Sekarang, saya tidak berani bertanya (atau bercanda) tentang pernikahan dengan teman, apalagi dengan teman perempuan. Rasanya tidak sensitif begitu.
Archive for December 2015
Fragmen #5
Desember Cinta
Selain musim hujan, Desember ini juga musim kawin. Banyak teman saya yang menikah. Selain karena faktor dinginnya cuaca, ramainya pasangan yang mendaftar di KUA juga dicurigai karena akhir tahun adalah musim diskon (kata teman saya yang jomblo)—apakah termasuk mahar? Saya juga tidak tahu.
Untuk yang menikah saya mengucapkan selamat. Semoga Allah yang maha pengasih memberikan berkah dan kebahagiaan. Untuk yang belum, mari kita ngopi. Menurut penelitian, ngopi bisa meredakan gemuruh di dalam hati. Kita juga bisa saling #pukpuk (muntah).
Pertanyaan
Sekarang, saya tidak berani bertanya (atau bercanda) tentang pernikahan dengan teman, apalagi dengan teman perempuan. Rasanya tidak sensitif begitu.
Setelah memerhatikan beberapa teman yang menikah, apakah mereka mengawalinya dengan pacaran bertahun-tahun atau ta’aruf beberapa bulan, keduanya merupakan proses yang tidak sederhana. Walau ada beberapa perbedaan di sisi-sisi tertentu, tapi secara umum sama-sama memerlukan usaha yang luar biasa.
Kadang-kadang ketika saya sedang ngobrol dengan seorang senior yang masih lajang, ada saja yang datang lalu bertanya ke kawan saya itu: “Kapan nikah? Cepatlah, apa lagi lama-lama.”—yang diikuti oleh candaan basi lainnya. Saya agak naik tensi kalau ketemu orang seperti itu. Dia kira nikah itu semudah memasak indomie. Apalagi saya tahu beberapa teman sedang usaha luar biasa, hanya belum ketemu jodohnya saja. Ya harus bilang apa.
Oleh karenanya saya setuju dengan petuah seorang teman: “Barangsiapa bertanya kepada saudaranya kapan dia akan menikah, paling tidak dia memiliki satu dari dua hal ini: calon pendamping untuk saudaranya itu atau sejumlah uang untuk bantuan mahar.” (Catatan: teman saya itu bukan nabi dan dia juga masih sendiri).
Sunday, December 27, 2015
by Muhammad Haekal
Categories:
Fragmen,
Kolom
9 comments
Fragmen #4
Al- Isra (23-24)
SIM
Ketika memperpanjang SIM C beberapa minggu yang lalu, saya melihat sikap sebagian masyarakat belum berubah. Dengan alasan tidak lengkap membawa syarat, seperti surat kesehatan badan dan surat kesehatan jiwa, mereka enteng saja memberikan uang lebih ke polisi—yang dengan ajaib menerima bahkan menawarkan ‘kemudahan’ tersebut (dua tahun lalu ketika memperpanjang SIM A, saya pernah menulisnya di tautan berikut). Lebih canggih lagi, ada seorang ibu yang membuat (bukan memperpanjang) SIM A dengan membayar 400 ribu ke petugas. Sebuah simbiosis yang mencederai moral. Belum lagi bicara kegilaan membiarkan seseorang yang belum layak dapat SIM berkendara di jalan raya.
Saya percaya banyak orang yang tidak suka korupsi, jijik melihat koruptor, namun tidak sadar menjadi bagian dalam melahirkan perilaku koruptif. Kalau dihitung biayanya, memang tidak jauh berbeda antara mengurus semua kelengkapan syarat sendiri dan menyogok petugas. Jika melihat efisiensi waktu, malah mengurus lewat petugas bisa lebih cepat. Namun di sini kita bicara efek negatif ke depannya.
Apa tidak sakit dada melihat Indonesia? Dari level bawah sampai atas kerjanya begini semua.
Pepaya
Biasanya sebelum makan nasi, saya makan pepaya agar pencernaan lancar. Selesai makan, saya makan pepaya lagi sebagai pencuci mulut. Ketika Aceh kedatangan pepaya california, saya jadi lebih tergila-gila. Walau buahnya berukuran sekitar 1-2 kilogram, jauh lebih kecil dari jenis pepaya bangkok yang bisa sampai 4 kilogram, tapi rasa manisnya sampai 14 brix—sementara bangkok sekitar 11 brix. Tak heran beberapa penjual menyebutnya pepaya madu. Harganya juga cukup terjangkau dengan kisaran 6-10 ribu tergantung ukuran dan kelihaian menawar.
Screenshot ayat: alquran-indonesia.com
Wednesday, December 23, 2015
by Muhammad Haekal
Categories:
Fragmen,
Kolom
Leave a comment
Fragmen #3
Max
Saya baru tahu ternyata Massimiliano Allegri begitu
ekspresif. Dia gemas melihat pertahanan Juventus yang mulai merayakan Natal
ketika sudah menang 1-3 atas Carpi. Puncak kekesalannya terlihat ketika Lollo hampir
menuntaskan peluang bersih—skor saat itu sudah 2-3—yang nyaris membuat Juventus
pulang dengan 1 poin. Saya tertawa gila melihatnya melepaskan jaket (sesungguhnya
terlihat seperti mengoyak), melemparkannya, lalu berteriak kesetanan di pinggir lapangan.
Semalam sebenarnya tidak ada rencana menonton Juve, tapi
operator di Kedai Sahabat memutarnya sambil menunggu Watford vs Liverpool
tayang. Semenjak Jürgen Klopp melatih, saya sering meluangkan waktu untuk
menonton The Reds—yang malam itu
memerlukan banyak #pukpuk.
Level Ilmu
Jika belum menelusuri secara mendalam, saya tidak berani
mengomentari pendapat seorang ahli ilmu, profesor, ulama, atau yang setingkat
mereka, dengan asal-asalan.
Saya lupa membacanya di mana, tapi saya sering mengamalkan pernyataan
ini: sesuatu yang dihukumi benar oleh
seorang ahli ilmu tingkat tinggi bisa jadi dihukumi salah oleh para pemula (dan sebaliknya). Tidak bisa dimungkiri, seseorang yang
bacaannya banyak, perjalanannya panjang, dan pergaulannya luas, memiliki
jangkauan pemahaman yang tidak dimiliki seseorang yang baru membaca beberapa
halaman, jarang jalan-jalan, dan hanya bergaul dengan komunitas itu-itu saja.
Jangan asal meludah nanti bisa kena kaki sendiri.
Tahun Depan
Insya Allah tahun depan saya akan kuliah walau masih
remang-remang di mana.
Beasiswa di satu sisi membuat saya sedikit takut. Ada uang
masyarakat di sana. Semoga sepulang studi nanti ada sesuatu bermanfaat yang
bisa saya bawa pulang—bukan sekadar foto selfie atau kesenangan-kesenangan
pribadi lain yang terlihat seperti masturbasi.
Sumber foto: REUTERS/Alessandro Garofalo
Video: Youtube
Sunday, December 20, 2015
by Muhammad Haekal
Categories:
Fragmen,
Kolom
Leave a comment
Fragmen #2
Bulu Mata
Tadi ketika sedang makan indomie, sehelai bulu mata saya
jatuh ke dalam mangkok. Ini adalah tanda kerinduan. Sayangnya saya tidak bisa
menebak percis siapa. Mungkin diri saya kepada diri saya sendiri.
Apong Tahun 2008
Apong bernama asli Muhammad Naufal. Dia adalah adik kandung
saya yang pertama dan terakhir. Saya biasa memanggilnya dengan Apong, Pong,
Robi, Robiro, Robigatsu, Pororo, atau nama-nama abstrak lain. Yang jelas jika
dipanggil, dia selalu melihat—walau sedikit cemberut.
Pada tahun 2008 Apong masuk SD. Biasanya waktu pulang saya
yang menjemput. Anak SD kelas 1 pulang sekitar jam 10.00. Saya selalu menjemputnya
dengan motor dan saat itu dia sudah bisa dibonceng di belakang (sewaktu TK dia
duduk di depan). Apong sering tidur dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya
harus menahan badannya dengan tangan kiri agar tidak jatuh. Betapa imutnya
manusia sewaktu kecil.
Seorang Perempuan
Jumat itu saya memilih shalat di Masjid Oman, Lampriet. Saya
masih menunggu lampu lalu lintas berubah hijau di sebuah simpang ketika mata
saya tertuju kepada seorang perempuan.
Dia memakai baju yang modis, melekat pas sekali di badan,
dengan perpaduan warna serasi. Otak saya menerjemahkannya sebagai cantik. Hati
saya menerjemahkannya sebagai nakal.
Lampu hijau. Kenderaan-kenderaan mulai merayap maju. Saya
dan perempuan itu berbelok ke arah yang sama. Ketika hampir mencapai kawasan
masjid, dia memperlambat laju motornya (hampir berhenti) dan berteriak kepada
anak-anak pesantren yang duduk di atas pagar masjid.
“Turun, dek! Turun!”
Ketika anak-anak itu mulai turun, dia kembali mempercepat
laju motornya dan pergi.
Jujur saya tidak pernah berpikir anak-anak itu sedang
melakukan sesuatu yang berbahaya. Saya abai menaksir akibat yang muncul jika
salah seorang dari mereka jatuh dari sana.
Siang itu saya kembali diingatkan agar tidak menilai
seseorang dari pakaian. Pakaian hanyalah salah satu hal yang melekat di badan manusia.
Ada banyak hal-hal lain di baliknya.
(Sayang sekali tidak sempat kenalan)
(Sayang sekali tidak sempat kenalan)
In Memoriam: Ayam
Ayam saya adalah yang paling tampan sekampung dan dia
memiliki koneksi internasional. Bapaknya berasal dari kawasan perkotaan
Thailand dan ibunya adalah bunga desa dari Vietnam.
Saya tidak bercanda ketika bilang dia tampan. Dia memiliki
tubuh yang tegap, kepakan sayap yang tegas, dan di pipinya ditumbuhi brewok
(seperti tren remaja masa kini) tanpa perlu diolesi Firdaus. Ketika mulai bisa
berkokok, saya perhatikan dia sudah berani main-main dengan ayam betina di
rumah dan terkadang saya pergoki dia main mata dengan ayam tetangga.
Ayam ini juga memiliki sisi kesalehan. Setiap sepertiga
malam dan menjelang subuh, dia bangun untuk berkokok. Sementara orang-orang
lain bangun untuk kencing lalu tidur lagi.
Perpisahan saya dengan ayam ini terjadi di suatu pagi. Saya
pikir dia mati karena pagi itu tidak ada suara kokok. Rupanya dia telah dibawa pencuri.
Maling ayam jantan adalah salah satu yang paling saya benci. Ayam curian
nantinya akan dilacurkan di arena sabung ayam. Mengapa mereka tidak beli anak
ayam sendiri? Saya rasa sulit bagi orang-orang berperasaan untuk menyabung ayam
yang mereka rawat dari kecil. Saya saja sangat eneg dan cenderung menghindari
makan ayam yang saya pelihara sendiri.
Selamat jalan, bro.
Semoga sukses. Bertarunglah dengan berani. Jangan lari.
Menolong
Menolong adalah salah satu insting dasar manusia. Ia adalah
sebuah kata kerja otomatis. Jika tubuh kita memaksa untuk tidak melakukannya
rasanya bisa tidak enak. Seperti misalnya ada orang kecelakaan di jalan. Mau
bantu tapi malu. Mau langsung gerak nanti takut dibilang sok gaya. Akhirnya
kita memilih lewat saja dan percaya atau tidak, ada rasa sakit yang hinggap di
dalam dada.
Saturday, December 19, 2015
by Muhammad Haekal
Categories:
Fragmen,
Kolom
Leave a comment
Fragmen #1
Bus
Oktober lalu saya berangkat ke Medan untuk tes IELTS dengan
menumpang Bus Putra Pelangi. Ongkosnya 180 ribu. Saya suka naik Pelangi karena supirnya
terkenal tidak suka ngebut dan cukup waras untuk mampir di warung sate matang,
di kawasan Bireuen. Walaupun bus sampai di sana sekitar pukul 2 atau 3 dini
hari, kantuk tidak mampu menghapus rasa lapar lidah saya untuk menikmati sate
matang yang asli. Di Banda Aceh tidak ada warung yang rasanya benar-benar sama
dengan yang ada di Matang. Ada yang pas potongan dagingnya (saya berbicara
tingkat ketebalan), tidak enak kuah sotonya. Ada yang oke soto dan dagingnya,
kurang lezat kuah kacangnya. Ada yang enak semuanya, kecil porsinya. Intinya
kenikmatan sate matang masih menjadi monopoli Matang sebagai tempat asalnya.
Ngomong-ngomong bus, saya teringat kejadian delapan tahun
yang lalu. Saya pulang ke Kuala Simpang sendirian dengan bus untuk merayakan
Idul Fitri. Saya duduk di kursi nomor 5 dan dari rumah sudah berandai-andai
siapa yang nanti duduk di kursi nomor 6. Dalam beberapa menit jawabannya
muncul: perempuan. Ya, perempuan dengan anaknya yang masih balita.
Saya kira mereka adalah ibu dan anak biasa, hingga perempuan
itu mengeluarkan ponsel dan mulai menelepon sambil menangis. Karena suaranya yang
cukup nyaring, saya bisa mendengar dia berbicara dengan seorang lelaki. Dalam
beberapa menit saya menyimpulkan dia adalah mantan suaminya. Mereka harus
berpisah karena suatu sebab dan ini malam perdana perpisahan itu.
Saya mendadak bingung harus berbuat apa. Apalagi ketika anak
dan ibu itu mulai kompak menangis ketika percakapan mencapai babak akhir. Saya
pun membenamkan muka di pinggir jendela, pura-pura tidur.
Beberapa menit
berusaha tidak peduli, tanpa saya saya sangka perempuan itu mencolek punggung
saya.
Saya menoleh takut-takut.
“Om, tolong jaga anak ini. Saya mau ke toilet.”
Mendadak saya merasa diri seperti aktor utama penyebab
retaknya rumah tangga orang lain.
IELTS
Saya sudah pernah tes IELTS pada tahun 2013 dan mendapatkan
skor 6.0. Kemudian saya ikut tes lagi pada Januari 2015 dan kembali mendapatkan
6.0. Lalu Oktober saya memberanikan lagi untuk tes dan sempat stress
menunggu-nunggu hasilnya.
Sebelum tes, saya melakukan refleksi kegagalan. Sederhana
saja, dalam dua tes sebelumnya saya tidak belajar. Sok gaya.
Alhasil sepulang pembekalan beasiswa, saya bertarung dengan
diri sendiri. Memaksa otak malas saya untuk belajar. Kemalasan tersebut menang beberapa
hari hingga saya sempat frustasi bagaimana bisa mendapatkan husnul khatimah
pada IELTS kali ini. Pada akhirnya, saya menyiasatinya dengan memakai metode
belajar tidak langsung. Saya bergegas ke rumah teman dengan flash disk kosong.
Saya mengopi film yang sangat banyak, di antaranya adalah serial the Big Bang Theory dan Game of Thrones (GoT)—jari saya standby pada tombol skip ketika
menonton GoT. Saya juga rajin membaca artikel bahasa Inggris di beberapa situs
seperti brainpickings.org dan mendengar ceramah di ted.com. Saya mulai menulis
harian dengan bahasa alien (bahasa Inggris dengan kosakata sulit yang saya
sendiri langsung lupa begitu menuliskannya). Malam-malam sebelum tidur, saya
bicara Inggris sendirian dalam gelap. Semua saya lengkapi dengan mengerjakan
soal dari buku Cambridge IELTS. Jika
dihitung-hitung, sehari saya meluangkan sekitar dua belas jam untuk ritual itu.
Hampir muntah.
24 Oktober 2015 tes tersebut berlangsung. Beberapa minggu
kemudian skornya keluar. Saya melihat sambil mengintip. Hasilnya 7.0.
Alhamdulillah. Saya langsung sujud seperti yang dilakukan Demba Ba sewaktu mencetak gol, dan menunjuk langit dengan dua jari seperti Kaka. Tidak
buruk untuk orang bodoh seperti saya.
PMS
PMS adalah premenscholarship syndrome. Ini adalah sidrom
yang menyerang calon penerima beasiswa yang belum jelas di mana kampusnya. Jika PMS
pada perempuan sakitnya di sekitar perut, PMS pada abang sakitnya di dada, dek.
Saya adalah calon penerima beasiswa program Dalam Negeri (belum teken kontrak) pada sebuah lembaga, dengan tujuan Universitas Pendidikan Indonesia, jurusan Pengembangan Kurikulum. Entah
karena suhu Bandung terlalu dingin pagi itu atau karena saya terkejut dipanggil
“AA” oleh perempuan di sana, saya tidak lulus seleksi masuk di jurusan tersebut. Saya diberikan
waktu satu tahun untuk mengonfirmasi kampus.
Satu tahun itu 365 hari dan saya bisa gila jika lama-lama
tidak kuliah. Atas dasar tersebut dan beberapa alasan lain yang lebih akademis,
saya memutuskan tes IELTS lagi agar bisa studi di luar negeri. Setelah mencari
universitas yang menyediakan program yang sesuai dan bermutu, jatuhlah pilihan
pada Monash University dengan jurusan M.Ed in Educational Leadership and
Policy. Dengan menggunakan skor IELTS terbaru saya melamar dan alhamdulillah diterima
tanpa syarat (unconditional LoA).
Tantangan selanjutnya adalah mengajukan surat permohonan
pindah universitas. Saya menulisnya sepenuh hati, penuh harap, dan ketika mengirimkannya
saya mengucapkan bismillah agar berkah. Namun sampai sekarang, pihak pemberi
beasiswa belum memberikan jawaban “ya”, “tidak”, atau “lengkapi lagi ya, dek. Ada
syarat yang kurang tuh.” Agak tidak enak digantungkan seperti ini, walau
untungnya saya sudah biasa dibeginikan (#pukpuk).
Akhirnya, PMS masih berlanjut sampai sekarang. Membuat saya
kadang-kadang uring-uringan, suka marah-marah, makan banyak, dan inginnya
sendirian saja. Saya suka gak enak sama teman atau saudara. Kalau mereka butuh
bantuan atau kawan bercanda (dan PMS-nya kumat), saya tidak bisa memberikan apa-apa. Saya tidak
lagi menjadi orang yang mereka kenal. Maaf ya. Saya hanya butuh pengertian,
cokelat patchi, dan sebaris kata #pukpuk (saya menulis ini sambil tertawa).
Friday, December 18, 2015
by Muhammad Haekal
Categories:
Fragmen,
Kolom
8 comments