Di suatu pagi di bulan Juli 2008, saya bergegas mandi. Jam menunjukkan pukul 6.30 saat saya telah siap dengan kemeja putih, celana hitam, dan sepatu kulit. Saya tidak sempat sarapan pagi. Sepeda motor pun tidak sempat dipanaskan lagi. Saya bergegas berangkat mengikuti kegiatan orientasi.
Saya diterima di Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, setelah menjalani serangkaian tes yang bagi saya cukup menantang. Saya yang notabene lulusan SMA harus bersaing dengan ribuan calon mahasiswa yang kebanyakan berasal sekolah berbasis keagamaan. Tes terdiri dari dua bagian, tes mengaji dan potensi akademik. Pada tes mengaji saya tidak menemui banyak kesulitan. Nah, di tes potensi akademik, setelah saya menjawab berbagai pertanyaan seputar pengetahuan umum, dan bahasa Inggris, saya dihadapkan dengan soal bahasa Arab, dan jujur saya tidak bisa. Kalau saya tidak salah, pertanyaan di dalam soal bahasa Arab berjumlah 50 buah. Dan semua saya kosongkan. Lembar jawaban saya balik, dan pensil saya letakkan di atasnya. Saya selesai.
20 menit menjelang waktu habis. Seorang peserta berbisik kepada saya. Entah bagaimana caranya dia tahu jika saya mengosongkan lembar jawaban soal bahasa Arab. “Gak boleh ada yang kosong,” dia berbisik. “Saya tidak bisa,” jawab saya. “Isi aja, kan gak ada minus poin,” balasnya lagi. Sambil mengangguk, saya mengisi lembar jawaban saya. Lancar. Saya sama sekali tidak melihat ke lembar soal. Saya tidak mengerti, buat apa? Hehe.
Akhirnya dengan segala puji bagi Allah, saya lulus. Dengan penuh keberuntungan tentu saja. Kepada peserta tadi, saya ucapkan terima kasih. Saya tidak kenal dia apalagi ingat wajahnya.
Suasana di gedung auditorium IAIN Ar-Raniry mulai dipenuhi para mahasiswa baru. Para lelaki memakai kopiah hitam plus setelan hitam-putih, sementara perempuan memakai (seingat saya) jilbab hitam, selainnya sama. Mata-mata para mahasiswa baru mengekspresikan berbagai hal, ada yang senang: baru jadi mahasiswa, takjub: dengan suasana kampus, mengantuk: kurang tidur malam, dan lapar: seperti saya. Haha.
Panitia membariskan kami sesuai dengan jenis kelamin. Menyemangati dengan beberapa yel-yel untuk kemudian mempersilahkan kami masuk ke auditorium. Dan pidato-pidato formal pun dimulai. Badan saya pegal.
Dari Matrikulasi hingga Kuliah
Memasuki kelas matrikulasi ya seperti baru masuk sekolah. Kebanyakan wajah tidak kita kenal. Ya mencoba sok-sok kenal lah, hehe. Ada perasaan ingin menunjukkan kemampuan: eh, aku bisa speaking lancar lho. Eh, aku paham banyak hal, lho. Dan untuk kemudian sadar bahwa ‘yang bisa’ bukan saya sendiri, ada begitu banyak. Memang bumi Aceh tidak pernah berhenti melahirkan putra dan putri yang brilian.
Perbedaan terbesar antara kuliah dan SMA adalah soal esensi dari mencari ilmu itu sendiri. Jika di SMA guru akan mengejar siswa yang berada di ruang kelas dan menyuruh mereka masuk, namun di kuliah semua itu tidak pernah terjadi. Siapa yang ingin kuliah ya masuk, yang tidak ya pulang. Cukup sederhana.
Saya telah dibiasakan pergi sekolah pukul 07.00 dan pulang pukul 14.00 saat SMA. Namun saat kuliah waktu menjadi tidak tentu. Kadang masuk pukul 08.00 atau bisa jadi pukul 16.30, semua tidak tentu. Perubahan waktu masuk tersebut dalam beberapa hal mengubah kedisiplinan saya. Saya jadi mempunyai kebiasaan tidur pagi jika kuliah masuk siang. Badan saya yang seringkali cukup bugar sepanjang hari, kini lesu. Lahirnya kebiasaan buruk tersebut membuat saya terkadang merindukan kembali menuntut ilmu di SMA.
Dalam beberapa hal saya masih melakukan hal buruk dalam proses perkuliahan ini. Yang terparah tentu saja penggunaan sistem kebut semalam (SKS) dalam belajar. Jika ada tugas, saya baru mengerjakannya di malam sebelum tugas tersebut dikumpulkan. Kebiasaan tersebut sedang saya kikis walau tentu saja masih teramat tebal.
Salah satu hal terbaik yang dapat kita rasakan pada saat mahasiswa adalah organisasi. Saya masuk himpunan mahasiswa jurusan (kalau tidak salah) saat semester dua. Di organisasi saya belajar mengorganisir acara, membentuk panitia, mengelola rapat, menjadi koordinator lapangan. Dan yang terpenting adalah secara mental saya berkembang. Secara disiplin waktu saya lebih bertanggung jawab, saya menjadi memiliki kekuatan saat berhadapan dengan suatu masalah. Organisasi adalah persiapan sebelum masuk secara keseluruhan ke kehiduan bermasyarakat.
Semester Tujuh
Waktu berjalan begitu cepat. Saya tidak percaya saya sekarang sudah di semester ke tujuh. Perjalanan ini mungkin bisa digambarkan dari deretan fase; suatu hari saya diospek, kemudian saya mengospek, selanjutnya saya mengawasi ospek. Cepat sekali rasanya.
Selalu saja saya dan teman-teman di Jurusan Bahasa Inggris membuat rencana-rencana baik saat awal semester. Misal di semester kemarin, kami berkomitmen untuk selalu berbicara dalam bahasa Inggris saat bertemu walau semua hanya “panas” di awal. Di semester ini entah apa lagi rencana yang akan kami buat. Semoga jika pun ada, bisa kami jalankan seutuhnya.
Kini saya dan teman-teman di Fakultas Tarbiyah yang sedang memulai semester tujuh dihadapkan pada Praktek Lapangan (PPL). Kami ditempatkan di sekolah-sekolah untuk kemudian mempraktekkan apa yang telah kami pelajari selama ini: menjadi guru. Semoga semua berjalan lancar dan bermanfaat.
Sejauh ini saya mulai menyadari bahwa ilmu bukan deretan nilai di Kartu Hasil Studi (KHS). Lebih daripada itu, ilmu adalah sejauh mana kita memahami pengetahuan dan seluas apa manfaat yang dapat kita berikan. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk melaksanakan definisi tersebut. Amin.
Terima kasih telah berkunjung. Saya tunggu komentarnya. Salam.
foto: flickr.com
Comments (5)
-
amin,moga ppl nantik smua qta g bermasalah..
-
amin.
thank udh ngunjung & komen! -
mudah mudahan kita semakin bijak...
amin. -
yuhuuuuuuu................... cayooo kal........... selamat jd guru PPL................ dilla deg2an....
-
Amin bi.
Ok kak dila, sama. sukses juga yop.
makasih udh ngunjung.