Generasi tanpa kantor. Saya pertama kali membaca artikel tulisan Rakhmad H.P ini di situs
Detik.com. Di sana, dia menulis bagaimana pengalamannya mengundurkan diri dari sebuah perusahaan, dan memilih bekerja di rumah. Keputusannya tersebut diiringi semprotan bosnya yang membandingkan antara generasi pekerja sekarang (milenial) cengeng, dan sebaliknya generasi si bos tersebut (boomers dan X) bermental lebih kuat.
Saya pribadi menganggap stereotip antar generasi ini perlu dikaji lagi lebih lanjut. Ketika seseorang memilih keluar dari sebuah perusahaan, hal ini tidak semata-mata karena dia tidak sanggup bekerja, apalagi karena dia berasal dari suatu generasi. Tapi lebih daripada itu, yang semestinya perlu dicermati adalah "kenapa" dia tidak memilih keluar. Apakah karena visi perusahaan tidak jelas, supervisinya terlalu ketat, ketidak-sesuaian antara deskripsi kerja di kontrak dengan realitas, durasi bekerja yang teramat panjang, ketiadaan unsur rekreasi di kantor, dsb. Lebih lanjut, pelabelan atas "generasi" tentu tidak adil mengingat setiap manusia itu unik. Isu akan beda kasus per kasus.
Tulisan ringan ini sendiri bukan hendak membahas problematika konsep generasi X, Y, Z, dst. Namun ingin menyinggung bahwa generasi tanpa kantor itu ada, dan mereka bisa hidup secara cukup dari pekerjaannya. Kali ini saya menulis dalam konteks Aceh, Indonesia. Artikel ini akan membahas sekelumit kasus yang bisa jadi tidak mewakili populasi pekerja tanpa kantor di provinsi paling barat Indonesia ini, namun paling tidak dapat memberikan gambaran kecil.
Saya mendefinisikan generasi tanpa kantor sebagai seseorang yang bekerja secara independen, durasi waktu fleksibel, tanpa terikat penuh waktu dengan sebuah perusahaan (atau terikat dengan perjanjian berbasis per satu kontrak pekerjaan). Mereka bisa 'berkantor' di mana pun, yang paling penting adalah pekerjaannya selesai tepat waktu. Definisi ini sangat mirip dengan konsep freelance. Sehingga menurut saya, generasi tanpa kantor bisa disamakan dengan freelance generation.
BPS Aceh (2018) menyebutkan, jumlah penganggur di Aceh pada Februari 2018 mencapai 154 ribu orang, sementara jumlah yang bekerja adalah 2,2 juta orang. Survei BPS Aceh ini sendiri memiliki kekurangan antara lain, ia tidak menjelaskan apa yang dimaksud sebagai pengangguran, dan mengapa seseorang menjadi pengangguran. Selain itu, survei ini hanya menyentuh sektor-sektor seperti pertanian, kontruksi, pertambangan, dsb. Artinya, ada sektor-sektor pekerjaan lain yang tidak disentuh oleh BPS. Walaupun demikian, setidaknya survei ini telah menyentuh aspek umum bahwa kuat dugaan, ada individu-individu yang tidak tersentuh oleh bidang pekerjaan arus utama di Aceh.
Lida (bukan nama sebenarnya), adalah seorang sarjana Ilmu Sosial dari sebuah kampus di Aceh. Namun berbeda dengan apa yang ia pelajari di kampus, ia justru memiliki minat dan bakat di bidang musik. Ia pernah berkata bahwa ia hampir tidak memiliki imajinasi untuk bekerja, katakanlah sebagai PNS di Aceh. Selain sulit mencari formasi sesuai dengan bakatnya, dia merasakan lebih nyaman bekerja secara independen. Dia pun terus mengasah bakatnya di bidang musik, dan sempat mengikuti kursus di Pulau Jawa. Saat ini, dia aktif memasarkan musiknya, kebanyakan adalah audio untuk keperluan perusahaan, di situs-situs, seperti
Envato. Dia menghargai musiknya $8 - $45 tergantung durasi dan tingkat kesulitannya. Konsumennya banyak berasal dari luar Indonesia. Dengan pendapatannya selama ini, dia bisa membangun studio musik pribadi di rumahnya. Sehari-hari dia bekerja di sana. Selain itu, dia juga mengaku bisa bekerja di mana pun. Yang penting dia membawa laptop.
Seorang teman lain, masih juga dalam bidang kreatif, bekerja mendesain huruf (font) dan format cetak (template) majalah. Dia juga memasarkan karyanya di situs-situs luar negeri. Ayah satu anak ini, berkata bahwa pekerjaannya itu cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi karena ia dibayar dengan Dollar Amerika. Untuk menambah penghasilan, ia turut mengerjakan pekerjaan desain spanduk dan brosur untuk pasar di Aceh.
Beberapa kenalan saya lain, mencari nafkah dengan membuat situs, menulis opini, dan menerjemahkan dokumen. Walaupun dari segi pendapatan relatif tidak pasti, namun sejauh ini, mereka mengaku hidup cukup dari pekerjaannya. Tiga aspek terpenting dari bekerja seperti ini adalah promosi, produktivitas, dan kualitas. Sepanjang mereka bisa memenuhi tiga poin tersebut, tawaran proyek terus berdatangan. Kebanyakan dari langganan.
Hampir semua dari mereka tidak memulai karir dengan mudah. Mereka melalui bulan demi bulan tanpa pemasukan. Lida menyebutkan, pada saat merintis dulu, dia sempat berkali-kali ditolak untuk mengunggah musiknya di sebuah situs.
"Kualitas musikku dulu masih di bawah standar pasar," katanya.
Seiring waktu, mereka terus meningkatkan kemampuan individu, dan perlahan memperbaiki kualitas produknya.
Aceh bagi saya, belum menjadi tempat bagi berkembangnya semua kemampuan. Berbicara dalam konteks yang lebih luas, di sini, kemampuan seperti membalap (racing), bermain games, bahkan sepakbola, belum dianggap serius. Alhasil, jika ada individu-individu yang menekuninya, tidak didukung maksimal, dan bahkan dipandang sebelah mata. Di kasus-kasus tertentu, orang-orang ini terpaksa bekerja di bidang yang tidak mereka sukai hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Fenomena generasi tanpa kantor, walaupun tidak menyelesaikan persoalan pekerjaan secara mengakar, namun menyediakan alternatif bagi orang-orang yang tidak terserap oleh pasar di level lokal.
Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian punya pendapat berbeda? Saya tunggu balasannya di kolom komentar []
|
|
|
*kalword.blogspot.com akan selalu menjadi situs gratis yang mengangkat isu-isu penting di sekitar kita. Untuk mendukung blog ini, silakan klik iklan yang terdapat di sebelah kiri layar. Terima kasih atas kunjungan dan perhatian teman-teman!