Oleh HAMKA*
Seni tidak ada, kalau cinta tidak ada.
Apa sebabnya ada keindahan? Sebabnya ialah karena ada cinta.
Dengan cinta alam diciptakan. Tiap awal surat Qur’an dimulai dengan
“Bismillaahir rahmaanir rahiim”; di atas nama Allah, Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang”. Itulah kunci rahasia cinta di alam ini. Timbulnya perasaan
halus ialah karena cinta. Segala seni yang tinggi, syair, musik, lukisan adalah
laksana rumus untuk membuktikan adanya Yang Rahman dan Yang Rahim.
Dalam kehidupan kita melalui suatu jalan yang bernama
“Sirathal Mustaqim”; jalan yang lurus tetapi banyak keloknya, datar tetapi
terlalu banyak pendakian dan penurunan. Alangkah ganjilnya. Kalau tidak ganjil
tidaklah hidup namanya. Dalam perjalanan ini bertemu kesulitan, tapi kesulitan
itulah setengah dari keindahan. Berbahagialah orang yang dapat menumpahkan
perasaannya karena keindahan itu. Itulah ahli seni. Dan berbahagialah pula kita
kalau kita kenal akan perasaan yang dinyatakannya itu. Dan lebih berbahagia
lagi, kalau pikiran kita terus ingin mencari di mana rahasia keindahan itu;
itulah bayangan filosof. Demi bila kita dapat meneruskan perjalanan ke sebalik
pikiran itu, ke tempat yang lebih tinggi lagi, bertemulah kita ke dengan jalan
tujuan hidup; itulah iman. Dari iman itulah kita mendapat ma’rifat. Ke sanalah tujuan
seni pada keyakinan saya!
***
Tuan hendak menjadi
pujangga?
Kalau dalam hati tuan belum tumbuh dengan suburnya rasa cinta, janganlah hendak mencoba menjadi
pujangga. Belumlah ada artinya hidup, kalau tuan belum merasai lezat cinta. Dan
tuan pun belumlah mengecap lezat cinta, sebelum tuan mengenal hidup.
Dengan menempuh berbagai macam jalan orang mencari Allah.
Tetapi dengan cintalah jalan yang semudah-mudahnya. Bercintalah, sampai tuan
menjadi satu dengan yang tuan cintai.
Yang mana yang akan tuan cintai? Dari mana tuan hendak
masuk? Apakah dari keindahan alam? Atau dari kecantikan perempuan? Atau di
tanah air tempat tuan dilahirkan? Itu semua belumlah cinta. Itu barulah
jalan-jalan buat menuju pintu gerbang percintaan. Hakikat hidup adalah laksana
pohon yang rindang dan subur. Maka janganlah dicukupkan sehingga hanya
mencintai sekuntum bunganya, sehelai dari daunnya, serangkai dari buahnya. Kalau
hanya bungannya yang dicintai, bagaimana dengan duri pemagar bunga? Bagaimana dengan
ranting tempat bunga berjuntai? Bagaimana dengan cabang tempat ranting
menumpang? Bagaimana dengan dahan tempat cabang melekatkan diri? Bagaimana dengan
pohon tempat berkumpul segala dahan? Bagaimana dengan urat, yang mengisap bumi
mengambil sari makanan untuk pohon, yang akan dibagikan sampai ke ujung pucuk? Bagaimana
dengan bumi tempat dia ditumbuhkan? Bagaimana dengan sang surya yang memberinya
cahaya?
Kalau sehelai daun di ujung dahan berhak beroleh rahmat
cintamu, maka seluruh pohon itu pun, dan tempat dia tumbuh, dalam alam sekelilingmu
pun, berhak beroleh cintamu. Cinta yang hanya mengenai sebagian kecil dari
lapangan hidup yang luas, belumlah bertemu hakikat cinta.
Orang bertanya kepadaku; “Ada daun rontok dan ada ranting
yang lapuk. Ada pula bunga yang telah busuk? Apakah ke sana aku mesti mencintai
juga?”
Memang ada ranting lapuk, ada daun rontok, ada bunga yang
busuk. Tetapi, lupakah tuan bahwasanya bagian yang sakit itu pun adalah bagian
dari yang sehat? Dan yang sehat menjadi sehat, bukankah karena pengorbanan dari
yang sakit? bukankah bagian yang sedianya akan dimakannya, yang diberikannya
kepada yang sehat itu?
Tuan bertanya pula; “Di mana tempatnya dan di mana tumbuhnya
syajaratul hayat, pohon kehidupan
itu?” Aku jawab: “Pohon kehidupan itu tidaklah jauh. Dia adalah diri tuan
sendiri. Maka diri tuan sendiri, tidaklah dapat dibagi-bagi. Satu pucuk tidak
dapat diperlawankan dengan pucuk yang lain, buah dengan buah pun tidak, dahan
dengan dahan pun tidak. Hanya SATU bumi tempatnya menyusun, hanya SATU rasa
yang mengalir sejak dari urat, ke batang, ke dahan, ke ranting sampai ke ujung
daun.
Tuanlah pohon kehidupan itu. Urat tuan menjalar ke tiap
tempat dan ke tiap zaman. Ranting dan buah, ada di tiap tempat dan di tiap
zaman. Jangan melemparkan kebencian kepada daun yang layu dan kembang yang
rontok. Sebab dia adalah sebagian dari diri tuan. Kalau tuan ingin agar pohon
kehidupan itu tetap subur, dan buahnya tetap lezat, bunganya tetap mekar dan
harum, janganlah tuan abaikan menyiramnya dengan CINTA.
Cinta adalah air-tirta kehidupan. Benci adalah racun yang
membawa maut. Jika kebencian masuk menyelinap ke dalam pohon kehidupan,
tumbanglah pohon itu. Biarkanlah cinta itu mengalir dalam seluruh pohon,
laksana mengalirnya darah dalam seluruh tubuh. Jika perjalanan darah tiada teratur,
penyakitlah yang akan datang bertimpa. Tidak akan terdapat daun yang layu,
dahan yang lapuk, selama urat masih sempurna menghisap SARI dari bumi tempatnya
menyusu.
Janganlah cinta diletakkan kepada SIFAT, sebab sifat boleh
berubah, karena perubahan tempat dan zaman. Langsungkanlah terus cinta itu
kepada ZAT. Adapun Zat yang hakiki, zat yang mutlak ialah zat Allah. Itulah wujud
yang sempurna, yang tiada terpecah lagi. Kalau diperdalam lagi, cinta yang
sejati itu ialah Allah. Sebab Allah cinta akan dirinya.
Tuan belum bertemu dengan cinta, selama tuan masih jauh dari
zat yang mutlak ini. Kunci emasnya belum terpegang di tangan tuan. Cinta yang
sejati itu adalah nikmat. Meskipun tuan mengaku telah bercinta, padahal batin
tuan masih merasa tersiksa, tandanya tuan belum mencintai zat yang mutlak. Tandanya
cinta tuan masih singgah-singgah di tengah jalan, ke tempat yang lain, yang
berubah-ubah dan perindah-pindah, sebab semuanya itu barulah bayangan.
Cinta laki-laki kepada perempuan, cinta perempuan kepada
laki-laki; itu belumlah cinta. Itu adalah baru rumus, yang mungkin dari sana
dapat menempuh jalan kepada cinta zat mutlak tadi.
Cinta ayah bunda kepada anaknya, barulah bendul di ambang
pintu, menuju cinta yang mutlak.
Puas hati seorang laki-laki dan perempuan, bilamana telah
bertemu badan dengan badan; kecewa dan menangis-nangis sebelum bertemu; belum tentu dapat dinamai jalan menuju cinta.
Ilmu pengetahuan manusia sudah tinggi, buat mengatakan bahwa bukan itu yang
cinta.
Mempunyai seorang musuh adalah kerugian dan kehilangan
seorang teman. Bagaimana pelabuhan hati, yang dilanggarnya telah terpaut sebuah
bahtera yang bernama permusuhan, akan dapat memuat lagi sebuah bahtera yang
bernama kecintaan? Hatta ulat kecil yang sedang merayap di tanah, jika Tuan
cintai, adalah mencintai diri Tuan sendiri.
Yang Tuan cintai tidaklah pernah putus dengan yang Tuan
benci. Senantiasa ada hubungannya, laksana hubungan jantung Tuan dengan dada
Tuan.
Kata orang mencintai diri sendiri dan mementingkannya,
adalah tercela. Kataku tidak! Bahkan aku menganjurkan, cintailah dirimu dan
pentingkanlah dia. Sebab dia adalah gerbang buat menuju cinta yang paling
besar. Pupuk dan belai dia baik-baik, sebab dia pohon hidup. Dari diri, kita
mencari jalan ke sana, ke tempat yang jauh tetapi dekat. Orang yang mencintai
dirinya dengan jalan demikian, tidak mengenal adanya orang lain. Dirinya dan
orang lain, sebenarnya adalah satu; “Engkau adalah aku, dan aku adalah engkau!”
Kata orang, cinta adalah perangai yang utama. Kataku, cinta
adalah kemestian. Cinta lebih perlu daripada nasi dan air. Lebih perlu daripada
cahaya dan udara. Kalau Tuan telah mulai merasai cinta, tidak perlu Tuan
membangga, tetapi teruskanlah memenuhi segenap rogga hidup dengan dia. Makanlah
dia sebagai memakan nasi, minumlah dia sebagai meminum air. Hiruplah dan hembuskanlah,
dan hirup pula, sebagai menghirup, menghembuskan nafas. Tidak perlu cinta
diangkat-angkat, sebab dia sudah tinggi sendirinya.
Karena cinta, kita tidak perlu meminta upah. Sebab cinta itu
sendiri sudahlah upah. Apakah lagi nikmat yang lebih tinggi, yang dianugerahkan
Tuhan kepada kita, ke dalam perasaan jiwa kita, yang melebihi daripada nikmat
rasa cinta? Dan sebaliknya, apakah pula suatu kutuk laknat dan siksaan, yang
menjadi penyakit di dalam hati kita, yang melebihi daripada merasa benci kepada
orang lain?
Bercinta tidak meminta perhitungan. Sebab cinta itu tidak
menghitung, selain dirinya sendiri. Cinta tidak berhutang dan tidak berpiutang.
Cinta tidak dapat dibeli tidak dapat dijual. Kalau dia memberikan, adalah
memberikan semua. Kalau dia mengambil adalah mengambil semua. Dia selalu cukup
sebagaimana adanya, tidak pernah berlebih dan tidak pula kurang. Begitu tempo
hari, begitu kini dan begitu pula selama-lamanya.
Dari puncak gunung-gunung turunlah air ke bawah, menjadikan
sungai besar, buat meneruskan perjalanannya; memenuhi lautan. Apabila lautan
telah penuh, laut pun memanggil awan, meminta tolong, menghisap dirinya dan
mengirimkan hujan kembali ke puncak gunung itu, supaya sungai mengalirkan lagi
kepadanya. Demikianlah terjadi pertemuan tiada putus-putusnya di dalam alam,
dalam cinta. Air yang hanya tergenang adalah bahaya. Batin yang tiada memberi
dan tiada menerima, adalah lebih berbahaya.
Pepatah lama mengatakan “Cinta itu buta”. Memang orang yang
bercinta sekali-kali tidak melihat ada cacat pada yang dicintainya. Itu sebabnya
dia dikatakan orang buta. Kalau itu yang dikatakan buta, maka itulah buta yang
seindah-indahnya. Aku rela dikatakan buta, lantaran aku memang tidak melihat
lagi suatu cacat pada yang aku cintai.
Tuan siap sebetulnya! Cinta bukan buta. Cinta mempunyai
penglihatan yang menembus segala hijab. Maka berbahagialah kita kalau mata kita
telah dibersihkan oleh cinta, sehingga tidak ada lagi di dalam wujud ini
sesuatu apapun yang tidak kita cintai. Maka yang memandang segala sesuatu
bercacat, adalah mata itu sendiri yang bercacat.
Cinta menghimpunkan dan benci memecahkan.
Cinta adalah perdamaian dan benci adalah pemaklumaman
perang. Dan perang adalah maut, dan perang adalah neraka.
Dengan berkata “aku tidak benci”, belumlah cukup mengatakan
bahwa Tuan bercinta. Tidak benci adalah sikap menunggu, yakni pasif. Tetapi cinta
adalah dorongan, yakni aktif. Cinta mencari dan mendorong, bukan menunggu dan
menyerah. Di dalam perjalanan sejauh ini, jika bukan cinta yang Tuan jadikan
tongkat, Tuan akan jatuh, jika cinta itu hilang, Tuan kehilangan arti hidup.
Langit dan bintang-bintangnya, bumi dan segala isinya, kian
hari kian jauh dari Tuan, dan Tuan terpencil hidup seorang, jika Tuan menaruh
bibit kebencian dalam hati. Terpencil dalam alam yang seramai ini! tetapi jika
bibit cinta telah tumbuh, maka langit dan bintang-bintangnya akan berkata, dan
bumi pun akan menyapa Tuan. Segala sesuatu akan berbicara, dari hati menempuh
hati; walaupun orang lain tidak mendengarnya.
Apabila ini telah terbuka, Tuan pun kaya dengan cinta, Tuan
tidak akan pernah kekeringan telaga, sebab Tuan adalah rintisan dari hidup.
Waktu itu bolehlah Tuan bersedia menjadi pujangga![]
*HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) lahir di Maninjau,
Sumatra Barat, 16 Februari 1908, dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981. Pernah
memimpin majalah Pedoman Masyarakat, Gema Islam, Panji Masyarakat, dan hingga akhir hayatnya menjabat Ketua Majelis
Ulama Indonesia. Karya-karya peraih gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar
(Mesir) ini antara lain Di Bawah
Lindungan Kabah (1938), Merantau ke
Deli (1938), Karena Fitnah (1938),
Tuan Direktur (1939), Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (1939), Keadilan Ilahi (1941), Di Dalam Lembah Kehidupan (1941), Dijemput Mamaknya (1949), Menunggu Beduk Berbunyi (1950), Penghidupan (1962), Ayahku (1967), dan sejumlah buku filsafat, etika, dan khotbah. Salah
satu karya besar Hamka adalah Tafsir
Al-Azhar.
Sumber tulisan: HAMKA, Kenang-kenangan
Hidup 2, Gapura, Jakarta, Februari, 1951.