Bulu Mata
Tadi ketika sedang makan indomie, sehelai bulu mata saya
jatuh ke dalam mangkok. Ini adalah tanda kerinduan. Sayangnya saya tidak bisa
menebak percis siapa. Mungkin diri saya kepada diri saya sendiri.
Apong Tahun 2008
Apong bernama asli Muhammad Naufal. Dia adalah adik kandung
saya yang pertama dan terakhir. Saya biasa memanggilnya dengan Apong, Pong,
Robi, Robiro, Robigatsu, Pororo, atau nama-nama abstrak lain. Yang jelas jika
dipanggil, dia selalu melihat—walau sedikit cemberut.
Pada tahun 2008 Apong masuk SD. Biasanya waktu pulang saya
yang menjemput. Anak SD kelas 1 pulang sekitar jam 10.00. Saya selalu menjemputnya
dengan motor dan saat itu dia sudah bisa dibonceng di belakang (sewaktu TK dia
duduk di depan). Apong sering tidur dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya
harus menahan badannya dengan tangan kiri agar tidak jatuh. Betapa imutnya
manusia sewaktu kecil.
Seorang Perempuan
Jumat itu saya memilih shalat di Masjid Oman, Lampriet. Saya
masih menunggu lampu lalu lintas berubah hijau di sebuah simpang ketika mata
saya tertuju kepada seorang perempuan.
Dia memakai baju yang modis, melekat pas sekali di badan,
dengan perpaduan warna serasi. Otak saya menerjemahkannya sebagai cantik. Hati
saya menerjemahkannya sebagai nakal.
Lampu hijau. Kenderaan-kenderaan mulai merayap maju. Saya
dan perempuan itu berbelok ke arah yang sama. Ketika hampir mencapai kawasan
masjid, dia memperlambat laju motornya (hampir berhenti) dan berteriak kepada
anak-anak pesantren yang duduk di atas pagar masjid.
“Turun, dek! Turun!”
Ketika anak-anak itu mulai turun, dia kembali mempercepat
laju motornya dan pergi.
Jujur saya tidak pernah berpikir anak-anak itu sedang
melakukan sesuatu yang berbahaya. Saya abai menaksir akibat yang muncul jika
salah seorang dari mereka jatuh dari sana.
Siang itu saya kembali diingatkan agar tidak menilai
seseorang dari pakaian. Pakaian hanyalah salah satu hal yang melekat di badan manusia.
Ada banyak hal-hal lain di baliknya.
(Sayang sekali tidak sempat kenalan)
(Sayang sekali tidak sempat kenalan)
In Memoriam: Ayam
Ayam saya adalah yang paling tampan sekampung dan dia
memiliki koneksi internasional. Bapaknya berasal dari kawasan perkotaan
Thailand dan ibunya adalah bunga desa dari Vietnam.
Saya tidak bercanda ketika bilang dia tampan. Dia memiliki
tubuh yang tegap, kepakan sayap yang tegas, dan di pipinya ditumbuhi brewok
(seperti tren remaja masa kini) tanpa perlu diolesi Firdaus. Ketika mulai bisa
berkokok, saya perhatikan dia sudah berani main-main dengan ayam betina di
rumah dan terkadang saya pergoki dia main mata dengan ayam tetangga.
Ayam ini juga memiliki sisi kesalehan. Setiap sepertiga
malam dan menjelang subuh, dia bangun untuk berkokok. Sementara orang-orang
lain bangun untuk kencing lalu tidur lagi.
Perpisahan saya dengan ayam ini terjadi di suatu pagi. Saya
pikir dia mati karena pagi itu tidak ada suara kokok. Rupanya dia telah dibawa pencuri.
Maling ayam jantan adalah salah satu yang paling saya benci. Ayam curian
nantinya akan dilacurkan di arena sabung ayam. Mengapa mereka tidak beli anak
ayam sendiri? Saya rasa sulit bagi orang-orang berperasaan untuk menyabung ayam
yang mereka rawat dari kecil. Saya saja sangat eneg dan cenderung menghindari
makan ayam yang saya pelihara sendiri.
Selamat jalan, bro.
Semoga sukses. Bertarunglah dengan berani. Jangan lari.
Menolong
Menolong adalah salah satu insting dasar manusia. Ia adalah
sebuah kata kerja otomatis. Jika tubuh kita memaksa untuk tidak melakukannya
rasanya bisa tidak enak. Seperti misalnya ada orang kecelakaan di jalan. Mau
bantu tapi malu. Mau langsung gerak nanti takut dibilang sok gaya. Akhirnya
kita memilih lewat saja dan percaya atau tidak, ada rasa sakit yang hinggap di
dalam dada.