Akreditasi Kampus dan Kebohongan

(Sumber: Nathan Dumlao)

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.  Dalam praktiknya, ada beberapa poin yang dinilai. Mengutip artikel dari blogs.itb.ac.id, aspek-aspek tersebut antara lain:
  • Kurikulum dari setiap program pendidikan.
  • Jumlah tenaga pendidik.
  • Keadaan mahasiswa.
  • Koordinasi pelaksanaan pendidikan, termasuk persiapan sarana dan prasarana.
  • Kesiapan administrasi akademik, kepegawaian, keuangan dan rumah tangga dari perguruan tinggi.
Seyogianya, tidak ada yang keliru dari proses ini. Dengan melakukan akreditasi, kampus akan mengetahui seberapa tinggi kualitas yang mereka miliki, dan melakukan perbaikan di bidang-bidang yang masih memiliki kekurangan. Bagi pemerintah sebagai pemegang otoritas, akreditasi akan memberikan gambaran terkait apa saja yang perlu disuntikkan pada sebuah kampus agar bisa lebih baik di masa depan. Bagi calon mahasiswa, akreditasi berguna untuk menilai kualitas kampus sebelum mereka mendaftar. Selain itu, berbicara tentang dunia kerja, akreditasi akan memudahkan perusahaan untuk menjaring calon-calon pekerja sesuai standar yang mereka tetapkan.

Itulah letak permasalahannya.

Akreditasi yang notabene adalah alat ukur kualitas kampus, di beberapa kampus, justru dimanipulasi prosesnya untuk mendapatkan nilai terbaik (A). Alasan yang seringkali dipakai untuk menjustifikasi hal ini adalah: dengan akreditasi A, kampus akan berpeluang memperoleh lebih banyak mahasiswa baru; alumni akan berkesempatan bekerja di perusahaan/ instansi ternama. Semacam simbiosis mutualisme.


Memang tidak ada yang salah dengan target capaian seperti itu. Yang keliru adalah proses manipulasi atau fabrikasinya. Bagaimana mungkin kampus yang notabene berperan sebagai pencerah di tengah masyarakat, justru menetapkan standar moral yang begitu rendah hanya untuk memperoleh nilai A dalam akreditasi. Terlebih, dalam praktik ini, terkadang saya melihat, dosen atau staf di kampus ikut melibatkan mahasiswa. Sadar atau tidak, bukankah ini termasuk pendidikan korupsi?

Saya pikir, universitas perlu serius untuk berubah. Saya tahu sebagian akademisi tidak senang dengan praktik ini. Tinggal perlu keberanian untuk berbicara, mengubah hal yang telah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun. Ingatlah bahwa universitas adalah salah satu tempat di mana generasi muda belajar, dan setelah lulus mengisi posisi-posisi pengabdian di tengah masyarakat. Jika terus seperti ini, generasi seperti apa yang sedang kita coba lahirkan? []

|
|
|
*kalword.blogspot.com akan selalu menjadi situs gratis yang mengangkat isu-isu penting di sekitar kita. Untuk mendukung blog ini, silakan klik iklan yang terdapat di sebelah kiri layar. Terima kasih atas kunjungan dan perhatian teman-teman!

Saturday, October 20, 2018 by Muhammad Haekal
Categories: , , , , Leave a comment

Leave a Reply