Menyaingi Orang Asing dengan Jujur

foto: gramedia.tumblr.com
Oleh: P.K. Ojong*

Pengusaha luar negeri masih saja takut terhadap kemungkinan pengambil alihan, kalau mereka menanam modalnya di Indonesia.

Ini kembali ternyata dalam wawancara Kompas dengan Dr. Emil Salim yang baru kembali dari Australia.

Sebaliknya orang-orang seperti kami, pengisi ruangan ini juga takut kalau kita kembali ditulari penyakit zaman pra Gestapu itu.

Dua-dua sama takut, jadi cocok!

*

Kebetulan kami dari dekat dapat mengikuti nasib sebuah perusahaan asing (Belanda) yang kita ambil alih yakni toko buku Van Dorp.

Gedungnya yang baru besar dan mengesankan, dan buku-buku yang dijualnya ketika masih dipimpin pemiliknya, sangat mengesankan. Termasuk salah satu toko buku yang terbaik di ibu kota.

Kami setiap minggu paling sedikit sekali mengunjunginya.

Lalu terjadi pengambilan alih atau desakan halus untuk menjualnya.

Lewat beberapa minggu ketika kami kira-kira pukul 10 pagi ke sana, ternyata tokonya belum bisa dibuka. Pegawainya belum masuk. Karena apa? Karena mobil yang mengangkut pegawai belum datang.

Baru pukul 10.30 toko dapat dibuka. Sesuatu yang belum pernah kami alami. Belakangan ini sering begini bunyi keterangan seorang pegawai yang kami kenal baik. Ia menarik nafas panjang.

Suasana di seluruh toko buku yang besar itu pun berlainan sekali. Lesu. Lamban. Tanda-tanda pertama dari demoralisasi.

Dan semua ini karena satu dua orang pemimpin yang lama terpaksa meninggalkan negeri ini.

*
Beberapa hari kemudian kami mendengar dari pegawai toko buku itu, bahwa pemimpin yang baru (dari ABRI) telah berangkan ke luar negeri untuk beberapa minggu lamanya.

"Untuk apa?" tanya kami.

"Untuk meninjau pasaran buku dan mengadakan pesanan."

Kami tersenyum.

Kalau orang yang tidak berpengalaman di bidang buku disuruh ke luar negeri untuk meninjau pasaran buku, ia justru akan bingung dan tak mendapatkan overzicht, kalau dikonfrontasikan dengan ratusan judul buku yang terdapat dalam perpustakaan suatu penerbit di luar negeri seperti Oxford UP, Cambridge UP, Methuen, Hawthorn, Nelson, Burns & Oats, Mouthon, Praeger, McGraw Hill, Harper & Row dan berbagai university presses di Amerika Serikat.

Apalagi dari koleksi penerbit itu ia tak tahu mana yang masih in print, masih dapat dipesan.

Kalau ia datang di Frankfurter Buchmesse (gelanggang buku di kota Frankfurt) bulan September atau Oktober, ia juga tidak akan mendapat gambaran lengkap, karena gelanggang itu hanya memperlihatkan perkembangan terakhir. Gelanggang itu hanya dapat dimanfaatkan oleh seorang yang ahli.

Bagi seorang yang mengerti soal buku, tak perlu ke luar negeri untuk mengetahui pasaran buku di dunia, dan untuk melakukan pesanan.

Kumpulkanlah katalogus dari semua penerbit yang terpenting di dunia ini (dapat diminta dengan cuma-cuma) dan "kurunglah" ahli itu dalam satu kamar satu bulan lamanya dengan memberi makanan dan minuman, maka ia akan mendapat gambaran yang benar tentang pasaran buku di dunia dan ia akan dapat menyusun suatu daftar pesanan buku yang dapat membangkitkan air liur setiap pencinta buku Indonesia.

*

Sekarang lewat beberapa tahun toko buku Van Dorp itu tidak ada lagi. Tokonya pun tidak ada lagi. Dan yang terpenting juga buku-bukunya tidak ada lagi.

Ruangannya diambil alih oleh Sarinah International, dan sisa toko bukunya tergeser ke suatu kamar di tingkat satu. Kecil. Sempit.

Ketika kami baru-baru ini ke sana, suasananya mematahkan semangat. Inilah sisa dari toko buku Van Dorp yang pernah jaya itu.....

*

Jiwa suatu perusahaan bukanlah terletak pada gedungnya, pada perabotnya, mobilnya, truknya, arsipnya, dan ruangan etalasenya, tapi dalam keahlian pemimpinnya.

Apa yang sebetulnya kita lakukan dengan pengambilan alih toko buku Van Dorp ini?

Keahliannya efisiensinya kita depak ke luar negeri. Dan yang kita pegang ialah gedungnya, perabotannya, mobilnya, dan sebagainya.

Yang kita tendang ialah unsur hidupnya. Yang kita pegang ialah benda-benda yang mati—hasilnya pauperisasi (kemiskinan) yang menyedihkan.

Kami sengaja mengambil contoh toko buku, karena di kalangan swasta ada cukup banyak toko buku milik orang Indonesia yang baik, yang efisien, yang karena itu selama tahun-tahun yang sulit ini dapat bertahan terus, sedangkan yang diambil alih itu mati mereres.

Buat apa mesti menyakiti hati orang lain dan merugikan mereka, serta mematikan perusahaan yang hidup, kalau kita sendiri sanggup membangun perusahaan yang tidak kalah baiknya, milik orang Indonesia, bernama Indonesia, dan dipimpin oleh ahli-ahli Indonesia pula.

Biar kita menyaingi orang asing itu dengan jujur.***

*P.K. Ojong atau Petrus Kanisius Ojong lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juli 1920. Sebelum menjadi wartawan, ia sempat berkarir sebagai guru selama empat tahun (1940-1944). Antara 1946-1951 ia menjadi anggota redaksi surat kabar harian Keng Po dan Star Weekly. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1951) ini juga ikut mendirikan majalah Intisari, majalah sastra Horison, dan surat kabar Kompas. Sejak tahun 1970 hingga akhir hidupnya (31 Mei 1980), ia menjadi pemimpin umum PT Penanaman Modal Dalam Negeri Gramedia, yang bergerak dalam penerbitan. Buku pentingnya yang merangkum berbagai macam tulisannya dalam beragam-ragam tema (pers, politik, asimilasi, cendikiawan, pelayanan masyarakat, tertib hukum, kebudayaan, ekonomi, dan serba-serbi kota Jakarta) adalah Kompasiana, diangkat dari sebuah rubrik harian Kompas yang banyak penggemarnya. Rubrik ini muncul pada tahun 1966 dan bertahan hampir lima tahun lamanya.

Sumber: P.K. Ojong, Kompasiana, Gramedia, Jakarta, 1981. (Disalin dari Horison Esai Indonesia, 2003)

Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berkunjung :)

Monday, December 1, 2014 by Muhammad Haekal
Categories: , , Leave a comment

Leave a Reply