Setelah membaca sebuah jurnal yang ditulis oleh Inman (2013), saya memahami sekilas bahwa ada hubungan yang intim antara sejarah hidup atau masa lalu seorang pemimpin dengan gaya dan kemampuannya dalam memimpin. Seseorang yang memiliki pengalaman kelam atau pernah dipimpin oleh seseorang yang otoriter dapat diasumsikan membawa serta hal-hal tersebut ketika dia dalam posisi memimpin, begitu pun sebaliknya.
Hubungan antara masa lalu dan sekarang tersebut membuat saya teringat tentang sebuah trauma yang saya alami, jauh ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Di masa tersebut, adalah sebuah kewajaran ketika setiap anak memiliki ejekan tersendiri. Ada seorang teman yang dipanggil "akuarium" karena memiliki badan lebar dan pipi tembam yang menyerupai kotak kaca. Ada yang dikutuk dengan ejekan "muka tipis" karena memiliki kulit wajah dipersepsikan begitu tipis. Saya sendiri dipanggil "jengkol", "pete", dan menjelang akhir masa sekolah, muncul ejekan baru: "Julia".
Saya tidak tahu dari mana teman-teman punya inspirasi menggunakan dua jenis tumbuhan tersebut sebagai ejekan. Seingat saya, itu bukan karena bau saya identik dengan keduanya. Sampai sekarang pun setelah coba-coba mengingat, saya tidak menemukan jawabannya. Sementara ejekan ketiga berasal dari nama seorang perempuan yang disukai teman saya. Dia menitipkan surat kepada saya agar diserahkan kepada Julia. Sialnya ketika saya melaksanakan misi tersebut, beberapa teman lain memergoki saya. Mereka mana peduli surat itu milik siapa. Yang mereka lihat dengan mata dan kepala adalah saya yang memberikannya. Mulai hari itu, resmilah saya dipanggil "Julia".
Anak-anak bisa juga berlebihan. Ada periode ketika hampir setiap hari saya diejek dengan ketiga sebutan itu. Jika sudah mulai, berhentinya bisa berjam-jam. Kalau sedang tidak kuat, saya menangis agar semuanya berhenti. Saya ingat periode ketika kejadian tersebut berlangsung hampir saban pagi. Saya pun sengaja datang pukul 07.30 WIB agar beberapa teman yang melakukan itu tidak punya waktu mengganggu saya (karena bel masuk kelas sudah berbunyi).
Ada beberapa hal yang melekat terus di pikiran saya terkait pengalaman itu. Pertama, jenis kejadiannya (ejek-mengejek). Kedua, wajah-wajah pelakunya. Ada satu hal lagi yang menjadi reaksi alam bawah sadar saya: menjauhi orang-orang itu. Tentu sekarang saya telah memaafkan momen kanak-kanak itu, tapi rekamannya tidak bisa saya hentikan khususnya ketika saya dalam periode hidup selanjutnya, mengalami kejadian yang sama.
Saya masih ingat ketika kuliah saya pernah begitu dekat dengan seorang teman. Entah hantu apa yang masuk ke dalam pikirannya ketika datang kegemarannya mengolok-ngolok persoalan mantan selama berjam-jam di kedai kopi. Di depan orang-orang. Hampir setiap hari. Saya pun memilih membuat jarak. Tetap berteman, tapi lebih berhati-hati. Tidak terlalu terbuka lagi seperti dulu.
Pengalaman tersebut menjadikan saya lebih sensitif dalam berinteraksi dengan orang lain. Karena pernah di-bully, saya sangat tahu bahwa aksi tersebut sangat tidak enak jika dialami siapapun dan oleh karenanya, saya sebisa mungkin menghindari melakukannya. Sampai sekarang, saya masih merespon candaan (berlebihan atau bahkan
tidak) dengan membuat jarak. Ada perasaan tidak nyaman besar yang tidak
dapat saya kalahkan. Kadang-kadang saya berpikir, apakah respons saya ini
salah? []
Foto: Elisabetta Foco