Pada suatu pertemuan, saya menugaskan anak-anak untuk mempresentasikan cita-cita mereka. Sebentar lagi mereka akan tamat sekolah. Tidak ada salahnya untuk mengingat-ingat lagi mimpi dan harapan. Minimal mereka memiliki arah dan gambaran masa depan – dari suara hati mereka sendiri, bukan perspektif orang lain.
Saya senang juga. Di tahun 2014 ini saya masih mendengar cita-cita hebat khas anak-anak, semisal astronot dan presiden. Saya kira di zaman serba realistis ini tidak ada lagi orang yang percaya dengan mimpi.
Di tengah-tengah sesi presentasi, seorang anak bertanya kepada saya: cita-cita Bapak apa? Saya menyesal lupa membuat peraturan “DILARANG MENANYAI GURU”. Hahaha. Bercanda. Saya hanya tidak begitu siap untuk menjawabnya.
Saya pun memerlukan waktu beberapa detik untuk berpikir. Jika mau jujur, saya jadi malu sendiri. Jika berbohong, saya tidak memberikan teladan yang baik. Akhirnya, saya memilih pilihan yang pertama dengan mengatakan: Bapak ingin menjadi penulis.
Mendengar jawaban itu, anak-anak pun merespon dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah saya duga: sudah punya buku? Berapa buah? Buku jenis apa yang ditulis? Apa judulnya?
Saya pun dengan terpaksa mengulang lagi deretan buku-buku zaman dahulu kala yang sekarang saya yakin tidak lagi dipajang di etalase toko, tapi rak-rak para kolektor – saking lamanya. Mau cerita apa lagi. Memang begitulah adanya. Dalam hati, saya sebenarnya juga ingin bercerita tentang tulisan yang dimuat di surat kabar. Tapi tidak jadi karena rasanya kurang greget.
Diskusi kami terus berlanjut. Seperti acara ‘bedah buku’ yang sedang klimaks, muncul lagi pertanyaan yang lebih tidak saya inginkan: jika Bapak bercita-cita menjadi penulis, kenapa sekarang malah jadi guru?
Pertanyaan yang sulit. Dan anak yang bertanya itu – ia sebelumnya mengatakan ingin menjadi dokter, seharusnya menjadi host Mata Najwa jika nanti Najwa Shihab pensiun. Walau sayang, ia takkan bisa karena jenis kelaminnya laki-laki dan matanya bukan mata Najwa.
Passion vs Realitas
Passion berarti antusiasme atau kecenderungan manusia terhadap suatu hal. Jika kita nyaman, merasa tidak butuh dibayar, atau senang-senang saja dalam melakukan sesuatu, maka itu disebut passion.
Tantangannya adalah ketika usia kita semakin dewasa dan kewajiban meluas. Jika dulunya kita diberikan kebutuhan, maka ada masanya ketika kita menjadi pemberi. Maka kemudian kita memerlukan uang dan membutuhkan pekerjaan. Lalu bagaimana dengan passion?
Sebagian orang sukses mengubah passion menjadi pekerjaan. Seseorang yang cinta sekali memancing, ia mendirikan usaha pemancingan. Ia pun seperti tidak bekerja dan hebatnya lagi ia memperoleh penghasilan.
Namun tidak semua berakhir manis seperti itu. Sebagian lain justru terpaksa berhenti, sementara atau selama-lamanya. Tidak tahan dengan deraan pertanyaan, “Kerjaan kamu apa, kenapa setiap hari kerjanya hanya main-main saja?”
Passionarealista
Kesabaran adalah kunci dari semuanya. Banyak contoh orang yang berhasil mengikuti passion-nya walau dengan proses yang berdarah-darah. Tidak mungkin seseorang sama sekali tidak mendapatkan apa-apa jika ia telah berusaha sekuat tenaga. Insya Allah.
Lalu bagaimana dengan orang yang belum sanggup melakukan semua itu?
Ada baiknya untuk sedikit realistis. Mengambil dan menjalani dulu peluang yang ada. Sambil tentunya tidak melupakan bahwa kita punya passion! Terlebih apapun ceritanya, kita masih punya waktu 24 jam. Jika memang berniat, kita bisa membagi waktu, bukan?
Maka passion + reality = Passionarealista.
Belum ada dalam kamus.
***
“Jika Bapak bercita-cita menjadi penulis, kenapa sekarang malah jadi guru?”
“Takdir, Nak.”
sumber gambar