Oh, sudah tanggal 22? Yang benar saja!?
Saya selalu mengulang decak kagum tentang betapa waktu begitu cepat berlalu. Seperti peluru saja. Akhir bulan ini, kuliah sampai di minggu keenam dari dua belas minggu untuk satu semester. Saya tidak berharap banyak kecuali satu hal saja: semoga studi kami berkah dan ilmunya bermanfaat untuk kehidupan. Insya Allah. Itu saja.
Kuliah, terlebih ketika biayanya ditanggung oleh negara, bukan lagi menjadi semata perjalanan pribadi. Ada tanggung jawab yang besar ketika belajar dan kewajiban yang lebih besar lagi ketika pulang. Belajar itu membuat stres, tak jarang menjengkelkan. Saya memahami kemudian pelampiasan orang berbeda-beda. Ada yang jalan-jalan, ber-selfie ria, olahraga, ikut kegiatan sukarela, nonton konser, belanja, tidur-tiduran di pustaka khusus fiksi dan masak sebanyak-banyaknya (saya), dan entah apa lagi. Kita manusia, mau bilang apa. Butuh rekreasi, teman bicara, dan kadang-kadang juga butuh sendiri saja. Menjadi penerima beasiswa itu menyenangkan, tapi semua tidak berhenti di situ.
Belum lagi pening yang datang jika berpikir pulang nanti mau mengabdi di mana. Sekarang tahun 2016 ketika sarjana, master, bahkan doktor berlimpah jumlahnya. Sesuatu yang sebenarnya bisa menjadi berkah jika kita tahu bagaimana cara mengorganisasinya. Nyatanya tetap saja pulang harus berebut lagi dengan teman-teman sendiri. Saya benci menggunakan kata "berebut", tapi begitulah barangkali kenyataannya. Secara ringkas saja, hampir 80% teman yang saya tanya (mereka belum memiliki kerja tetap di Indonesia) menyatakan diri ingin menjadi dosen. Ini masih yang berkuliah di satu negara. Lalu nilai saja sebanyak apa institusi pendidikan yang ada di negeri kita? Saya ingat, beberapa dosen di kampus saya dulu saja masih mengantre posisi mengajar. Maka tidak heran ketika liburan kuliah banyak teman yang bekerja. Kami mempersiapkan diri untuk sesuatu yang kami namakan "keguncangan finansial". Beberapa memprediksi, paling tidak beberapa bulan ada yang belum dapat pekerjaan ketika lulus nanti. Beberapa teman bahkan sudah menabung uang untuk membuka usaha kecil seperti rumah makan atau kedai kopi. Pada akhirnya kita tiba pada kenyataan bahwa semua orang butuh makan sambil berusaha tetap menjalankan kewajiban untuk mengabdi.
"Kal, kamu bisa masak. Kopi buatanmu enak. Mungkin kamu bisa membangun kedai sendiri di Indonesia nanti. Tentu sambil mengajar bakti di mana gitu. Jadi ya pendapatanmu dari kedai itu, bukan dari mengajar. Bayangkan kalau kamu cari uang dari jam ngajarmu yang tidak seberapa apalagi kamu bukan PNS! Pertama, kamu akan cenderung 'cari uang' bukan 'mengajar'. Kedua, bagaimana kamu membiayai keluargamu nanti?"
Teman saya menasihati seperti itu. Dia mahasiswa S3 dan dia bicara atas dasar pengalaman pribadi. Dulu, sepulang dari S2 di salah satu universitas luar negeri, dia tak punya banyak kesempatan mengabdi. Dia mengajar memang, tapi bukan dalam posisi yang permanen. Itu tidak cukup. Dia mesti menyambi bekerja di sawah, kebun pinang, membuka toko kelontong, dan kedai kopi kecil-kecilan. Di ujung ceritanya, dia mengaku sangat nyaman bekerja serabutan begitu.
"Saya lebih senang menghabiskan waktu di kebun ditemani kerbau daripada mesti menjilat-jilat untuk sebuah posisi mengajar di kampus."
Kampus sendiri sekarang tidak semata-mata jadi institusi pendidikan. Beberapa memiliki rantai politik bercabang dan lapis-lapis kekuasaan yang memuakkan. Untuk bekerja di sana bukan semata-mata dinilai dari prestasi akademik, tapi kedekatan hubungan. Oh Tuhan.
Ada saat ketika saya sudah terlalu pusing berpikir dan pasrah saja. Sepanjang tidak malas dan terus berusaha, insya Allah hal-hal seperti itu ada penyelesaiannya. Allah sudah mengatur rezeki, maut, dan jodoh kita. Pikiran seperti itu pada akhirnya selalu menenangkan bagi saya. Eh, tadi apakah saya bilang "jodoh"? Syukurlah.
Foto: Tim Gouw