Jika dihitung dari tanggal saya mengumpulkan tesis (31 Januari 2018), maka saya sudah berada di Aceh, Indonesia, hampir empat bulan. Saya menjalani hidup sekarang sebagai seorang dosen luar biasa, suami, dan di waktu senggang, saya menyempatkan diri menjadi sukarelawan di beberapa organisasi nirlaba.
Aceh memang memerlukan banyak perubahan di hampir semua lini. Dalam tulisan kali ini, saya akan membicarakan secara singkat salah satu di antaranya: pendidikan tinggi atau universitas.
Nepotisme
Beberapa waktu yang lalu, sebuah universitas di Aceh mengadakan perekrutan dosen tetap non-PNS. Salah seorang rekan saya yang mengikuti seleksi mengaku, sewaktu ia mengikuti seleksi tahap akhir (wawancara), penguji menyampaikan kepadanya bahwa seleksi ini hanya formalitas belaka. Nama peserta yang lulus sudah ada bahkan sebelum tes berlangsung. Memang kemudian, peserta yang lulus pada posisi tersebut adalah seseorang yang diketahui memiliki hubungan keluarga dengan seorang pejabat kampus. Peserta yang lulus ini menyingkirkan nama-nama kandidat dengan rekam jejak akademik jauh mengungguli dirinya.
Ada pula beberapa cerita mirip yang disampaikan oleh beberapa rekan. Artinya, untuk bekerja di sebagian universitas di Aceh, dibutuhkan koneksi yang kuat dengan pejabat kampus. Lalu apa artinya kampus membuka rekrutmen? Di mana letak harga diri civitas akademika, jika pada tingkat perekrutan dosen pun dilalui dengan praktik nepotisme yang vulgar. Di mana perwujudan visi kampus, misalnya pengintegrasian nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Jika internal kampus masih lekat dengan praktik haram seperti nepotisme, tidak perlu banyak berharap universitas dapat menyelesaikan problem-problem di masyarakat. Belum lagi jika kita berbicara tentang potensi kehilangan tenaga pengajar yang berkualitas. Bukan tidak mungkin, orang-orang yang merasa diperlakukan curang oleh sistem memilih berkarir di tempat yang lebih adil.
Akreditasi
Seorang mahasiswa di kelas saya protes. Dulu menjelang tamat SMA, dia mendapatkan brosur promosi kampus. Di dalamnya diterangkan bagaimana kampus tersebut memiliki kurikulum berkualitas, fasilitas lengkap, tenaga pengajar andal, dan lain sebagainya. Setelah kuliah selama dua semester di jurusan berakreditasi A, dia merasa semua itu hanya janji belaka.
Banyak orang silau melihat akreditasi, apalagi jika statusnya adalah "A", yang notabene merupakan nilai terbaik. Saya melihat sendiri proses akreditasi, di sebagian kampus, adalah omong kosong belaka. Pejabat kampus memoles sedemikian rupa kampusnya, termasuk ruang kelas, perpustakaan, arsip kegiatan, bahkan termasuk melakukan koordinasi (briefing) dengan mahasiswa. Intinya, bagaimana caranya agar saat petugas akreditasi datang, kampus dan segala isinya terlihat dalam kondisi yang luar biasa baik. Setelah proses akreditasi berakhir, kampus pun kembali ke kondisinya yang semula. Kebohongan macam ini membuat civitas akademika hidup dalam imajinasi bahwa institusinya adalah sebuah institusi pendidikan yang luar biasa kualitasnya. Di sisi lain, kecenderungan berbohong tersebut membuat tahun demi tahun berlalu tanpa perubahan ke arah yang lebih baik.
Salah Fokus
Saya pernah dipanggil oleh seorang pejabat kampus tempat saya bekerja. Beliau meminta saya mendata alumni kampus yang sedang melanjutkan studi pascasarjana. Sebelumnya, saya pikir beliau ingin melakukan semacam terobosan, seperti melakukan kerjasama penelitian antar kampus, diskusi mengenai manajemen perguruan tinggi, atau tukar pikiran mengenai apa yang perlu diperbaiki di institusi kami. Namun, saya terkejut ketika beliau hanya memerlukan data tersebut untuk promosi kampus. "Mudah-mudahan banyak yang tertarik kuliah di sini jika tahu ramai alumni kita yang studi di luar negeri," katanya. Jika kuliah di luar negeri hanya dilihat sebatas bahan promosi, saya pikir itu adalah cara yang amat dangkal dalam memanfaatkan lulusan yang telah memeras otak, waktu, dan tenaga untuk belajar.
Di sisi lain, saya juga tidak habis pikir bagaimana manajemen kampus bekerja. Untuk silabus mata kuliah saja, saya diberikan silabus tahun 2011. Jarak tujuh tahun tidak bisa dibilang baru. Ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan, misalnya yang sepatutnya menjadi bahan pertimbangan: mahasiswa bagaimana yang kampus layani pada tahun 2018; apa kebutuhan yang mereka miliki; bagaimana nantinya kampus mempersiapkan mereka menghadapi lapangan kerja, dan seterusnya. Belum lagi jika berbicara kecukupan bahan belajar, seperti buku. Saya tidak percaya kampus tidak mampu menyediakan buku yang cukup. Saya beranggapan, hal ini diabaikan karena pejabat kampus memang tidak berpikir tentang itu.
Pemantauan saya sejauh ini, walaupun masih perlu penelusuran lebih dalam lagi, sebagian kampus lebih memfokuskan diri memoles tampilan luarnya, dan tak begitu peduli dengan bagaimana mereka memperlakukan ilmu pengetahuan dan mahasiswa. Kampus-kampus tersebut memiliki gedung yang indah, namun manajemen yang hancur-hancuran.
Dosen Luar Biasa
Di beberapa kampus di Aceh, yang paling sengsara adalah dosen tidak tetap, atau lazim disebut dosen luar biasa. Perhitungan gaji mereka bergantung kepada jumlah mata kuliah yang mereka asuh, dan pembayaran honor diadakan setiap satu semester sekali. Pertama, dengan bayaran serendah itu dan waktu pembayaran yang lama, bagaimana dosen-dosen tersebut bisa hidup? Sebagian dosen yang saya kenal, berusaha hidup dengan berjualan kue dan koran. Sebagian yang bernasib lebih baik, mendapatkan proyek-proyek penelitian dari lembaga nonpemerintah atau pemerintah. Hal ini secara langsung berpengaruh terhadap konsentrasi mereka menyiapkan bahan ajar, mengajar, dan meneliti sesuai dengan kualifikasi keilmuannya. Selain mereka sendiri yang menjadi korban dari sistem yang menindas ini, mahasiswa pun secara langsung merasakan dampaknya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa sebagian dosen sering bermasalah dengan disiplin menghadiri perkuliahan.
Ketika saya membicarakan ini dengan para dosen, termasuk mereka yang tergolong dosen tetap (PNS ataupun non-PNS), mereka menganggap hal ini adalah kewajaran. Sebagian dari mereka pernah merasakan menjadi dosen luar biasa, dan merasa bahwa hal ini adalah siklus normal yang dilalui oleh semua orang. Kebanyakan dari mereka merasa tidak perlu berbuat apa-apa, dan nyaman untuk sekadar bersimpati.
Persoalan lainnya, barisan dosen luar biasa, seringkali berjalan sendiri-sendiri. Mereka tidak punya keinginan (atau mungkin belum ada yang memulai?) untuk membuat semacam serikat. Alhasil, permasalahan hanya bergulir dari mulut ke mulut secara informal. Tidak ada satu pergerakan untuk melakukan protes atau perlawanan secara terencana dan terorganisasi kepada pihak yang berkuasa. Tak heran, tahun demi tahun berlalu tanpa perubahan.