Fragmen #2




Bulu Mata

Tadi ketika sedang makan indomie, sehelai bulu mata saya jatuh ke dalam mangkok. Ini adalah tanda kerinduan. Sayangnya saya tidak bisa menebak percis siapa. Mungkin diri saya kepada diri saya sendiri.

Apong Tahun 2008

Apong bernama asli Muhammad Naufal. Dia adalah adik kandung saya yang pertama dan terakhir. Saya biasa memanggilnya dengan Apong, Pong, Robi, Robiro, Robigatsu, Pororo, atau nama-nama abstrak lain. Yang jelas jika dipanggil, dia selalu melihat—walau sedikit cemberut.

Pada tahun 2008 Apong masuk SD. Biasanya waktu pulang saya yang menjemput. Anak SD kelas 1 pulang sekitar jam 10.00. Saya selalu menjemputnya dengan motor dan saat itu dia sudah bisa dibonceng di belakang (sewaktu TK dia duduk di depan). Apong sering tidur dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya harus menahan badannya dengan tangan kiri agar tidak jatuh. Betapa imutnya manusia sewaktu kecil.

Seorang Perempuan

Jumat itu saya memilih shalat di Masjid Oman, Lampriet. Saya masih menunggu lampu lalu lintas berubah hijau di sebuah simpang ketika mata saya tertuju kepada seorang perempuan.

Dia memakai baju yang modis, melekat pas sekali di badan, dengan perpaduan warna serasi. Otak saya menerjemahkannya sebagai cantik. Hati saya menerjemahkannya sebagai nakal.

Lampu hijau. Kenderaan-kenderaan mulai merayap maju. Saya dan perempuan itu berbelok ke arah yang sama. Ketika hampir mencapai kawasan masjid, dia memperlambat laju motornya (hampir berhenti) dan berteriak kepada anak-anak pesantren yang duduk di atas pagar masjid.

“Turun, dek! Turun!”

Ketika anak-anak itu mulai turun, dia kembali mempercepat laju motornya dan pergi.

Jujur saya tidak pernah berpikir anak-anak itu sedang melakukan sesuatu yang berbahaya. Saya abai menaksir akibat yang muncul jika salah seorang dari mereka jatuh dari sana.

Siang itu saya kembali diingatkan agar tidak menilai seseorang dari pakaian. Pakaian hanyalah salah satu hal yang melekat di badan manusia. Ada banyak hal-hal lain di baliknya.

(Sayang sekali tidak sempat kenalan)

In Memoriam: Ayam

Ayam saya adalah yang paling tampan sekampung dan dia memiliki koneksi internasional. Bapaknya berasal dari kawasan perkotaan Thailand dan ibunya adalah bunga desa dari Vietnam.

Saya tidak bercanda ketika bilang dia tampan. Dia memiliki tubuh yang tegap, kepakan sayap yang tegas, dan di pipinya ditumbuhi brewok (seperti tren remaja masa kini) tanpa perlu diolesi Firdaus. Ketika mulai bisa berkokok, saya perhatikan dia sudah berani main-main dengan ayam betina di rumah dan terkadang saya pergoki dia main mata dengan ayam tetangga.

Ayam ini juga memiliki sisi kesalehan. Setiap sepertiga malam dan menjelang subuh, dia bangun untuk berkokok. Sementara orang-orang lain bangun untuk kencing lalu tidur lagi.

Perpisahan saya dengan ayam ini terjadi di suatu pagi. Saya pikir dia mati karena pagi itu tidak ada suara kokok. Rupanya dia telah dibawa pencuri. Maling ayam jantan adalah salah satu yang paling saya benci. Ayam curian nantinya akan dilacurkan di arena sabung ayam. Mengapa mereka tidak beli anak ayam sendiri? Saya rasa sulit bagi orang-orang berperasaan untuk menyabung ayam yang mereka rawat dari kecil. Saya saja sangat eneg dan cenderung menghindari makan ayam yang saya pelihara sendiri.

Selamat jalan, bro. Semoga sukses. Bertarunglah dengan berani. Jangan lari.

Menolong


Menolong adalah salah satu insting dasar manusia. Ia adalah sebuah kata kerja otomatis. Jika tubuh kita memaksa untuk tidak melakukannya rasanya bisa tidak enak. Seperti misalnya ada orang kecelakaan di jalan. Mau bantu tapi malu. Mau langsung gerak nanti takut dibilang sok gaya. Akhirnya kita memilih lewat saja dan percaya atau tidak, ada rasa sakit yang hinggap di dalam dada.



Saturday, December 19, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , Leave a comment

Leave a Reply