuk pura-pura pingsan, hatinya membenak: mengapa waktu begitu sempit? Mengapa aku begitu sial? Mengapa kehidupan sepertinya sedang menyusun rencana licik untuk menggagalkan setiap rencanaku?

Manusia kesal terhadap waktu. 

Waktu

Sang Waktu memberikan Dedi kelonggaran waktu dari pagi hingga siang. Ia tahu benar dedi sedang memiliki tugas untuk dikerjakan. Tapi sayangnya, Dedi terlena di warung kopi hingga waktu luang itu habis. Sang Waktu tak jera. Ia memberikan lagi malam hingga pagi untuk Dedi manfaatkan. Gawatnya ia lupa karena kadung bermain futsal hingga lelah mendera lalu memilih tidur sebagai penawarnya. Namun bukan Sang Waktu namanya jika menyerah begitu saja. Ia memberikan sahabatnya ini tiga hari berturut-turut hari libur nasional dengan harapan Dedi dapat menyelesaikan semua kewajiban. Canggihnya, Dedi malah membeli tiket kapal ke Sabang dan baru kembali tiga hari berikutnya.

Saat itu, Sang Waktu marah karena Dedi begitu susah bersyukur atas kelonggaran waktu yang ia berikan. Maka mulailah Sang Waktu menghubungi para anak buahnya berupa printer, ban motor, dompet, untuk berkomplot menggagalkan rencana Dedi pada hari itu.

Sang Waktu kesal terhadap manusia.

Berdamai

Setiap kita memiliki waktu 24 jam.  Apapun status dan jabatan, hanya segitulah waktu yang Tuhan berikan.

Sekarang adalah saatnya bagi kita untuk berdamai dengan waktu. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-sebaiknya. Menyelesaikan satu pekerjaan, dan beralih ke pekerjaan lain. Percayalah, jika kita menyediakan waktu untuk membereskan kewajiban, kita juga insya Allah akan memiliki waktu untuk bersenang-senang.

Nasihat tentang waktu memang barang usang. Disampaikan dari zaman ke zaman. Kapan kita benar-benar percaya hal ini? Saat melihat diri masih di situ-situ saja, di tempat yang sama, melakukan hal yang sama, tanpa perubahan. Sementara orang lain justru semakin berprestasi, semakin jauh mendaki. 

Akhirnya, semoga tulisan kali ini bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca :)

Sunday, February 3, 2013 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments