Cerita I
Suatu hari saya sakit. Badan panas, kepala pusing. Cuaca memang sedang tidak bersahabat. Awan sedang semangat-semangatnya melahirkan hujan. Angin pun bertiup kencang. Gawatnya lagi, hari itu saya memiliki jadwal mengajar les bahasa Inggris di sebuah SMP.
Pukul 13.30 WIB. Kepala saya masih berdenyut. Saya memutuskan untuk tidak mengajar dan mencari guru pengganti. Saya pun segera mengaduk daftar kontak di handphone, dan menghubungi beberapa teman. Sayangnya, semua jawaban yang muncul adalah maaf. Sebagian mereka telah memiliki jadwal mengajar, sebagian lain harus masuk kuliah. Sementara 30 menit lagi, les akan dimulai. Jika tidak mendapatkan pengganti, saya terpaksa masuk.
Saya kembali melihat daftar kontak. Tangan saya berhenti di sebuah nama. Dia harapan terakhir. Saya tidak punya nama lain yang bisa dijadikan guru pengganti. Mengajar tidak bisa sembarangan. Saya pun mem-forward SMS yang sebelumnya telah saya kirim ke teman-teman.
“Ada kegiatan apa? Bisa gantiin ngajar? Aku lagi kurang sehat.”
Dia membalas. Di baris awal, dia mengatakan sedang berada di ruang kuliah. Menunggu dosen masuk. Oh tidak! Saya harus mengajar sepertinya. Namun di baris akhir muncullah kalimat penyelamat itu:
“Tapi gak papa, kok. Kalau memang sakit, biar aku yang gantikan.”
Cerita II
Di kantor bagian administrasi jurusan saya, terdapat kulkas pendingin yang berisi berbagai macam minuman untuk dijual. Ya, berhubung pihak fakultas sampai sekarang belum menyediakan kantin (karena kami baru pindah ke gedung baru), jadi pihak jurusan berinisiatif membuka kantin kecil-kecilan. Ya minimal tidak perlu repot keluar dari area kampus.
Suatu hari, saya bersama seorang teman, dimintai bantuan untuk membeli stok minuman dan snack: dua kotak jus buah, satu kotak air mineral dan sari kacang hijau, satu kotak mie seduh, dan beberapa jenis makanan ringan.
Belanja selesai. Selang 15 menit, kami tiba di pelataran kampus persis seperti sepasang suami-istri yang baru belanja bulanan. Kami pun berjalan diiringi tatapan heran para mahasiswa. Teman saya mengangkat sekotak air mineral, mie seduh, dan aneka snack. Sementara saya menggotong dua kotak jus buah dan sekotak sari kacang hijau. Kantor jurusan berada di lantai 2.
Di tangga, seperti diterpa angin surga, saya bertemu dengan seorang mahasiswi. Cantik. Adik letting. Terang saja saya senang, bukan hanya karena dia cantik, tapi saya bisa meminta bantuannya mengangkat kotak minuman! Walau hanya tiga kotak, saya yang jarang olahraga ini merasa perlu bantuan. Jika dia mengangkat satu kotak saja, akan sangat membantu.
“Dek, tolong abang bisa? Angkatin satu kotak ke atas.” Saya bertanya. Benar-benar tidak berniat menggoda atau bercanda. Keringat mengalir dari pelipis.
“Ih, sorry ya!” Dia menjawab.
“Aduh serius! Bisa?” Saya bertanya lagi.
“Sorry, bang!”
Mendengar itu, saya pun langsung naik. Sakitnya, dia bukan sedang sibuk atau melakukan apapun. Dia hanya berdiri saja di situ. Entahlah, tapi saya merasa kecantikannya pudar begitu saja. Seperti disapu tsunami.
Kesan
Dua cerita di atas adalah tentang pengorbanan. Kebaikan hati. Ketulusan diri. Di cerita pertama, teman saya itu memiliki jadwal kuliah. Hari pun hujan. Tapi mendengar temannya sakit, dia rela mengorbankan waktu dan kepentingannya. Di cerita kedua. Mahasiswi yang cantik rupa itu, sekalipun dia mengetahui jelas bahwa dia bisa membantu, tapi dia tidak melakukannya.
Saya tidak ingin memvonis mereka dengan sebuah kejadian itu. Bisa jadi di cerita pertama, si teman selalu hadir di mata kuliah yang akan dia ikuti. Sehingga meninggalkannya sesekali bukan merupakan masalah baginya. Boleh jadi juga, di cerita kedua, mahasiswi tadi sedang menunggu seseorang dan tidak bisa beranjak dari tempatnya barang sesaat. Terdapat banyak kemungkinan. Tapi, pengorbanan tetap pengorbanan. Kebaikan tetap kebaikan. Ada kesan yang membekas di sana.
Hati dan Fisik
Dalam sebulan, rata-rata seorang perempuan atau laki-laki bisa menghabiskan uang hingga jutaan rupiah untuk perkara fisik. Menempa tubuh di gym. Pergi ke salon. Membeli make-up. Bahkan sebagian tak ragu untuk berkonsultasi dengan dokter. Semua itu dilakukan untuk terlihat tampan atau cantik. Terlihat sempurna secara fisik.
Namun kemudian bagaimana dengan perkara hati? Adakah setiap hari kita membeli “make-up” untuk hati? Berusaha menyehatkankannya dengan konsultasi ke “dokter”?
Di akhir zaman ini, hati memang cenderung terlupakan. Dianggap sebagai faktor kedua di bawah fisik. Maka tidak heran sering muncul: lelaki tampan tapi penghianat. Perempuan cantik tapi pendusta. Dan berbagai macam kombinasi buruk lainnya.
Melatih Hati
Sedari sekarang, ada baiknya kita mulai memperbaiki hati. Menjadikannya cantik dan bersinar. Langkah awal yang bisa ditempuh adalah dengan dzikir. Mengingat Allah. Minta ampun kepada-Nya. Mohon bantuan-Nya untuk membersihkan hati kita. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Perlahan tapi pasti, mulailah berkorban untuk orang lain. Membantu saudara yang kesusahan. Melengkapi mereka yang kekurangan. Percayalah bahwa ketika hati baik, seluruh jasad ikut baik. Yakinlah orang akan lebih lama bertahan dengan seseorang yang memiliki hati baik ketimbang fisik yang baik tapi berhati buruk. Insya Allah.
Akhirnya, semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca. Saya tunggu komentarnya :)