Ketika seorang ibu menyerobot antrean saya di
gerai Roti Boy bandara, saya tahu belum banyak yang berubah di kampung. Hati
saya semakin kesal melihat sampah bertumpuk di selokan. Di jalanan, orang-orang
masih menerobos lampu merah. Di kampus, toilet dipenuhi kerak kotoran. Di beberapa
persimpangan, spanduk-spanduk Pilkada bertebaran dengan janji basi dan murahan.
Sementara di masjid, sebuah tempat yang saya harapkan memberi kedamaian, salat
Jumat pertama saya dipenuhi khutbah penuh kebencian.
Di meja kopi, pernikahan masih dibicarakan
dengan intensitas terlampau tinggi seakan-akan ia adalah satu-satunya tujuan
penciptaan manusia. Beberapa teman sibuk bertanya, mengatur, dan mencandai kehidupan
orang lain seolah-olah mereka adalah boneka yang tak memiliki pikiran dan
perasaan. Masih banyak hal-hal mendasar yang belum selesai dan sebagian anak
muda justru memilih bergosip (dan bermimpi menyelesaikan masalah umat manusia?).
Minggu pertama saya di kampung adalah sakit
kepala. Terlalu banyak masalah dan saya merasa begitu kecil dan tak berdaya []