Antara Anak dan Ortu

Suatu malam, saya tiba di rumah. Tempat pertama yang hampir pasti saya lewati setelah masuk pintu adalah ruang keluarga. Di sana ada sebuah tv, dan ayah saya sedang menontonnya sendiri. Sejenak saya memandang tv yang sedang menayangkan film Hollywood bertema anjing pintar, kemudian saya berlalu ke kamar mandi, mencuci muka, dan masuk kamar.

Saya jarang berkomunikasi dengan orang tua, terutama dengan ayah saya. Dalam sehari, saya hanya berbicara beberapa kata dengan beliau. ‘Ya/belum/udah/’ adalah tiga kata yang biasanya keluar, seringkali tidak lebih dari itu. Setelah saya pikir-pikir, semakin saya menua, intensitas komunikasi kami semakin berkurang. Walau tidak begitu ingat, saat saya kecil, sekira SD, saya masih sering bercanda-canda dengan beliau. Saat SMP entah kenapa tidak dapat saya ingat bagaimana jelasnya hubungan kami. Ketika sudah SMA saya setiap hari hanya bilang ‘pergi dulu’ saat ingin berangkat sekolah. Atau sesekali ‘minta uang’ saat jajan sudah habis. Ketika sekarang sudah kuliah, malah lebih parah, semuanya seperti yang saya utarakan di awal. Entah apa jadinya ketika saya tamat kuliah kelak, apa kami nanti hanya menggunakan bahasa isyarat? Semoga tidak.

Ternyata apa yang saya alami juga dirasakan oleh beberapa rekan saya. Suatu kali, saya berkesempatan menghadiri akad nikah seorang teman. Nah, di salah satu prosesi, ada saat di mana kedua mempelai menyalami, meminta restu dan izin, orang tua mereka. Saat peristiwa itu berlangsung, rekan saya tadi bilang, “nah, kal, kapan lagi kita dapat cium ayah kita kalau bukan sekarang.” Saya hanya senyum saja mendengar katanya. Ternyata, bukan saya saja yang merasa demikian. Tersirat juga satu hal bahwa ternyata seorang anak sangat haus oleh kasih sayang seorang ayah.

 Saya seringkali merenung, kenapa ya bisa tercipta spasi yang demikian besar antara ayah dan anak. Ketika hal tersebut terpikirkan, saya jadi iri melihat film-film barat, hubungan keluarga mereka di sana sangat dekat. Keluarga menjadi tempat curhat, liburan bersama, pokoknya asik lah. Nah, kebudayaan sepertinya bisa menjadi sebuah opsi jawaban. Ayah saya berasal dari Bireun, dan mamak saya dari Tamiang. Setelah  memperhatikan bagaimana cara interaksi di sana, saya mendapat beberapa hal. Di bireun, perhatian orang tua terhadap anak kecil cukup hangat. Sering saya melihat bagaimana anak kecil, lebih-kurang berumur 6 tahun, sangat dimanjakan orang tuanya. Mereka ditimang-timang, dipangku, diajak bercanda. Kemudian hal ini berangsur-angsur hilang saat mereka dewasa, dan bahkan interaksi akan dilihat begitu dingin. Saat hari raya misalnya, sepenglihatan saya, tak ada anak yang memeluk orangtuanya, tentu juga saya termasuk. Antara perempuan pun paling hanya bercium pipi saja. Di tamiang sendiri interaksi cukup baik saya kira. Di sana, salaman tidak lengkap tanpa pelukan. Baik itu lelaki dan perempuan. Bahkan, di sana itu menjadi sebuah bahan candaan. Jadi ceritanya di belakang rumah atok saya di Tamiang, ada seorang nenek yang dikenal sangat hangat dan ia mencium siapa saja yang ditemuinya. Karena keluarga kami sering mengenal, jadi kadangkala ia berkunjung. Saya, bahkan ayah saya, tidak luput dari ciuman nenek itu. Jadi apabila hari raya – yang memang waktunya silaturahmi – saya menjadi was-was, takut dijadikan objek ciuman sang nenek. Para makcik dan pakcik saya yang nakal, apabila mereka mengetahui sang Odoh (nenek) tersebut datang, langsung memanggil saya keras-keras. Dan apabila saya tidak muncul, tanpa perasaan bersalah mereka akan menggiring si Odoh tersebut ke kamar saya, saya tidak pernah lolos!

Kembali lagi ke topik. Ini opini, hanya dugaan, semoga tidak benar. Apakah orang tua berpikir semakin anaknya berumur maka perhatian yang diberikan semakin berkurang? Atau semakin anaknya dewasa maka wujud perhatian mereka harus bergaya ‘dewasa’ pula? Tidak ada peluk, cium, candaan seperti masa kecil dulu. Entahlah, saya tidak berharap itu benar. Saya pun sebagai anak mutlak ikut mempersalahkan diri saya yang hingga saat ini tidak dapat juga menunjukkan cinta kepada orang tua dengan sejelasnya. Yang jelas sebagai anak, apa yang saya harapkan adalah orang tua selalu menunjukkan kasih sayangnya seperti pada saat anaknya masih kecil. Ini bukan berarti memanjakan atau semacamnya, bukan dalam arti ortu memberikan semua kebutuhan anaknya. Bagi saya, anak sangat membutuhkan perhatian jiwa ketimbang materi. Orang tau mungkin bisa memberikan blackberry, ferari, atau sekalian kapal feri! Tapi dalam hal ini, tiada yang dapat menggantikan pelukan, ciuman, dan candaan. Ketiganya begitu khas saat yang menjadi subyek dan obyek adalah orang tua serta anak.

Sekali lagi, bahwa saya sebagai anak juga turut bertanggung jawab dalam terciptanya spasi ini. Akhirnya, paling tidak, saya dapat mengambil pelajaran bahwa ketika nanti saya menjadi orang tua, saya dapat menjadi sahabat anak-anak saya. Dan saya tak pernah berharap, semoga saya yang kini masih berstatus sebagai anak, paling tidak sekali seumur hidup, bisa menunjukkan dengan jelas wujud cinta saya dengan ortu, dari jiwa ke jiwa.

We're the silent lovers
Showing no love but loving each others
We're the silent lovers
No act to see only heart as speaker
(24-06-2010)






sumber foto: vi.sualize.us 

Monday, April 4, 2011 by Muhammad Haekal
Categories: 1 comment

One Comment

  1. We're the silent lovers
    Showing no love but loving each others
    We're the silent lovers
    No act to see only heart as speaker
    (24-06-2010)

    love this quotes kal..

Leave a Reply