Ria adalah suatu kondisi saat seorang manusia merasa kehebatan, prestasi, atau segala hal baik yang ia lakukan harus diperlihatkan kepada orang lain.
Untuk orang lain (yang melihat), ada dua dampak yang akan terjadi: ia bisa jadi iri atau sebaliknya malah termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Bagi sang pelaku keriaan, ia juga bisa jadi termotivasi untuk berbuat lebih banyak kebaikan atau malah menjadi lapar akan pujian.
Saya – entah sadar atau tidak – menjalankan paham rianisme belakangan ini. Ya, kita sebut saja demikian. Toh, setahu saya belum ada istilah itu. Tapi, bagaimana bisa?
Kalian tahu, bahwa saya suka menulis. Dulu, saya menulis pure untuk diri saya sendiri. Maksudnya, saya menulis tanpa ada tekanan. Saya menulis, ya karena saya ingin menulis. Saya begitu merasa bersalah jika ide datang ke dalam kepala lalu hanya dibiarkan saja di sana tanpa dipadatkan menjadi kata-kata. Mubazir. Ya, ide yang tidak dituliskan, lambat-laun akan hilang dari kepala. Sayang, bukan? Makanya saya menulis.
Saya menulis puisi, cerpen, opini, atau (yang paling sering) catatan harian. Kemudian saya mengetahui, bahwa ternyata tulisan bisa dikirim ke media massa untuk diterbitkan. Oh, bagus juga! Daripada tulisan hanya saya simpan sendiri, lebih baik jika orang lain bisa membacanya. Maka mulailah saya mengirim. Kiriman pertama tidak dimuat. Kiriman kedua mengalami nasib yang sama. Lalu entah hingga kiriman ke berapa tulisan saya masih belum diterbitkan. Sejak itu, saya mulai rajin membaca tips, bertanya saran kepada para senior, terus memoles tulisan. Hingga pada akhirnya tulisan pertama saya terbit di media! Alhamdulillah. Walau terkadang jengkel saat tulisan yang saya kirim di kemudian hari masih dijangkiti penolakan, tapi saat itu saya menikmati proses menulis. Saya masih menulis untuk diri saya sendiri. Tidak ada beban sama sekali.
Waktu berlalu cepat. Saya tiba di masa ketika tulisan saya begitu mudah menembus media. Kirim hari ini, besok terbit. Kirim lagi, terbit lagi. Terus begitu. Hingga kemudian landasan saya menulis menjadi tidak benar: saya menulis agar tulisan saya terbit. Saya haus pujian. Rianisme. Apakah ada bedanya? Ya, ketika memakai paham itu, saya menjadi sangat kecewa ketika tulisan saya tidak dimuat. Tidak ada kesenangan dalam menulis kecuali jika tulisan itu diterbitkan. Efeknya, kualitas tulisan saya menjadi hancur-hancuran. Yang ada di dalam kepala hanya “terbitkan dan terbitkan!”
Mudah
Belakangan rianisme begitu mudah dilakukan. Keberadaan media sosial seperti Facebook dan Twitter membuat kita memiliki kebiasaan untuk meng-update berbagai informasi.
Lagi makan bakso | Shalat dulu, ah! | Sedekah 5 ribu | Malam Jumat. Yasinan yuk! | Dingiinnn | Kamu gak pernah ngerti aku! |Lagi tahajud | Bosaaaannn |…… dan berbagai status lain yang intinya bahwa kita ingin orang lain tahu apa yang sedang kita lakukan atau pikirkan.
Seperti di awal tulisan, bagi orang lain, rianisme tidak melulu buruk. Mereka bisa saja termotivasi dan ikut melakukan hal yang sama. Tapi bagi kita, sang pelaku rianisme, hal ini juga tidak melulu baik: kita bisa menjadi haus pujian.
Saya tidak ingin menghakimi bahwa semua orang yang membeberkan informasi tentang kebaikan dirinya sedang ria. Apapun ceritanya, yang mengetahui apakah kita bermaksud ria hanya Allah dan diri kita sendiri. Tidak ada salahnya meng-update berbagai kebaikan atau prestasi, yang perlu kita luruskan adalah apa niat kita untuk melakukan itu.
Untuk melakukan sesuatu dengan baik, minimal diri kita sendiri harus mencintai hal itu. Dalam konteks melakukan suatu perbuatan, keikhlasan dan kebahagiaan diri sendiri harus menjadi hal yang utama. Bukan berarti kesenangan orang lain dinafikan. Jika kesenangan diri sendiri adalah hal yang utama, maka segala macam pujian yang muncul tidak akan menjadi tujuan. Kita melakukan sesuatu, ya karena kita senang melakukan itu. Dengan demikian, insya Allah kualitas karya yang kita hasilkan menjadi lebih keren. Gak ribet dipahami, kan? Mudah-mudahan tidak. Hahaha!
Akhirnya, terima kasih ya telah berkunjung. Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di tulisan berikutnya! Insya Allah.