|
Di Pekarangan Kantor Bupati |
“Ada apa ya?” begitu tanya seorang ibu saat melihat puluhan orang berkumpul di Tugu Darussalam, lengkap dengan ransel besar. Seperti hendak lari dari tsunami.
Ibu itu kemudian pergi ketika mendengar jawaban kami, ‘pergi KKN’. Beberapa orang lain juga datang dengan pertanyaan yang sama. Ya, memang jarang-jarang orang berkumpul di suatu tempat kala malam, apalagi ditambah dengan penampilan seperti pengungsi.
Malam itu, Minggu 15 April 2012, mahasiswa IAIN Ar-Raniry yang berjumlah 139 orang bertolak ke Bener Meriah. Insya Allah dari tanggal 16 April hingga 31 Mei 2012, kami akan mengadakan Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM – di beberapa universitas lain disebut ‘KKN’) di sana.
IAIN Ar-Raniry memiliki dua macam program KPM. Yang pertama adalah Participatory Action Research (PAR), dan yang kedua adalah program KPM Regular. PAR mempunyai perbedaan dengan reguler. Di dalam PAR, mahasiswa tidak hanya melakukan pengabdian, tetapi juga penelitian. Hal yang diteliti adalah permasalahan yang timbul di dalam masyarakat. Misal masyarakat suatu desa mengalami kesulitan ekonomi. Mahasiswa sebagai fasilitator akan melakukan diskusi dengan masyarakat untuk mencari solusi. Kemudian, mahasiswa melakukan observasi mengenai potensi desa. Ketika potensi telah diketahui, semisal desa itu berpotensi sebagai daerah peternakan ayam potong, maka fasilitator akan menghubungi pihak-pihak yang berkompeten di bidang tersebut, termasuk pihak terkait lain seperti unsur pemerintah, calon pemodal, dsb. Selanjutnya, pihak-pihak tersebut akan dipertemukan dengan masyarakat untuk menciptakan pemecahan masalah.
|
Bustami, Ridho, Ihkwani, dan Arya |
KPM PAR tahun ini dilaksanakan di dua kecamatan: Bandar dan Bener Kelipah. Sebanyak 30 desa menampung kelompok-kelompok mahasiswa yang terdiri atas 3 sampai 4 orang.
Tiba di Bener Meriah
Saya baru pertama kali menginjakkan kaki di Bener Meriah. Udara dingin langsung menusuk tulang saya yang kaku karena berjam-jam meringkuk di mobil. Jika berbicara, asap keluar dari mulut. Mobil kami tiba di sana sekitar pukul 5 pagi, tepat di kawasan Simpang Balik. Azan menggema dari mesjid yang letaknya entah di mana. Bahkan kami sempat medawa (berdebat) sebentar terkait dari mana sumber suara.
Kami melaksanakan shalat di sebuah balai pengajian yang semula kami duga sumber dari suara azan. Shalat subuh dipimpin oleh dosen kami. Suara beliau terbata-bata karena menggigil. Sementara tubuh kami gemetar hebat setelah dibasuh dengan air wudhu.
Setelah shalat selesai kami memutuskan untuk kembali ke mobil yang parkir di depan penjual buah. Namun belum sampai di sana, perhatian kami ditarik oleh barisan orang yang menuju ke sebuah tempat. Handuk bersandang di bahu mereka, sementara tangan kanan mereka memegang timba berisi peralatan mandi. Mandi jam segini? Dengan udara sedingin ini? Kami hampir tidak percaya sebelum menemui gapura bertuliskan ’Pemandian Air Panas Wih Pesam’.
Lebar jalan menuju air panas Wih Pesam sekira enam meter. Cukup untuk dua sepeda motor. Di sisi kedua sisi jalan terdapat beberapa kedai kopi yang telah didatangi beberapa pengunjung.
Kami terus berjalan menuju kolam air panas. Jalanan beralas batu gunung itu gelap. Tidak ada penerangan di sana. Banyak pengunjung yang menyalakan senter untuk menerangi pandangan atau sekedar menghindari ditabrak orang. Kami hampir berbelok ke kiri jika tidak melihat seorang ibu yang keluar dari sana. Ternyata di Wih Pesam Simpang Balik terdapat dua pemandian, untuk lelaki dan perempuan. Kami pun berjalan lurus. Tepat sebelum sampai di kolam laki-laki, ada sebuah mushalla di sana. Tempat beribadah yang digunakan oleh masyarakat dan pelancong yang baru tiba.
Kolam itu cukup luas, sekira lapangan badminton. Tua-muda memenuhi tempat itu, mencari kehangatan di tengah serbuan udara dingin yang menusuk tulang. Kepulan uap juga terlihat keluar dari air. Sialnya tidak ada dari kami yang bisa mandi. Ransel kami terlalu bertumpuk di dalam mobil. Membongkar ransel hanya untuk mengambil handuk dan baju sepertinya bukanlah pilihan yang tepat saat itu. Jadi kami hanya bisa menikmati suasana hangat, sambil sesekali mengecipak-cipakkan air dengan jemari.
Puas bermain-main air, perut kami terasa lapar. Teringat dengan kedai kopi tadi, kami pun bergerak ke sana. Di depan kedai kopi, seorang bapak berkopiah sedang memanggang pulut dan menggoreng beberapa macam kue. Dia mempersilahkan kami masuk. Di dalam sudah ada beberapa orang bapak-bapak yang sepertinya sudah lama duduk di situ.
Kedai kopi itu cukup sederhana. Luasnya sekitar 8 x 4 meter. Hanya ada enam meja. Di bagian depan, diletakkan sebuah alat panggangan berbentuk persegi. Di sebelahnya terdapat sebuah wajan penggorengan yang di atasnya dipaku selembar kawat persegi, untuk menaruh gorengan yang telah matang. Sementara tempat pengolahan kopi terletak di bagian belakang kedai.
Menu yang ditawarkan tidak macam-macam. Untuk air hanya kopi dan teh. Sementara kue terdiri atas pulut panggang, pisang goreng, bakwan, dan beberapa kue tradisional lain. Saat itu, kami sepakat memesan kopi. Fakta bahwa Bener Meriah adalah daerah penghasil kopi membuat kami penasaran ingin merasakan kopinya. Aroma khas seketika menyeruak di udara saat gelas-gelas kopi dihidangkan. Rasa kopi yang pahit-manis dalam sekejap memanjakan lidah kami. Menikmati kopi yang diseduh dengan air mendidih sangat nikmat rasanya. Apalagi udara memang sangat dingin.
Sayangnya tidak ada foto yang bisa saya ambil. Kamera terkunci di ransel. Sayang sekali.
Menuju Desa
|
Bersama Bustami, rekan satu kelompok |
Setelah disambut di gedung bupati, kami bergerak ke kantor kecamatan masing-masing. Saya bersama tiga teman, ditempatkan di kecamatan Bener Kelipah, desa Bener Kelipah Utara (BKU).
Kami diperkenalkan dengan keuchik (kepala desa) BKU, yaitu pak Kawasima. Lalu tanpa menunggu lama, kami bergerak ke desa yang dikelilingi oleh hamparan kebun kopi.
|
Peta Kecamatan Bener Kelipah |
Akhirnya, semoga kami mampu mengabdikan ilmu kami yang terbatas di desa ini. Doanya ya. Sampai jumpa di posting lain, insya Allah.