Saya menulis ini karena sedang rindu kepada Ayah dan Mamak. Sebenarnya perasaan ini telah muncul tepat ketika saya pamit ke Jakarta.
Semenjak saya pergi, Mamak hampir setiap hari menelepon. Dua hal yang paling sering ia tanyakan adalah “apa kabar?” dan “apa kau senang?”. Saya selalu menjawab “kabar baik” dan “senang dikit”. Seburuk apapun keadaan saya saat itu, kabar saya memang selalu membaik jika Mamak menelepon. Sementara jawaban kedua seperti sebuah pernyataan bahwa tiada tempat yang lebih menyenangkan dibanding kampung halaman.
Mamak adalah orang yang bangun paling pagi di rumah. Sebelum subuh, ia telah menghidupkan pompa air. Memanaskan lauk. Dan membuka tirai jendela. Jika azan hampir tiba, ia akan berkeliling mengecek apakah kami sudah bangun. Sepulang shalat, biasanya beberapa lembar roti bakar dan secerek teh manis telah tersedia di meja. Sebelum semua itu habis kami lahap, ia akan datang lagi dari dapur dengan membawa tiga piring nasi goreng.
Salah satu kebiasaan Mamak yang khas adalah rutinitasnya meminum herbal. Hampir setiap hari ia meminum air rebusan daun salam. Jika kondisi tubuh sedang tidak fit, ia akan pergi ke pekarangan untuk memungut buah mengkudu. Sarinya diperas lalu diminum. Di malam hari, sebelum tidur, ia biasa memetik daun binahong. Melumatnya dengan tangan, lalu membalurkannya di wajah. Mamak saya tidak begitu suka mengonsumsi obat-obatan kimia kecuali terpaksa.
Sementara Ayah adalah lelaki yang tidak banyak bicara. Jika saya bertanya, ia biasanya menjawab dengan “mmm” yang diikuti anggukan–berarti “ya”, atau terdiam lama yang berarti “tidak”. Dalam hal ini, salah satu keuntungan merantau adalah saya bisa berbicara lebih lama dengannya di telepon.
“Apa kabar?” tanya saya.
“Baik.”
“Bagaimana pekerjaannya?” Ayah sedang menulis disertasi.
“Belum selesai.”
“Kapan pulang ke Aceh?”
“Belum tahu.”
Saya mencatat, pembicaraan kami paling lama berlangsung satu menit-enam belas detik.
Seperti kebanyakan orang tua angkatan 1990-an, Ayah saya memegang prinsip “ketegasan adalah rasa sayang”. Salah satu perwujudannya adalah dengan berbicara seperlunya. Hal ini sebenarnya hanya berlaku di rumah. Sewaktu Taman Kanak-kanak, saya pernah mengikuti Ayah ke kampus. Sepanjang kuliah, ia hampir tidak berhenti berceramah. Saya tertidur karenanya.
Di balik ketegasannya, Ayah gemar menyapu halaman di pagi hari. Ia juga kadang-kadang terlihat mengangkat jemuran dan mencuci piring. Saya baru tahu hal ini keren sejak membaca novel Tere Liye. Entahlah apakah Ayah saya ikut membacanya. Namun yang saya tahu kebiasaan ini sudah berlangsung lama–dan Ayah lebih sering terlihat membaca Al-Quran ketimbang novel.
Ayah juga melakukan pekerjaan yang “ayah sekali”. Jika alat elektronik rusak, ia akan berusaha memperbaikinya. Kalau tidak berhasil, baru dibawa ke toko. Saat saya hobi memelihara ayam, Ayah membeli beberapa batang bambu dan membuatkan kandang. Ayah juga menyambung sendiri pipa air ke dalam sumur. Kalau semuanya ditulis akan banyak sekali. Saya jadi bertanya-tanya dari mana ia belajar semua itu?
Orang tua saya membebaskan saya untuk memilih jalan kehidupan saya sendiri. Mereka membolehkan saya kuliah di mana pun. Bekerja di bidang apapun. Asal saya bahagia. Jika ada satu hal yang mereka paksakan dari dulu, itu adalah shalat. Untuk hal itu, tidak ada kompromi. Saya pernah dihajar pakai sapu lidi sewaktu malas-malasan shalat.
Menjadi orang tua sesungguhnya adalah pekerjaan seumur hidup. Seseorang tidak bisa berhenti menjadi orang tua bahkan ketika ia telah tiada sekalipun. Tidak ada istilah “mantan orang tua”, kan? Ada tanggung jawab yang luar biasa di sana. Tanggung jawab yang harus dibawa hingga ke akhirat kelak. Saya sendiri merasa tidak lama lagi mencapai tahapan ini. Beberapa teman seangkatan bahkan sudah lebih dulu memulai.
Dalam kesempatan ini, saya ingin berterima kasih kepada Ayah dan Mamak yang telah mencontohkan bagaimana menjadi orang tua yang baik. Walaupun mereka tidak pernah secara langsung berkata cinta, tapi sungguh mereka telah menunjukkannya. Bagi mereka, cinta adalah kata kerja. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Selagi masih ada waktu, saya mengajak teman-teman untuk mendoakan orang tua kita. Berbakti kepada mereka. Dan akhirnya, jika Allah SWT kelak mengizinkan saya masuk surga, saya punya satu permintaan: menjadi anak Ayah dan Mamak lagi.
Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berkunjung :)
sumber foto: dok. pribadi